Politik Transaksional dan Hiperrealitas ”Polling”
Seharusnya lembaga ”polling” berfungsi menjajaki pendapat calon pemilih, bukan mengarahkan pendapat atau pilihan.
Pemilu sudah di depan mata. Ini kesempatan yang menentukan bagi warga negara untuk mendesakkan perubahan model pengambilan keputusan kebijakan publik agar tak hanya ditentukan oleh oligarki yang sarat transaksi.
Masalahnya, politik transaksional sudah membayangi: pengelompokan partai-partai politik pendukung calon presiden dan wakil presiden.
Selama ini, mekanisme keputusan hanya di tangan sekelompok orang terbatas (oligarki): pimpinan partai, pengusaha (sering pemilik media), birokrat yang beraliansi dengan media dan ditopang penegak hukum. Maka, kepentingan oligarki itu yang diprioritaskan. Salah satu produk undang-undang yang penuh kontroversi karena dianggap mencerminkan kepentingan oligarki adalah UU Cipta Kerja.
Kasus rekayasa kontroversial lain ialah keputusan Mahkamah Konstitusi tentang batas umur cawapres. Bagaimana agar erosi prinsip-prinsip demokrasi itu jangan berlanjut?
Melalui mandat pemilu, seharusnya pemimpin yang mengendalikan diskusi publik akan memperhitungkan kehendak kolektif. Harapannya para pemimpin dan wakil rakyat hasil pemilu nanti berjuang untuk mengurangi ketidakadilan dengan membuat organisasi kolektif lebih rasional.
Melalui mandat pemilu, seharusnya pemimpin yang mengendalikan diskusi publik akan memperhitungkan kehendak kolektif.
Rasional dalam arti sesuai dengan etika politik, yaitu semakin memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi agar lebih adil. Jangan sampai hasil pemilu akan semakin memperlemah institusi-institusi sosial, termasuk lembaga pemberantasan korupsi dan partisipasi warga negara.
Lemahnya partisipasi menunjukkan, kedaulatan rakyat hanya menutupi realitas pertarungan kekuatan di antara kelompok kepentingan dan partai politik. Pada akhirnya, tujuan utama kekuasaan hanya menjamin kendali negara dengan mendistribusikan secara sepihak posisi-posisi kekuasaan layaknya politik transaksional.
Sifat transaksional terjadi secara tertutup, jauh dari pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini dapat mengikis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi karena warga negara merasa bahwa keputusan dibuat tanpa masukan atau pengetahuan mereka.
Politik transaksional mengacu ke model politik ketika para aktor, seperti politisi, partai, dan pengusaha, terlibat dalam transaksi untuk mencapai tujuan mereka. Transaksi ini melibatkan pertukaran dukungan politik, atau sumber daya dengan imbalan kebijakan tertentu, atau penunjukan pejabat.
Merusak prinsip demokrasi
Politik transaksional tidak selalu negatif. Masalah muncul ketika politik transaksional menyebar dan merusak prinsip-prinsip demokrasi: ketika politik melibatkan kesepakatan dan negosiasi di belakang layar yang tidak transparan kepada publik; ketika warga negara tidak mengetahui proses pengambilan keputusan dan faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan.
Politik transaksional cenderung memprioritaskan keuntungan langsung untuk mendapatkan dukungan atau menenangkan para pemangku kepentingan utama. Politik transaksional berdampak langsung ke erosi nilai-nilai demokrasi—seperti supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia—serta membiarkan tindak korupsi dan konflik kepentingan.
Konflik kepentingan dan korupsi sering susah dibongkar karena saling sandera antarpolitisi dan antarparpol. Jika keputusan dibuat hanya karena alasan transaksional, prinsip-prinsip dasar demokrasi dapat dikompromikan dan mengakibatkan penguasaan proses politik oleh kelompok kepentingan khusus berkat kepemilikan sumber daya untuk melakukan transaksi.
Pemilu harus menjadi kesempatan penguatan institusi-institusi demokrasi. Maka, warga negara, terutama kelompok akademisi, mengarahkan isu-isu yang harus diusung dalam kampanye.
Harus diusahakan agar isu-isu yang diusung di pemilu mengacu ke perbaikan institusi-institusi politik dan ekonomi. Demokratisasi akan semakin menjawab masalah kesejahteraan masyarakat jika partai fokus pada perdebatan serius tentang masalah-masalah riil rakyat. Hubungan partisipasi masyarakat dan penguatan institusi-institusi politik- ekonomi menjadi isu yang menentukan karena pertaruhannya ialah keadilan.
Politik transaksional cenderung memprioritaskan keuntungan langsung untuk mendapatkan dukungan atau menenangkan para pemangku kepentingan utama.
Tokoh dan partai pemenang akan memengaruhi apakah sistem demokrasi bisa diarahkan untuk mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan warga negara. Hasil pemilu seharusnya meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan dan memperkuat lembaga-lembaga agar dapat membantu melindungi sistem demokrasi dari dampak negatif politik transaksional.
Maka, sikap kritis terhadap pelaksanaan pemilu harus diterjemahkan dalam bentuk pengawasan, termasuk mengritisi lembaga-lembaga polling, yang sering cenderung lebih mengarahkan pendapat dari pada jajak pendapat.
”Polling” bisa memihak
Seharusnya lembaga polling berfungsi menjajaki pendapat para calon pemilih, tetapi sering terjadi berubah menjadi mengarahkan pendapat atau pilihan.
Netralitas bisa digadaikan. Sudah menjadi rahasia umum, ada lembaga polling bisa dibayar untuk kepentingan pemenangan pemilu kelompok tertentu. Kalaupun tidak mau dibayar, sering harus kompromi karena dijadikan sasaran tekanan politik, baik secara langsung maupun tersamar. Cara mengintimidasinya, dicari kelemahan lembaga polling tersebut, pemilik, atau penelitinya. Bagaimana mungkin penelitian yang kelihatannya ilmiah itu bisa kompromi?
Ada lima celah di mana lembaga polling bisa memihak atau tak netral. Pertama, memanipulasi sampel responden untuk menciptakan hasil yang sesuai keinginan atau agenda pemesan. Kedua, pertanyaan dirancang secara tendensius agar bisa memengaruhi jawaban responden sehingga menghasilkan data yang seakan akurat padahal sudah memihak.
Ketiga, menyajikan data secara tak jujur untuk menggiring opini publik. Keempat, tak transparan tentang metodologi yang digunakan, termasuk dalam pengumpulan dan analisis data, yang menimbulkan keraguan terhadap keabsahan hasil polling. Kelima, riset ilmu sosial biasa memakai pendekatan pengamatan, jajak pendapat, kuesioner, dan teknik statistik, seperti persentase, grafik, angka, atau tabel.
Semua pendekatan itu merupakan transformasi wacana ke bentuk representasi masalah. Jawaban model pendekatan ini—biasanya dalam bentuk simbol-simbol (angka)—adalah hasil konstruksi sehingga informasi adalah interpretasi. Jadi, hasil polling sangat rentan keberpihakan. Lalu indikator atau tanda dianggap seakan-akan realitas itu sendiri. Polling bisa berubah jadi hiperrealitas.
Bahaya hiperrealitas ”polling”
Status jajak pendapat itu sebetulnya dari sisi ilmiah adalah sebagai indikator. Namanya saja indikator, maka berarti nanti hasil finalnya bergantung pada variabel-variabel penentunya. Masalahnya ialah ketika polling sebagai indikator atau tanda (dalam terminologi Jean Baudrillard, 1981)—dan bukan realitas—dianggap sebagai realitas itu sendiri.
Polling semacam itu memungkinkan terjadi apa yang disebut Baudrillard ”hiperrealitas”, yaitu ketika tanda dianggap sebagai realitas itu sendiri. Polling dianggap realitas hasil pemilu itu sendiri.
Padahal, tanda, menurut Baudrillard, bisa juga memainkan tiga bentuk citra atau gambar lain. Pertama, sebagai representasi, tanda menunjuk ke realitas. Namun, kedua, tanda juga bisa menyembunyikan realitas (dissimulation). Ketiga, tanda bisa juga sebagai hasil simulasi. Hanya saja ketika hasil polling rentan direkayasa (dibeli, diintimidasi) sulit meyakinkan bahwa status polling merepresentasikan realitas itu.
Hiperrealitas ini sangat berbahaya jika ternyata hasil pemilu tak sesuai dengan hasil polling selama ini.
Jadi, hasil polling sangat rentan keberpihakan. Lalu indikator atau tanda dianggap seakan-akan realitas itu sendiri.
Akibatnya, pertama, petugas bisa terintimidasi untuk menyesuaikannya. Kedua, para pendukung calon yang selama ini unggul di polling akan marah, protes atau melakukan kerusuhan. Ketiga, imajinasi sosial dan ideologi akan sangat menentukan dalam menafsirkan kekalahan sehingga emosi lebih bermain daripada rasionalitas atau obyektivitas.
Maka, komentar reaktif yang muncul adalah manipulasi, konspirasi, atau penipuan. Dalam politik, orang mudah terjebak dalam slogan: ”Take your desire for reality!” Dalam hiperrealitas di mana acuan tidak relevan lagi, orang biasa merancukan antara prinsip realitas dan prinsip hasrat. Keinginan sudah dianggap seakan realitas itu sendiri.
Haryatmoko,Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Komisi Kebudayaan, dan Dosen Universitas Sanata Dharma