Penyalahgunaan zat inhalan di posisi keenam zat terbanyak disalahgunakan, tetapi belum dapat dijerat secara hukum.
Oleh
MUHAMMAD HATTA
·3 menit baca
Beberapa waktu lalu khalayak dikejutkan kasus banyak warga di satu desa di Karawang, Jawa Barat, yang kecanduan tramadol, salah satu jenis obat keras. Uniknya, tatkala Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang mengadakan tes urine massal, semua terduga penyalah guna dinyatakan negatif (Kompas, 15/8/2023).
Berdasarkan efek obat selaku opiat alike, tramadol memberikan efek serupa penyalah guna turunan opium, seperti morfin dan heroin. Namun, karena berupa turunan sintetis, ia tak bereaksi terhadap tes urine narkoba standar yang hanya mengidentifikasi enam parameter, yaitu THC (ganja), MOP (morfin), MET (sabu), AMP (ekstasi), BZD (pil koplo), dan COC (kokain). Padahal, survei Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menggandeng Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menempatkan tramadol di posisi kelima narkoba terbanyak yang disalahgunakan generasi muda kita (BNN, 2021).
Tramadol juga tak tercantum di peraturan menteri kesehatan (permenkes) yang mengatur penggolongan narkotika dan psikotropika, yaitu Permenkes Nomor 36 Tahun 2022 (Narkotika) dan Permenkes No 10/2022 (Psikotropika). Itu sebabnya aparat hukum di lapangan gamang menindak penyalah guna individual obat tersebut karena tidak dikategorikan sebagai tindak kriminal. Kecuali jika penyalah guna terbukti mendistribusikan/mengedarkannya, mereka akan dikenakan ketentuan pidana Pasal 435 UU No 17/2023 tentang Kesehatan dengan pidana penjara maksimal 12 tahun serta denda paling banyak Rp 5 miliar.
Kegamangan tersebut tak terjadi di negara, lain seperti Amerika Serikat. Di sana, tramadol dikategorikan golongan empat UU CSA (Controlled Substance Act) 1974, dengan ancaman hukuman berupa pidana penjara paling lama lima tahun serta denda maksimal 250.000 dollar AS per tersangka.
Konsep ”one leading agency”
Selain telah banyak makan asam garam memerangi narkoba (war on drugs) sejak 1970-an, AS tak gamang akan penggolongan narkoba karena jauh-jauh hari telah menerapkan konsep one leading agency di bidang ini. Tak seperti kita yang melimpahkan urusan penggolongan narkoba kepada Kementrian Kesehatan, mereka malah menunjuk Drug Enforcement Administration (DEA).
Jika terdapat prekursor atau zat yang ingin ditambahkan ke dalam golongan narkotika (Schedule), pihak DEA membuat permintaan penyelidikan kepada HHS (Kemenkes AS), FDA (BPOM AS), serta National Institute on Drug Abuse (NIDA). Rekomendasi ketiga lembaga tersebut menjadi dasar penggolongan (Schedule I hingga V) serta penyusunan peraturan hukum terkait prekursor/zat yang dimaksud.
UU CSA juga memberikan kewenangan ”model tertutup” kepada DEA, yaitu pengaturan legal atas zat tergolong narkotika sejak proses impor, distribusi, hingga penggunaan di fasilitas kesehatan dan laboratorium. Model tersebut lebih efektif karena hanya merujuk pada peraturan yang dikeluarkan oleh satu lembaga yang mengawasi dari hulu hingga hilir permasalahan narkoba (Abood, 2012).
Aturan penggolongan narkotika oleh Kemenkes tersebut juga masih mendikotomi pelabelan ’narkotika’ dan ’psikotropika’ pada suatu zat/prekursor.
Kita hingga kini masih terperangkap model ”keroyokan” menangani permasalahan zat laknat ini. Di bidang pengawasan, produksi, distribusi, serta penyimpanan prekursor narkotika, misalnya, setidaknya ada empat institusi (Kemenkes, Kemendag, BPOM, dan BNN) yang masing-masing mengeluarkan peraturan setingkat menteri. Saking ruwetnya, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM sampai membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Simplifikasi Pengaturan Narkotika Psikotropika dan Prekursor pada pertengahan 2022 (Ditjen PP Kemenkumham, 2022).
Aturan penggolongan narkotika oleh Kemenkes tersebut juga masih mendikotomi pelabelan ”narkotika” dan ”psikotropika” pada suatu zat/prekursor. Pemisahan tersebut tak efektif karena Kemenkes harus mengeluarkan dua permenkes setiap tahun untuk memperbarui daftar penggolongan tersebut.
Dalam memilah narkoba untuk dimasukkan ke dalam Schedule CSA, FDA, dan DEA AS menggunakan tes drugs abuse liability yang mengukur tendensi suatu zat atau prekursor untuk disalahgunakan (Balster & Bigelow, 2003). Itu sebabnya mereka menaruh mariyuana (ganja) pada Schedule I (potensi tinggi untuk disalahgunakan), tetapi malah menempatkan Buphrenorfin (Subutex) pada Schedule III (potensi sedang). Aturan terbaru kita, Permenkes Nomor 30 Tahun 2023, masih menempatkan kedua zat tersebut di dalam kelompok yang sama (Golongan I Narkotika).
Pelabelan zat diversi
Guna menjaring penyalahgunaan zat dan obat-obatan popular (OTC) yang dijual bebas di pasaran dan tak tercantum dalam daftar penggolongan narkoba, DEA AS membentuk unit Office of Diversion Control (ODC). Lembaga yang beranggotakan sarjana-sarjana farmasi dan ilmu pangan berjuluk Diversion Investigator (DI) tersebut memiliki kewenangan menginvestigasi, lalu menentukan apakah mereka memenuhi syarat dimasukkan ke dalam daftar pengawasan (controlled substance list) atau tidak. Unit vital seperti inilah yang belum terbentuk pada Kemenkes, BNN, dan BPOM kita hingga kini.
Zat diversi, yang didefinisikan sebagai ”segala jenis zat dan bahan kimia yang dipergunakan atau dikonsumsi tidak sesuai peruntukannya, serta menimbulkan adiksi (kecanduan) bagi penggunanya” (www.deadiversion.usdoj.gov) membuka ruang bagi aparat hukum menjaring zat dan prekursor yang sering disalahgunakan di kalangan remaja seperti zat inhalan (ngelem). Data Indonesia Drug Report 2023 menempatkan penyalahgunaan zat inhalan di posisi keenam zat terbanyak disalahgunakan, tetapi belum dapat dijerat secara hukum karena tak tercantum dalam aturan penggolongan narkoba mana pun.
Semua saran tersebut mendapat momentum tepat dengan tengah dibahasnya revisi UU Narkotika No 35/2009 di DPR. Adanya satu leading agency disertai metode penggolongan yang lebih ringkas dapat membantu upaya Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) yang lebih terkoordinir, efektif, dan efisien.