Palestina Merdeka, Realitas atau Utopia?
Sepanjang tidak ada kepemimpinan dan perubahan sikap AS terhadap Israel, kemerdekaan Palestina tetap menjadi utopia.
Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza terus memburuk. Angka kematian akibat serangan militer Israel sudah mencapai lebih dari 18.000 jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak. Berbagai fasilitas layanan umum tidak berfungsi, tanpa listrik ataupun air.
Tidak salah jika Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan bahwa Israel telah menjadikan Gaza sebagai neraka.
Dengan perkembangan yang terjadi di Gaza saat ini, bagaimana prospek terwujudnya Palestina merdeka? Variabel penentu apa yang dapat mengubah peta konflik ke jalan perdamaian?
Reaksi Israel atas serangan 7 Oktober lebih dikendalikan oleh amarah. Penjatuhan hukuman kolektif yang tidak membedakan sipil dan bukan serta penghancuran rumah sakit dan fasilitas umum lainnya jelas melanggar hukum internasional, hukum humaniter internasional. Alasan Israel untuk membela diri dapat dipahami, tetapi sama sekali tidak memberikan justifikasi dilakukannya pembantaian.
Seruan masyarakat internasional bagi penghentian kekerasan tidak membawa hasil. Jeda kemanusiaan tidak bertahan lama dan gagal menciptakan momentum bagi penghentian kekerasan.
Rancangan resolusi kemanusiaan Persatuan Emirat Arab di Dewan Keamanan PBB (DK PBB) tanggal 9 Desember 2023 gagal karena veto Amerika Serikat (AS). Pada Desember ini juga, AS bersama sembilan negara menolak resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan immediate humanitarian ceasefire di Gaza.
Rancangan resolusi kemanusiaan Persatuan Emirat Arab di Dewan Keamanan PBB (DK PBB) tanggal 9 Desember 2023 gagal karena veto Amerika Serikat (AS).
Meski disahkan dengan dukungan 153 negara, resolusi ini tidak memiliki kekuatan memaksa dan hukum. Namun, secara moral dan politis, resolusi itu menunjukkan kuatnya solidaritas dunia bagi Palestina dan sekaligus menolak tindakan Israel.
Ketidakmampuan PBB untuk merespons malapetaka di Gaza telah mempertaruhkan kredibilitas PBB, khususnya DK PBB. Sesuai Piagam PBB, organ ini memiliki mandat untuk memastikan tindakan yang cepat dan efektif bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Sikap AS-lah yang menyebabkan DK PBB gagal menyepakati resolusi, demi melindungi kepentingan Israel. Sudah saatnya reformasi DK PBB dijadikan prioritas, terutama menyangkut hak veto. Penghapusan veto di atas kertas dimungkinkan, tetapi pada kenyataannya mustahil dilakukan. Alasannya jelas, amendemen Piagam PBB memerlukan persetujuan dari semua negara anggota tetap DK.
Pengaturan penggunaan hak veto secara lebih selektif akan mengembalikan kepercayaan masyarakat internasional terhadap DK PBB. Tentu ini dapat mencegah berulangnya pembiaran tragedi kemanusiaan serupa di masa datang.
Memahami konteks
Secara umum penduduk Palestina terus berada dalam pengawasan ketat militer Israel dan tidak memiliki kebebasan bergerak. Kondisi buruk ini tidak semata-mata terkait Gaza saja. Secara sistematis, Pemerintah Israel bahkan mempersenjatai para pemukim ilegal yang semakin giat mencaplok tanah Palestina di kawasan Tepi Barat.
Oleh karena itu, persoalan yang paling mendasar adalah berlanjutnya pendudukan Palestina oleh Israel, baik terhadap wilayah maupun penduduk Palestina. Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi harus dipahami dalam konteks ini.
Ilustrasi
Memang terlalu sempit, kerdil, dan keliru jika melihat konflik ini semata dari sudut pandang agama. Faktanya, tiap-tiap elemen masyarakat, baik di Israel maupun Palestina, sama-sama heterogen dan multikultural.
Pengakhiran pendudukan Israel atas Palestina tidak serta-merta melahirkan Palestina merdeka. Kemerdekaan Palestina harus komprehensif, artinya diperjuangkan dengan menyelesaikan persoalan inti lainnya, yaitu hak kembalinya pengungsi Palestina, status kota suci Jerusalem, persoalan perbatasan, keamanan Israel-Palestina, serta sumber daya air.
Berbagai inisiatif perdamaian sebelumnya, seperti pertemuan Madrid, Oslo, dan Middle East Peace Quartet, tidak membawa hasil nyata. Namun, secara prinsip telah mendorong DK PBB menerima prinsip berdirinya dua negara merdeka, Palestina dan Israel yang berdampingan dalam damai dan kondisi aman (two-state solution).
Ironisnya, Israel sudah merdeka sejak 1948, sementara Palestina semakin terpuruk dalam cengkeraman Israel.
Dinamika menuju merdeka
Meskipun diakui sebagai negara berdaulat oleh 139 (dari 193) negara PBB, Palestina hanya memiliki status sebagai negara pengamat, bukan anggota (nonmember observer state). Variabel apa saja yang dapat mendorong terwujudnya Palestina merdeka?
Pertama, persatuan Palestina. Sebagaimana dialami bangsa Indonesia, tanpa persatuan, perjuangan menuju kemerdekaan pasti sulit.
Bagaimanapun dinamika domestik politik Israel dan geopolitik dunia adalah suatu keharusan bagi bangsa Palestina untuk bersatu dan mengesampingkan ego masing-masing, tentu terkait hubungan Fatah-Hamas.
Memang terlalu sempit, kerdil, dan keliru jika melihat konflik ini semata dari sudut pandang agama.
Kedua, dinamika politik di Israel. Dominasi pemerintahan ekstrem kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu saat ini merupakan kendala serius dalam menggerakkan proses perundingan perdamaian. PM Netanyahu juga secara gamblang mengatakan tidak ingin melihat hadirnya negara Palestina. Posisi ini jelas menafikan dialog dan lebih memilih opsi penggunaan kekerasan.
Ketiga, dukungan negara tetangga. Kemerdekaan penuh Palestina dipersepsikan Israel sebagai ancaman bagi keamanannya. Di sinilah negara-negara di kawasan Timur Tengah dapat berperan sebagai penjamin keamanan Israel.
Keempat, peran kunci negara-negara besar, utamanya AS. Sebagaimana telah dibuktikan dalam beberapa situasi konflik lainnya, AS berada dalam posisi strategis dan memiliki kemampuan ”memaksa” pihak Israel-Palestina duduk di meja perundingan. Di sinilah perlunya negara-negara sekutu AS, khususnya Uni Eropa, untuk terus menekan Washington dan membuka jalan bagi proses perdamaian yang adil.
Berbagai upaya perdamaian dan memerdekakan Palestina selama ini belum membawa hasil karena tidak adanya ripeness of moment, yaitu kondisi kondusif di AS, Israel, dan Palestina, kawasan Timur Tengah, serta geopolitik negara-negara besar.
Ilustrasi
Bagaimana prospek Palestina merdeka saat ini?
Tindakan kekerasan dan pembantaian Israel telah menggerakkan hampir semua segmen masyarakat internasional. Pemberitaan terus-menerus dari berbagai saluran media dan media sosial telah menggugah serta menggerakkan nurani kemanusiaan setiap orang, apalagi menyangkut korban perempuan, anak-anak, dan bayi.
Gelombang demonstrasi besar-besaran terus terjadi di banyak negara, menyerukan penghentian kekerasan atas nama kemanusiaan. Fenomena janggal justru terjadi di negara-negara Barat, di mana terdapat kesenjangan antara kebijakan pemerintah yang pro-Israel dan sentimen publik luas yang bersimpati terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Dalam demokrasi, perkembangan ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Pemerintah AS pun mulai menunjukkan ketidaknyamanan atas kekejaman militer Israel. Ini tampak dari pernyataan Presiden Joe Biden yang mulai kritis terhadap PM Netanyahu bahwa Israel kehilangan dukungan karena pengeboman yang membabi buta dan PM Netanyahu perlu berubah.
Meskipun masih terlalu dini, pergeseran ini cukup membawa harapan karena AS merupakan satu-satunya negara yang bisa menekan Israel. Sepanjang tidak ada kepemimpinan dan perubahan sikap AS yang tegas terhadap Israel, kemerdekaan Palestina akan tetap menjadi utopia.
Baca juga : Dunia Desak Gencatan Senjata di Gaza, Israel Kian Terisolasi
Desra Percaya,Duta Besar RI untuk Inggris, Merangkap Irlandia dan IMO