”Kiamat”, jika Titik Kritis Iklim Semakin Banyak Terlampaui
Saat planet memanas, banyak bagian sistem bumi mengalami perubahan yang dapat menyebabkan bumi tak bisa mendukung kehidupan.
Saat planet ini memanas, banyak bagian sistem bumi mengalami perubahan besar-besaran yang jika telah melampaui ambang batas akan bersifat permanen. Perubahan tersebut bisa menyebabkan bumi tidak bisa lagi mendukung kehidupan manusia.
Pemanasan global pada tingkat saat ini telah menyebabkan lapisan es menyusut, permukaan laut naik, dan terumbu karang menuju kepunahan. Jika emisi global terus meningkat dan suhu memanas tak terkendali, hal itu bisa menyebabkan titik kritis pada sistem bumi terlampaui.
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), titik kritis atau tipping point iklim merupakan ”ambang batas kritis dalam suatu sistem yang jika batas kritis tersebut terlampaui, maka hal itu dapat menyebabkan perubahan signifikan pada keadaan sistem, sering kali dengan pemahaman bahwa perubahan itu tak dapat diubah”.
Intinya, titik kritis iklim adalah elemen sistem bumi di mana perubahan kecil dapat memicu putaran yang memperkuat sistem dari satu kondisi stabil ke kondisi amat baru yang sangat berbeda. Sebagai contoh, peningkatan suhu global pada gilirannya bisa memicu perubahan hutan hujan menjadi sabana kering.
Baca juga : Iklim Ekstrem Bebani Warga Miskin Lima Kali Lipat
Perubahan ini didorong oleh putaran umpan balik yang terus berlanjut, bahkan jika faktor yang mendorong perubahan dalam sistem itu berhenti. Sistem tersebut, dalam hal ini hutan, mungkin tetap ”terbalik” menjadi sabana kering meskipun suhu kembali turun di bawah ambang batas.
Contoh lain, jika pemanasan global menyebabkan runtuhnya sirkulasi arus laut di Samudra Atlantik, hal ini dapat menyebabkan setengah dari wilayah global untuk menanam gandum dan jagung akan hilang.
Bayangkan seperti menggulingkan batu besar ke atas bukit. Hal ini membutuhkan banyak energi. Jika dorongan dihentikan, maka bola akan menggelinding kembali ke bawah. Namun, ketika puncak bukit tercapai dan batu tersebut seimbang tepat di puncaknya, dorongan kecil, bahkan mungkin embusan angin, sudah cukup untuk membuatnya berguling ke sisi yang lain.
Sistem iklim di bumi mempunyai banyak titik kritis, seperti hilangnya lapisan es atau hutan hujan lebat yang menjadi jauh lebih kering dan terbuka. Akan sangat sulit, bahkan mustahil, untuk memulihkan sistem ini ketika sudah melampaui titik kritisnya.
Kini, perubahan iklim telah menempatkan kehidupan di bumi dalam bahaya karena semakin mendekatnya sejumlah titik kritis itu. Alarm itu dengan gamblang dipaparkan dalam penilaian ilmiah terbaru, Global Tipping Points Report, yang ditulis oleh lebih dari 200 peneliti.
Baca juga : Perubahan Iklim Picu Gelombang Panas Lebih Sering dan Lebih Ekstrem
Laporan yang diterbitkan di pengujung perundingan iklim Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, ini dipimpin Timothy M. Lenton, ilmuwan dari Global Systems Institute (GSI), University of Exeter, Inggris. ”Titik kritis ini menimbulkan ancaman besar yang belum pernah dihadapi umat manusia sebelumnya,” kata Tim Lenton.
Titik kritis di udara, darat, dan laut
Setelah mempelajari bukti-bukti ilmiah mengenai perubahan di masa lalu dan saat ini, serta memperhitungkan proyeksi dari model komputer, para ilmuwan kini mengidentifikasi lebih dari 25 titik kritis dalam sistem bumi.
Enam titik kritis di antaranya terjadi di bagian bumi yang tertutup es (kriosfer), termasuk runtuhnya lapisan es raksasa di Greenland dan berbagai wilayah di Antartika, serta terjadinya tipping lokal di gletser dan pencairan lapisan es.
Sementara 16 titik lainnya berada di biosfer—jumlah seluruh ekosistem di dunia—termasuk pohon-pohon yang mati dalam skala besar di beberapa bagian Amazon dan hutan boreal utara, degradasi sabana dan lahan kering, kelebihan nutrisi di danau, kematian massal terumbu karang, dan banyak hutan bakau dan padang lamun yang mati.
Titik kritis ini menimbulkan ancaman besar yang belum pernah dihadapi umat manusia sebelumnya.
Terakhir, para ilmuwan mengidentifikasi empat titik kritis potensial dalam sirkulasi lautan dan atmosfer, termasuk runtuhnya percampuran laut dalam di Atlantik Utara dan Samudra Selatan di sekitar Antartika, serta gangguan pada monsun Afrika Barat.
Dalam laporan terbarunya, Lenton dan tim menyebutkan, lima titik kritis utama sudah berisiko terlampaui dengan pemanasan global saat ini yang mencapai 1,2 derajat celsius. Tiga titik kritis lainnya akan terlampaui pada tahun 2030-an, saat pemanasan global melebihi 1,5 derajat celsius.
Lima titik krisis yang semakin dekat itu, yakni hilangnya terumbu karang di seluruh dunia, yang terancam bahkan pada tingkat pemanasan saat ini. Ketika air laut terlalu hangat, karang akan mengeluarkan alga (Zooxanthellae) yang hidup di jaringannya sehingga menyebabkan karang menjadi putih seluruhnya. Ini disebut pemutihan karang.
Ketika karang memutih, ia sekarat. Karang dapat bertahan hidup saat mengalami pemutihan dan kembali pulih saat suhu laut kembali mendingin. Namun, jika suhu laut terus memanas, maka masa depan karang semakin suram. Beberapa laporan telah menyebutkan, gelombang panas laut yang memecahkan rekor menyebabkan pemutihan karang massal secara global semakin kerap terjadi.
Laporan terpisah ilmuwan terumbu karang Universitas Queensland, Ove Hoegh-Guldberg, di jurnal Science pada 7 Desember 2023 menyebutkan, kondisi tekanan panas dimulai 12 minggu lebih cepat dari puncak yang tercatat sebelumnya dan bertahan lebih lama di wilayah tropis Pasifik bagian timur dan Karibia yang lebih luas.
”Data historis menunjukkan gelombang panas laut saat ini kemungkinan akan menjadi awal dari peristiwa pemutihan dan kematian karang massal global selama 12 hingga 24 bulan ke depan, seiring dengan berlanjutnya fase El Nino dari El Nino-Southern Oscillation atau ENSO,” sebut Guldberg.
Baca juga : Iklim Bumi yang Kian Rancu
Lapisan es di Greenland dan Antartika Barat juga berisiko mengalami keruntuhan permanen yang dapat meningkatkan permukaan air laut pada abad ini dan seterusnya. Berikutnya, yang juga dalam ancaman besar adalah robohnya sirkulasi Atlantik Utara, dan pencairan lapisan es yang tersebar luas di wilayah tertentu.
Adapun tiga titik kritis yang bakal terlampaui pada 2030-an adalah hancurnya ekosistem hutan bakau, padang lamun, dan sebagian hutan boreal. Beberapa sistem juga dapat menurunkan ambang batas pemanasannya karena faktor lain, seperti penggundulan hutan di Amazon.
Dengan kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat celsius di atas tingkat praindustri, hutan di wilayah utara terancam, begitu pula hutan bakau dan ekosistem pesisir lainnya. Sebagian besar hutan hujan Amazon dapat digantikan oleh sabana dengan pemanasan sedikitnya 2 derajat celsius.
Sulit untuk memahami konsekuensi jika melewati titik kritis ini. Misalnya, jika sebagian hutan hujan Amazon hilang, banyak spesies akan hilang, dan pemanasan akan semakin meningkat karena miliaran ton karbon yang saat ini tersimpan di pepohonan dan tanah masuk ke atmosfer. Di kawasan ini, hal ini dapat menimbulkan dampak ekonomi senilai triliunan dolar, dan membuat jutaan orang terkena panas ekstrem.
Aksi segera
Mengingat besarnya skala risiko dari titik kritis, kita mungkin berasumsi bahwa penilaian ekonomi terhadap perubahan iklim juga mencakup hal tersebut. Sayangnya, sebagian besar penilaian mengabaikan risiko titik kritis. Ini mungkin kesimpulan paling menakutkan dari laporan baru ini.
Manjana Milkoreit, ilmuwan politik di Universitas Oslo dan salah satu penulis laporan tersebut, kepada Nature (6/12/2023) mengatakan, pertimbangan terhadap titik kritis membuat tindakan jangka pendek menjadi lebih mendesak.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim telah menilai berbagai skenario yang bertujuan untuk mencegah pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat celsius. Namun, tren saat ini menunjukkan hal itu tak mungkin dicegah lagi. Skenario yang melampaui batas tersebut meningkatkan risiko terjadinya titik kritis, sehingga mustahil memulihkan iklim ke kondisi seperti sekarang.
Artinya, menurut Milkoreit, keputusan umat manusia dalam satu atau dua dekade ke depan dapat berdampak pada kehidupan di planet ini selama ribuan tahun. ”Sistem tata kelola yang kita miliki saat ini tidak cocok untuk mengatasi masalah seperti itu,” ujarnya.
Di sisi lain, laporan ini juga memberikan harapan. Lenton dan tim mencantumkan potensi titik kritis positif dalam sistem sosial, politik dan ekonomi, yang jika dilampaui, dapat memberikan manfaat yang tidak terbatas bagi iklim.
Para ilmuwan mengatakan, mereka sudah melihat bukti adanya titik kritis positif di mana penurunan biaya pembangkit listrik tenaga angin dan surya mendorong semakin banyak investasi yang beralih dari bahan bakar fosil ke energi ramah lingkungan. Sekalipun demikian, jelas bahwa kebijakan tambahan yang dilakukan pemerintah sejauh ini tidaklah cukup untuk menghentikan bumi mendekati titik kritisnya.
”Kita perlu menemukan dan memicu beberapa titik kritis positif yang mempercepat tindakan menuju jalur alternatif,” sebut Lenton.