logo Kompas.id
Opini”Merampok” Anak Muda
Iklan

”Merampok” Anak Muda

Dengan menggunakan kata-kata dan jargon ”muda”, para politisi merampok konsep ”muda” untuk mencapai kekuasaan. Ini cara yang sangat tua.

Oleh
JEJEN JAELANI
· 4 menit baca
Ilustrasi
SUPRIYANTO

Ilustrasi

Dalam berbagai kesempatan pemilu, baik pemilihan kepala negara, kepala daerah, maupun anggota legislatif, anak muda selalu menjadi komoditas yang menarik. Demikian pula menjelang Pemilu 2024, anak muda kembali menjadi komoditas yang menarik bagi para politisi.

Para calon yang akan berkontestasi dalam pemilu mengangkat topik anak muda sebagai bahan kampanye politik mereka. Banyak politisi yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari anak muda, pro pada anak muda, berjiwa muda, hingga menyatakan berbagai janji untuk menggaet suara anak muda. Setelah pemilu, di dalam berbagai kesempatan, bidang, dan kebijakan, anak muda cenderung tidak dianggap penting dan memiliki daya tawar yang lemah.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Komoditas politik

Keberadaan anak muda di dalam pemilu merupakan sesuatu yang menjanjikan dan bahkan menentukan. Bagaimana tidak, jika kita lihat data Badan Pusat Statistik, menurut hasil Susenas 2020, terdapat sekitar 64,50 juta jiwa penduduk Indonesia yang berada dalam kelompok umur pemuda (BPS, 2020). Secara persentase, jumlah pemuda ini mencapai angka 23, 86 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Parameter pemuda yang digunakan BPS adalah pemuda menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan (UU Kepemudaan), yaitu warga negara Indonesia yang berusia 16 hingga 30 tahun yang merupakan periode penting usia pertumbuhan dan perkembangan.

Dengan ukuran yang berbeda, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut pemilih muda, yaitu dengan rentang usia 17 hingga 40 tahun. Berdasarkan data KPU, jumlah pemilih muda mencapai 106.358.447 jiwa atau sebesar 52 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) 2024. Kompas merinci pemilih usia 17-30 tahun mencapai 63.953.031 pemilih dan umur 31-40 tahun sebanyak 42.398.719 pemilih. Lalu, ada 6.697 pemilih di bawah 17 tahun yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih (Kompas.com, 2 Juli 2023).

Baca juga: Persona Politik Pemilih Muda

Dengan angka yang demikian besar, tentu keberadaan anak muda menjadi magnet yang menjanjikan di dalam pemerolehan suara pemilu. Oleh sebab itu, para politisi dan partai politik berusaha sekeras mungkin berusaha untuk mendapat suara anak muda di dalam pemilu. Para politisi dan partai politik menggunakan berbagai siasat untuk mendekati dan memperoleh suara anak muda.

Lihat saja, misalnya, banyak materi kampanye dan alat peraga kampanye yang ditujukan untuk anak muda. Para politisi dan partai politik bersolek sedemikian rupa untuk membuat dirinya seolah-olah menjadi bagian dari anak muda, bergaya seperti anak muda, menampung aspirasi dan kegelisahan anak muda, dan seterusnya.

Tidak jarang, misalnya, kita melihat partai politik menyebut diri mereka sebagai partainya anak muda, berpose dan bergaya seperti anak muda, menggaet para pemengaruh (influencer) media sosial untuk menjadi anggota partai politik mereka, hingga merekrut para pembuat konten sebagai bagian dari tim kampanye. Mereka berusaha menampilkan diri mereka sebagai pihak yang paling dekat dengan anak muda dan akan menjadi pihak yang akan membawa perubahan bagi anak-anak muda.

https://cdn-assetd.kompas.id/-MCPjG0qtkWUokiAeBjdVIJ_0c4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F08%2F9ecc4ca4-fee2-41ca-923f-24913c272afd_jpg.jpg

Perampokan bahasa

Iklan

Dalam berbagai alat peraga kampanye, anak muda menjadi topik yang sering diangkat. Sosok calon presiden, calon wakil presiden, calon kepala daerah, calon anggota legislatif dengan pose dan gaya seperti anak muda sering muncul di dalam berbagai alat peraga kampanye (APK). Selain berpose seperti anak muda, berbagai kata, slogan, kalimat yang memuat kata anak muda, pemuda, atau berjiwa muda pun sering muncul menyertai.

Kata-kata, kalimat, atau jargon seperti berikut sering muncul di dalam berbagai APK: ”Muda, Peduli, Profesional”; ”Muda, Religius, Nasionalis”; ”Muda dan Peduli”; ”Muda Membangun”; ”Muda dan Merakyat”; ”Muda Bekerja”; ”Muda adalah Kekuatan”; ”Muda, Aksi bukan Janji”; ”Muda adalah Harapan untuk Perubahan”; ”Saatnya yang Muda Membangun Negeri”; ”Bangkitkan Semangat Pemuda untuk Wujudkan Indonesia yang Lebih Baik”; ”Pemimpin Milenial harus Pahami Potensi Sektor Ekonomi Kreatif dan Menghargai Kearifan Lokal”; “Anak Muda Punya Partai”; ”Partai Anak Muda”; “Pemuda Menjawab Tantangan Zaman”; “Pemuda Indonesia Menatap Dunia”; ”Muda, Pintar, Sopan Santun, Bekerja untuk Rakyat”; ”Anak Muda harus Berani Masuk Politik”; “Muda, Cerdas, Berakhlak”; dan sebagainya.

Dengan angka yang demikian besar, tentu keberadaan anak muda menjadi magnet yang menjanjikan di dalam pemerolehan suara pemilu.

Dalam kacamata semiotika, penggunaan kata ”muda” di alat kampanye politik ini dapat dilihat sebagai sebuah mitos. Menurut Barthes di dalam Mythologies (2012), segala sesuatu dapat menjadi mitos asal disajikan di dalam sebuah wacana. Mitos dapat membangun keyakinan, pemahaman, dan stereotip. Mitos adalah sebuah cara penandaan (signification), sebuah bentuk.

Satu hal yang penting di dalam pembahasan tentang mitos adalah bahwa mitos bekerja dengan cara merampok atau mencuri bahasa. Thwaites, dkk (2002) menyebut bahwa efek dari mitos adalah simplifikasi radikal atas semua relasi di dalam sistem. Mitos mengodekan secara berlebihan keseluruhan sistem kepada satu unsur dominan tunggal dan relasi tunggal.

Jumlah pemilih generasi Y (milenial) dan generasi Z mencapai 115,6 juta atau 56,45 persen dari total pemilih pada Pemilu 2024. Berangkat dari hal itu, Tim Media Sosial Kompas meluncurkan program #MudaMemilih sebagai upaya edukasi politik kepada generasi muda di Jakarta, Rabu (8/11/2023).
MEDIA SOSIAL HARIAN KOMPAS/ANTONIUS SULISTYO PRABOWO

Jumlah pemilih generasi Y (milenial) dan generasi Z mencapai 115,6 juta atau 56,45 persen dari total pemilih pada Pemilu 2024. Berangkat dari hal itu, Tim Media Sosial Kompas meluncurkan program #MudaMemilih sebagai upaya edukasi politik kepada generasi muda di Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Di dalam kampanye politik untuk mendapatkan suara, kata ”muda” disimplifikasi secara radikal oleh para politisi. Melalui jargon seperti ”Muda, Peduli, Profesional”; ”Muda, Cerdas, Berakhlak”; ”Anak Muda Harus Berani Masuk Politik”; dan sebagainya, para politisi merampok konsep ”muda” untuk menaturalisasikan hasrat, keingin-menjadian, dan ambisi untuk berkuasa. Mereka mengartikulasikan seolah-olah mereka adalah ”muda”, ”anak muda”, atau ”pemuda” untuk menaturalisasikan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kelas berkuasa.

Menurut Barthes, mitos adalah perampokan lewat penjajahan. Para politisi merampok konsep anak muda bukan untuk menjadikannya contoh atau simbol, melainkan untuk menaturalisasikan suatu imperium, selera atau hasrat para politisi tersebut melalui konsep muda yang mereka rampok. Penggunaan konsep muda di dalam berbagai kampanye politik sesungguhnya adalah proyeksi hasrat untuk berkuasa belaka.

Jika kita tarik ke dalam konteks praktik kampanye politik, para politisi yang merampok konsep muda untuk mencapai kekuasaan, sesungguhnya bekerja dengan cara-cara yang sangat tua. Sulit untuk membedakan praktik kampanye politik dari para politisi yang mengaku muda dengan para politisi pada umumnya.

Baca juga: Pemilih Muda dan Buaian ”Politainment”

Di ruang kota, misalnya, mereka sama-sama berkampanye dengan menyebar berbagai reklame politik di berbagai sudut kota dan menjadi bagian dari polusi visual. Mereka juga cenderung pada pola paternalistik yang berkutat pada menjual citra diri dibandingkan dengan gagasan. Dibandingkan menyajikan gagasan yang siap diuji oleh publik, para politisi ini cenderung menonjolkan citra diri dan jargon sebagai anak muda atau peduli pada anak muda.

Selain itu, praktik menyandingkan foto diri di samping foto ketua umum partai atau calon yang dianggap lebih senior juga masih menjadi gajala umum yang bisa ditemukan di mana saja. Di dalam upaya untuk meraih simpati dan suara, mereka juga menggunakan pola-pola pengerahan massa yang selama ini umum dipakai. Tidak tertutup kemungkinan dan sudah menjadi rahasia umum, upaya-upaya menggunakan politik uang untuk meraup suara tetap menjadi hal yang dilakukan.

Mereka yang mengaku muda mewarisi berbagai cara usang yang sudah berlaku lama di dalam dunia politik di Indonesia. Muda dan anak muda hanya menjadi jargon. Gaya dan cara-cara mereka berpolitik tetap saja tua dan konvensional. Menggaet anak muda dengan demikian tidak lebih hanyalah siasat untuk berkuasa.

Jejen Jaelani, Dosen dan Peneliti di Prodi Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Sumatera (Itera)

Instagram: jejenjaelani8

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000