Kosakata bermakna kematian perlu digunakan dengan bijaksana, memperhatikan nilai-nilai spiritual, moral, dan etika.
Oleh
KURNIA JR
·2 menit baca
Tiga hari sejak pecah perang di Gaza, BBC menulis dua kata berbeda secara mencolok perihal korban tewas dalam dua paragraf berturut-turut, yang memantik kontroversi.
”More than 500 people have died in Gaza after Israel launched massive retaliatory air strikes, according to Gaza’s health ministry.
More than 700 people have been killed in Israel since Hamas launched its attacks on Saturday”.
Untuk korban di kalangan warga sipil Palestina disebut died, meninggal dunia, sedangkan korban di pihak Israel disebut killed, terbunuh.
Dalam opini publik, diksi tersebut bersifat politis, partisan, dan berat sebelah. Seakan-akan yang menimpa pihak Palestina adalah kematian wajar, sementara yang menimpa pihak Israel akibat pembunuhan.
Kosakata bermakna kematian mengingatkan saya pada suatu kejadian yang perlu kita cermati.
Ada seorang reporter menulis naskah berita yang sepintas lalu menyebutkan fragmen riwayat Nabi Muhammad SAW. Perihal kematiannya, ia tulis bahwa sang Rasul ”tewas”. Diksi ini bukan hanya ”tidak patut” menurut adab, bahkan keliru dalam realitas kesejarahan.
Pertama, tewas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah kematian dalam perang, akibat bencana alam, atau kecelakaan.
Kedua, bahasa Indonesia, sebagai varian bahasa Melayu berstandar adab budaya tinggi, juga mengadopsi nilai-nilai spiritual, moral, dan etika bahasa-bahasa Nusantara yang mengusung budaya luhur. Bahasa kita mengenal makna leksikal honorary atau penghormatan dalam konteks tertentu.
Pemaknaan ini memperlakukan subyek khusus dengan diksi khas, di antaranya figur yang disakralkan, raja, panutan, tokoh bijak bestari atau yang disegani khalayak, yakni mereka yang berkedudukan tinggi secara kultural, sosial, religi, dan/atau politik.
Melalui diksi yang ekspresif, kita dapat mengenali nilai-nilai kultural-spiritual yang dihayati masyarakat serta opini umum atas isu dan figur aktual.
Sekalipun, misalnya, tokoh tersebut mati dalam peperangan, ia tak dengan serta-merta dikatakan tewas, tetapi gugur, atau dalam narasi religius bagi figur kerohanian disebut syahid (mati syahid), bahkan secara lebih khusus lagi disebut ”meraih syahadah”.
Akan halnya Nabi Muhammad, bahkan beliau tidak mati dalam perang. Maka, diksi tewas tidak bisa digunakan. Apalagi, beliau figur yang sangat disakralkan oleh umat Islam. Yang lazim diterapkan ialah kata wafat, mangkat, tutup usia, atau mengembuskan napas terakhir.
Malah ada seorang ulama, sedemikian hati-hatinya memilih kata perihal kematian sang Nabi, menggunakan istilah hijrah, yang merujuk ke makna perpindahan roh suci dari alam fana ke alam baka. Tersirat ketakziman yang dimanifestasikan secara intim melalui diksi tersebut.
Ada kosakata penghormatan, ada pula yang bersifat merendahkan. Misalnya, tentang seorang bromocorah sadis yang mati ditembak polisi karena melawan saat ditangkap, di dalam obrolan kerap dikatakan ”mampus didor polisi” atau ”modar ditembus timah panas”. Media level ”koran kuning” biasanya menirukan langgam informal semacam itu.
Melalui diksi yang ekspresif, kita dapat mengenali nilai-nilai kultural-spiritual yang dihayati masyarakat serta opini umum atas isu dan figur aktual.