logo Kompas.id
OpiniNyali Wasit dan Realpolitik
Iklan

Nyali Wasit dan Realpolitik

Wasit adalah gambaran urgensi: otoritas dalam keadaan gelisah, ketika melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari aksi, bukan agen otoritas.

Oleh
SENO GUMIRA AJIDARMA
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/I0mRUnrhmkVv_qSsHqOtx5El0v0=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F13%2Fd236746c-da2e-46d0-91c8-bdad6a995500_jpg.jpg

Dalam kompetisi politik praktis, begitu sulitkah untuk dimengerti, betapa yang mestinya dimenangkan bukanlah golongannya masing-masing, melainkan prosedur demokrasi itu sendiri?

Artinya, bagi politikus yang baik, begitu baik, bagaikan tiada lagi yang lebih baik, tidaklah harus menjadi masalah jika calon presiden, partai, maupun koalisinya kalah, asalkan dengan cara-cara demokratis.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Namun, apa yang terjadi dalam dunia sepak bola berlaku pula pada dunia politik, yakni berlangsungnya realpolitik: boleh saja mengabaikan peraturan, asal kemenangan berada di tangan.

Sama seperti pemain sepak bola, menarik kaus, celana, tangan, menjegal kaki, dan yang sering terjadi menangkap bola dengan tangan—walau disadari tersaksikan kamera dan tertayang ke seluruh dunia.

Perbedaannya, jika tepergok, dihukum, bahkan mendapat kartu merah dan dikeluarkan dari lapangan, meski bersungut-sungut, para pemain itu pada umumnya menerima. Ini belum tentu terjadi dengan politikus.

Bahkan dalam hal dunia politik Indonesia, akankah para wasit melakukan kewajibannya untuk menghukum atau memberi sanksi?

Wasit berkulit badak

Dalam analogi sepak bola dengan politik, dapat kiranya ditengok wacana wasit dalam sepak bola, sejauh analog pula dengan wasit dalam politik praktis sebagai ajang realpolitik.

Disebutkan dalam The Football Man (Hopcraft, 1974), yang masih dianggap salah satu dari sepuluh buku terbaik tentang sepak bola, seorang wasit menderita ketegangan sebelum dan selama pertandingan, seperti juga pemain. Ketegangan ini tentu diakibatkan posisi mereka yang rawan, bukan saja menghadapi pemain, melainkan juga khalayak penonton yang merasa berkepentingan, bahwa kesebelasan pujaannya harus menang.

Sukses seorang wasit memerlukan pengabdian pada pekerjaannya.

https://cdn-assetd.kompas.id/6-zPoXKFSK7doPGz_aVTr8lkfe0=/1024x584/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F17%2Fd276a463-b018-48e9-b210-b7a0e4d0a86f_jpg.jpg

Wasit adalah gambaran urgensi: otoritas dalam keadaan gelisah, ketika melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari aksi, bukan agen otoritas. Mereka adalah pesohor minor, yang menerima surat pujian dan pelecehan mengecutkan dari orang-orang yang tidak pernah mereka temui.

Di lapangan, wasit sadar atas apa yang dibicarakan pemain satu sama lain. Mereka dapat mengawasi situasi buruk berkembang dalam suatu pertandingan, jauh sebelum orang banyak melihat hasilnya yang eksplosif. Ia pun mesti menjaga agar tetap dekat dengan pusaran badai dalam permainan, walau berat bagi kakinya untuk setiap saat berada di pusat aksi.

Wasit yang tidak memadai adalah wasit yang resah, bingung, terbuka bagi pelecehan dari para pemain dan hampir tidak berada dalam posisi untuk menundukkan pemain-pemain itu. Namun, tentu wasit tidak boleh menjadi subjek perilaku impulsif dalam momen-momen ketegangan, ketika memang dengan segera membuat orang-orang marah.

Iklan

Terdapat momen-momen, saat keahlian dan kejahatan bermain sekaligus, menguji wasit sampai batas kemampuannya. Ada saat ia harus memutuskan mana di antara keduanya yang benar, saat hadir pada insiden secara bersamaan.

Wasit sebaiknya dapat membedakan antara sumpah serapah pemain-pemain marah, dan pelecehan jahat oleh mereka yang berusaha melakukan intimidasi terhadapnya.

Wasit sebaiknya dapat membedakan antara sumpah serapah pemain-pemain marah, dan pelecehan jahat oleh mereka yang berusaha melakukan intimidasi terhadapnya. Wasit, di atas segalanya, butuh kulit seperti badak dan tuli seperti kuku pintu (doornail).

Wasit yang baik bukan orang yang bermain aman dengan mata buta, atau menjadi tontonan publik untuk dirajam kemurkaan moral, melainkan yang dapat secara diam-diam memindahkan persneling, untuk menghindari serangan.

Tentu, wasit hanya perlu bikin satu kesalahan yang buruk, dan semua hal yang telah dilakukannya dalam permainan dilupakan.

Bahwa wasit juga membuat kesalahan, itu pun harus diketahui pemain, tidak bersikap seolah-olah hal itu tidak mungkin—yang perlu diketahui pemain, wasit selalu bertindak berdasarkan ”apa yang dilihatnya”.

Adalah vital bagi permainan, bahwa wasit mesti kembali kepada posisi yang biasanya ditempati, ketika para pemain selalu menerima keputusan wasit sebagai final.

Kibul jenius realpolitik

Dalam analogi dunia sepak bola bagi politik, boleh ditengok gagasan John Stuart Mill (1806-1873) dalam Soccer and Philosophy (Olaya et al dalam Richards, 2010) yang mengenali dua jenis peraturan, yakni peraturan formal (the rules of law) dan peraturan opini (rules of opinion)—yang terakhir ini berasal dari pelatih, tidak tergantung kepada peraturan formal. Sepak bola adalah permainan yang para pemainnya bisa melanggar kedua jenis peraturan tersebut.

Walau dalam buku itu konteks pelanggaran adalah ”kejeniusan” Maradona dan Messi (ya, Messi juga) membuat gol dengan tangan, yang bagi Mill adalah orisinalitas pikiran dan tindakan jenius dengan mengabaikan kearifan konvensional, mestilah digarisbawahi dengan spidol tebal: wasit tidak melihatnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/Hnq8vVlR1NMm6QHXGTb32J-SPFo=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F24%2F5498d805-e302-47f3-aff8-89df4fe74776_jpg.jpg

Kecurangan politik seperti yang diistilahkan sebagai Machiavellian, memang cara manusia berpolitik sebagaimana disaksikan, disingkap, dan dituliskan menjadi satire tajam, Sang Pangeran, oleh Niccolò Machiavelli (1469-1527) yang pernah mengalami siksaan kejam, sebagai risiko kegiatan politiknya di Italia pada abad ke-16.

Realisme politik sering mengamini, yang kemudian dengan salah kaprah disebut Machiavellianisme, bahwa tujuan menghalalkan segala cara.

Dapat dipercaya, wasit bermata elang akan mengetahuinya. Namun, adalah faktor nyali yang menjadi penentu, apakah sang wasit layak dipercaya oleh rakyat Indonesia.

Baca juga: Demokrasi Dinilai Melemah, Masyarakat Sipil Serukan Kawal Pemilu

Seno Gumira Ajidarma
KOMPAS/RIZA FATHONI

Seno Gumira Ajidarma

Seno Gumira Ajidarma, Penulis Partikelir

Editor:
NUR HIDAYATI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000