Tayangan berita tentang Ibu Kota Nusantara atau IKN ramai lagi. Salah satu partai pendukung seorang calon presiden menyatakan, apabila calon presiden pilihannya menang, mereka tidak akan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta. Pernyataan apa ini?
Saya lihat sikap itu dibuat sekadar ”asal beda” dengan pemerintah. Apa begitu cara bernegara yang sehat? Apa itu sikap bijaksana dari sisi kepentingan bersama?
Perpindahan ibu kota negara sudah menjadi mimpi sejak lama, sejak zaman Bung Karno. Dengan alasan berbeda-beda, oleh Presiden Soeharto, lalu Susilo Bambang Yudhoyono, prinsipnya perpindahan ini disetujui.
Baru pada era Joko Widodo, ide ini bisa mulai direalisasikan. DPR pun telah membahasnya dan mengesahkan undang-undangnya. Kita lihat kini calon ibu kota baru itu mulai menunjukkan bentuknya.
Memang proyek IKN menelan biaya besar sesuai tujuan utama pembangunannya. Sebagai referensi akademik, BRIN-ISEAS menerbitkan buku The Road to Nusantara: Process, Challenge and Opportunities, yang menurut analisis Ahmad Najib Burhan sudah ditelaah secara teliti oleh akademisi yang mumpuni (Kompas, 26/8/2023).
Membangun kota, apalagi ibu kota, bukan proses simsalabim. Melalui tayangan Youtube, bisa kita saksikan perkembangan hari per hari dari pembangunan IKN ini. Sungguh kerja besar, mengerahkan dana besar, menerapkan koordinasi kerja yang tidak mudah.
Sementara pekerjaan mulai menunjukkan bentuk dan infrastruktur sudah dibangun, kenapa ada partai yang ngotot mempertahankan ibu kota negara tetap di Jakarta? Tidakkah pemikiran itu menyia-nyiakan kerja keras, otak, dan tenaga, serta dana yang sudah dikeluarkan? Belum lagi pengorbanan penduduk di daerah itu.
Janganlah demi menarik simpati untuk tujuan politik, kita lantas bersikap keukeuh, asal beda, lalu mengabaikan semua yang sudah dilakukan. Bukankah itu sama dengan menggunting dalam lipatan? Memangnya, oleh presiden yang akan datang (kalau terpilih), mau diapakan kompleks baru pusat pemerintahan itu?
Renville Almatsier
Jl KH Dewantara, Ciputat, Tangerang Selatan
Debat yang Diperdebatkan
Sejak 28 November 2023, masa kampanye Pemilu 2024 dimulai. Masa kampanye tampaknya bakal didominasi oleh kampanye para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Dalam masa kampanye, para pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) akan dipanggungkan dalam satu mimbar untuk melakukan debat yang difasilitasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut KPU, sesi debat bakal berlangsung lima kali, dengan rincian tiga kali debat antarcapres dan dua kali debat antarcawapres. Tema setiap sesi debat bervariasi sesuai dengan materi yang telah disiapkan KPU.
Debat berturut-turut akan berlangsung pada 12 Desember 2023, 22 Desember 2023, 7 Januari 2024, 21 Januari 2024, dan 4 Februari 2024. Mimbar debat capres-cawapres ini sangat ditunggu oleh rakyat untuk mengetahui serta mengukur kualitas, kapabilitas, dan intelektualitas para capres-cawapres.
Sebuah wacana KPU muncul bahwa untuk sesi debat cawapres kali ini format akan diubah tidak seperti pada Pilpres 2019, yakni para cawapres tidak berhadapan secara head to head.
Para cawapres bakal didampingi para capresnya, dengan dalih demi mempertontonkan kekompakan para pasangan capres-cawapres.
Debat antarcawapres head to head sangat esensial karena pada hakikatnya, cawapres bukanlah ban serep atau pemain cadangan. Ia harus memiliki kualitas yang sangat memadai untuk membantu presiden dalam mengurus negara.
Wapres akan menjadi sosok pemimpin nomor satu di republik ini ketika presiden berhalangan tetap atau meninggal. Karena itu, cawapres harus berkelas dan mumpuni. Negara berpenduduk 274 juta jiwa ini tak boleh dipimpin oleh sosok-sosok capres-cawapres yang kaleng-kaleng.
Debat memang bukan satu-satunya cara untuk menguji dan mengukur kualitas serta kapabilitas capres ataupun cawapres. Namun, menjadi catatan sangat penting bagi kita semua bahwa kita tak boleh memilih pemimpin nomor satu, apalagi nomor dua, negeri ini bagaikan membeli kucing dalam karung. Pertaruhannya sangat besar bagi masa depan rakyat, bangsa dan negara ini, minimal dalam lima tahun ke depan.
Budi Sartono Soetiardjo
Graha Bukit Raya, Bandung Barat