Konferensi Perubahan Iklim telah berakhir. Salah satu kesepakatan dalam pertemuan tersebut yaitu beralih dari bahan bakar fosil menuju energi hijau.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kesepakatan negara-negara untuk beralih dari bahan bakar fosil secara bertahap menjadi pencapaian bersejarah Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab. Namun, itu belum cukup untuk mengatasi krisis iklim yang memicu berbagai bencana.
Seruan untuk beralih dari bahan bakar fosil itu merupakan yang pertama kali disepakati sepanjang sejarah Konferensi Perubahan Iklim. Adapun komitmen yang disepakati 198 negara itu menekankan tentang transisi dari bahan bakar fosil ke dalam sistem energi dengan cara yang adil, teratur, dan merata.
Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di lamannya menyebutkan, dalam pertemuan yang dihadiri 154 kepala negara dan pemerintahan itu, para pihak juga mencapai kesepakatan operasionalisasi dana kerugian dan pendanaan demi memperkuat ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC) menyatakan, emisi gas rumah kaca global perlu dikurangi 43 persen tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat pada 2019 hingga mencapai nol emisi untuk menahan laju pemanasan global 1,5 derajat celsius di atas rata-rata pra-industri sesuai Perjanjian Paris.
Inventarisasi global mencatat, para pihak berada di luar jalur mencapai tujuan Perjanjian Paris. Karena itu, perjanjian tersebut menyerukan negara-negara untuk berkontribusi pada upaya global menekan emisi karbon, termasuk beralih dari bahan bakar fosil dengan mempercepat aksi dalam dekade yang kritis ini.
Target ambisius
Untuk itu, para pihak didorong membuat target ambisius berskala ekonomi dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat dan efisiensi energi naik dua kali lipat tahun 2030. Langkah ini diperlukan untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050.
Langkah ini mencakup percepatan upaya mengurangi penggunaan batubara dan penghapusan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, subsidi bahan bakar, dan langkah lain yang mendorong transisi dari bahan bakar fosil ke dalam sistem energi dengan cara yang adil, teratur, dan merata.
Perjanjian ini juga mengakui perlunya pendanaan global dari negara-negara kaya ke negara-negara miskin dan rentan terdampak krisis iklim untuk membantu mereka beradaptasi terhadap perubahan iklim dan transisi energi menuju energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Hasil pertemuan tersebut merupakan awal dari upaya mengakhiri era penggunaan bahan bakar fosil. Kesepakatan itu menjadi sinyal kuat untuk menghentikan masalah utama iklim yang dihadapi umat manusia, yakni bahan bakar fosil dan polusi yang merusak Bumi.
Kini, semua pemerintah dan dunia usaha mesti mewujudkan janji aksi iklim. Dalam tiap tahap, aksi iklim harus berjalan berdampingan dengan pembangunan manusia. Komitmen negara-negara untuk menggandakan efisiensi energi dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan perlu segera diwujudkan.