Kesadaran yang dulu dibentuk oleh tradisi bahasa—berkembang cepat dengan munculnya mesin cetak—bermutasi ke dunia ”image”, citra.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
”Berakhirnya waktu? Anda maksud berakhirnya dunia dan berakhirnya semesta ciptaan yang berimplikasi pada berakhirnya waktu (the end of time), bisa pula dikatakan sebagai berakhirnya suatu kondisi, di mana kita tidak lagi hidup dalam sejarah?”
Kalimat di atas saya comot dan terjemahkan secara merdeka dari buku Conversations About the End of Time (Penguin Books, 2000) oleh tim penulis/jurnalis Jean-Philippe de Tonnac dan kawan-kawan dengan para pemikir, yakni Stephen Jay Gould, Umberto Eco, Jean-Claude Carriere, dan Jean Delumeau.
Saya tidak akan membeberkan jawaban Jean Delumeau atas pertanyaan dari buku tersebut—sebuah pertanyaan yang kelewat kompleks untuk zaman yang menuntut segalanya harus serba praktis sekarang. Jawabannya pun kelewat panjang lebar, tidak cukup untuk kolom pendek ini.
Yang hendak saya tunjukkan hanyalah bagaimana wawancara yang esensinya merupakan suatu konfrontasi gagasan berusaha menggugah kesadaran-kesadaran baru, mengajak manusia merambah kemungkinan-kemungkinan tak terduga kemanusiaan.
Dunia waktu itu menghadapi kebimbangan menghadapi milenium baru yang kemudian sama-sama kita jalani kini. Wawancara dimaksudkan untuk mengungkap pemikiran-pemikiran reflektif atas eksistensi manusia pada situasi yang tidak pasti dan dicemaskan banyak orang masa itu.
Akankah persis pada pergantian tahun 1999 ke 2000 bakal terjadi disrupsi, sistem digital ngaco menjadikan dunia kacau balau? Ataukah malah akan terjadi kiamat?
Demikianlah lebih kurang situasi dan mood yang bisa saya kenang pada pergantian tahun ketika itu. Saya waktu itu berada di New York dan melihat orang membentangkan spanduk bertuliskan ”The End is Near” di Times Square.
Meski untungnya kiamat urung terjadi, the great disruption atau longsor besar telah berlangsung menjadikan dunia yang kita jalani sekarang sama sekali berbeda dibanding dunia sebelumnya. Tentu saja tidak semua orang terutama yang tak terbiasa dengan dunia buku dan pemikiran peduli mengenai hal ini.
Neurons dalam tempurung kepala manusia yang dulu bekerja atas asas analog kini berevolusi, bekerja dengan asas digital. Kesadaran yang dulu dibentuk oleh tradisi bahasa—berkembang cepat dengan munculnya mesin cetak—bermutasi ke dunia image, citra. Kesadaran berbangsa yang menurut Benedict Anderson dibentuk oleh produk mesin cetak seperti koran dan membuat orang dari Sabang sampai Merauke merasa senasib sepenanggungan kini tinggal kenangan.
Sentimen kebangsaan—dan sentimen primordial apa saja—kini dibentuk dan ditentukan oleh citra. Yang penting cuma nekat dan konsisten, termasuk konsisten mempertontonkan kebodohan. Untuk dunia yang bagi banyak orang kian praktis ini, dunia yang tak perlu mikir, Franklin Foer memberikan sebutan seperti judul bukunya: World Without Mind (Dunia Tanpa Otak).
Saya sendiri sering kecewa berpikir serius. Pernah diundang menjadi pembicara dalam sebuah diskusi, untuk menghormati undangan yang jarang-jarang saya terima tersebut, saya menyiapkan makalah dengan catatan kaki berpuluh-puluh.
Dalam bayangan saya yang namanya diskusi masih seperti pada zaman baheula, di mana panelis membacakan makalahnya, pendengar menyimak ,dan moderator harus lebih menyimak lagi karena ia akan menentukan arah diskusi dan memperdalamnya.
Kenyataannya tidak demikian. Moderator diskusi, cewek muda dan cantik, mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada saya tanpa juntrungan. Tidak ada kesempatan bagi saya menguraikan pemikiran-pemikiran yang saya siapkan.
Kadang malah saya tidak perlu menjawab. Ia memberikan komentarnya sendiri dan meminta peserta diskusi tepuk tangan untuk saya. Saya bingung, tolah-toleh seperti monyet dalam pertunjukan sirkus.
Agak terlambat saya menyadari bahwa sekarang ini yang namanya diskusi memiliki sebutan baru, yakni talk show. Dalam talk show yang mengemuka adalah tontonan, mengajak orang sorak sorai.
Dari situ saya belajar, krida gagasan sudah bukan lagi zamannya. Setiap kali menerima undangan diskusi sekarang ini saya tidak menyiapkan apa-apa. Cukup datang tepat waktu. Kalau macet naik ojek.
Di forum diskusi ngomyang saja. Meniru para petinggi negeri, tak perlu malu kelihatan bak orang kurang waras. Kalau moderatornya seperti ketika itu, modis memakai high heel, jangan grogi sampai lupa tanya nomor telepon.
Sejarah telah berakhir.
Selamat menyambut datangnya tahun baru.
Masa depan kita seperti kita jalani kini adalah masa depan tanpa gagasan.