Menyikapi Gelombang Pengungsi Etnis Rohingya
Besar dugaan kedatangan kapal yang membawa rombongan etnis Rohingya dilakukan sistematis dengan difasilitasi oleh mafia.
Harian Kompas memberitakan ratusan warga etnis Rohingya kembali berlabuh di pesisir pantai Pulau Weh, Sabang, Aceh. Mereka mendarat di Pantai Batu Hitam, Jurong Keuramat, Gampong Ie Meule. Mereka terdiri dari orang dewasa dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Warga etnis Rohingya ini ingin diperlakukan sebagai pengungsi meskipun menurut Undang-Undang Keimigrasian, kehadiran mereka adalah ilegal karena mereka tidak menggunakan dokumen perjalanan yang sah dan tidak masuk melalui tempat pemeriksaan imigrasi.
Masyarakat Aceh di sekitar pantai pun ramai-ramai menolak kehadiran warga etnis Rohingya dan meminta agar para warga etnis Rohingya itu kembali ke tempat asalnya di Myanmar.
Gelombang kedatangan
Gelombang kedatangan warga etnis Rohingya ke Indonesia melalui Aceh sudah dimulai pada 2015. Pada gelombang kedatangan pertama ketika itu, mereka mendapat bantuan dari para nelayan Aceh.
Mereka diberi makan secukupnya dan ditempatkan di tempat penampungan yang disediakan oleh pemerintah daerah Aceh.
Pada tahun 2015 tersebut, diberitakan sebanyak 182 warga etnis Rohingya lari dari tempat penampungan. Mereka pun berbaur dengan masyarakat Aceh.
Para warga etnis Rohingya mencari penghidupan di Indonesia dan sebagian dari mereka kerap memunculkan konflik sosial dengan masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya.
Warga etnis Rohingya—sebelum melirik Indonesia—lebih dahulu menyasar Malaysia sebagai tempat untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Di Malaysia, para pendatang warga etnis Rohingya itu memang mendapatkan pekerjaan mengingat sejumlah perusahaan Malaysia membutuhkan pekerja kasar dengan gaji yang kompetitif.
Namun, masyarakat dan Pemerintah Malaysia sejak beberapa tahun terakhir sudah tidak menghendaki kedatangan para warga pendatang etnis Rohingya dari Myanmar ini.
Penyebabnya adalah citra negatif yang dimunculkan oleh warga etnis Rohingya menyusul konflik sosial dengan warga setempat dan tindakan kriminal yang dilakukan sebagian dari para warga etnis Rohingya tersebut.
Gelombang kedatangan warga etnis Rohingya ke Indonesia dari tahun ke tahun pun tidak dapat dibendung. Dan peristiwa kaburnya para pendatang ilegal itu dari tempat penampungan juga terus terjadi.
Para warga etnis Rohingya mencari penghidupan di Indonesia dan sebagian dari mereka kerap memunculkan konflik sosial dengan masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya. Tidak sedikit dari mereka yang melakukan tindak kriminal.
Gelombang kedatangan etnis Rohingya ke Indonesia tidak terlepas dari para warga etnis Rohingya yang berada di Indonesia, yang mengabarkan kepada keluarga dan kerabatnya untuk datang ke Indonesia melalui kapal-kapal laut.
Sejak 2009 hingga kini pengungsi etnis Rohingya terus berdatangan ke Provinsi Aceh. Terbaru sebanyak 219 pengungsi Rohingya mendarat di Kota Sabang. Pada Rabu (22/11/2023) mereka dievakuasi ke Banda Aceh untuk dibawa ke Kota Lhokseumawe, tempat penampungan.
Mereka pun diminta untuk mengiba saat datang agar diperlakukan sebagai pengungsi dan orang-orang yang perlu dikasihani. Mereka memberikan alasan sedang dikejar-kejar oleh otoritas di Myanmar dan mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat dan pemerintah di negara asal.
Para warga etnis Rohingya menggunakan simbol-simbol Islam agar mendapat simpati dari masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya.
Bahkan, sebagian dari para warga etnis Rohingya itu memegang kartu-kartu yang dikeluarkan oleh Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) meskipun sangat bisa dipertanyakan keasliannya.
Besar dugaan kedatangan kapal-kapal yang membawa rombongan etnis Rohingya dilakukan secara sistematis dengan difasilitasi oleh mafia. Mafia ini dimotori oleh etnis Rohingya yang telah lama menetap di Aceh. Mereka telah meraup keuntungan yang besar.
Biaya besar
Mereka yang bersimpati terhadap para pendatang warga etnis Rohingya menuntut agar pemerintah memperlakukan etnis Rohingya secara manusiawi. Mereka seolah lupa bila di Indonesia sendiri masih banyak orang miskin yang membutuhkan bantuan.
Para warga etnis Rohingya tersebut sangat bergantung pada masyarakat dan otoritas di Aceh untuk memberi makanan, minuman, obat-obatan, serta fasilitas untuk tidur dan mandi.
Tentu biaya yang dikeluarkan sangatlah besar. Terlebih mereka tidak memiliki uang yang memadai selama berada di Indonesia, tanpa kejelasan lama keberadaan mereka di Indonesia. Dana yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Aceh untuk ”memperlakukan secara manusiawi” para warga etnis Rohingya adalah pengeluaran yang tidak dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), bahkan menggerus anggaran lain.
Menjadi pertanyaan, apakah pantas untuk memperlakukan secara manusiawi orang asing yang masuk ke Indonesia secara ilegal, bahkan diperantarai oleh mafia, daripada warga sendiri?
Besar dugaan kedatangan kapal-kapal yang membawa rombongan etnis Rohingya dilakukan secara sistematis dengan difasilitasi oleh mafia.
Bukan urusan Indonesia
Kehadiran warga etnis Rohingya bukanlah urusan Indonesia. Indonesia tidak seharusnya memperlakukan etnis Rohingya sebagai pengungsi mengingat Indonesia bukan peserta Konvensi Pengungsi (Convention Relating to the Status of Refugees atau Refugees Convention) 1951.
Konvensi ini merupakan perjanjian multilateral yang mendefinisikan status pengungsi dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka.
Apabila warga etnis Rohingya hendak diperlakukan sebagai pengungsi, ini merupakan urusan UNHCR, dan Indonesia hanya membantu sedapatnya mengingat para warga etnis Rohingya saat ini berada di Indonesia.
Bantuan sedapatnya dari Indonesia tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 didefinisikan istilah pengungsi dari luar negeri sebagai berikut di bawah ini.
”Pengungsi adalah orang asing yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia disebabkan oleh ketakutan yang beralasan akan persekusi dengan alasan ras, suku, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik yang berbeda serta tidak menginginkan perlindungan dari negara asalnya dan/atau telah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia”.
Dua anak pengungsi Rohingya bermain di selasar bangunan tempat penampungan pengungsi Rohingya di Yayasan Mina Raya, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis (23/11/2023).
Menjadi pertanyaan, apakah para warga etnis Rohingya yang berdatangan ke Indonesia telah melalui suatu skrining atau seleksi untuk dapat dikategorikan sebagai pengungsi luar negeri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016?
Apakah mereka benar sedang dipersekusi atau ingin mencari penghidupan yang lebih baik di Indonesia? Apakah mereka sudah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari UNHCR?
Apabila belum melalui proses skrining ini, tidak ada keharusan bagi pemerintah untuk memperlakukan etnis Rohingya sebagai pengungsi luar negeri sehingga Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 bisa diberlakukan.
Perlu sikap tegas
Sudah seharusnya pemerintah mengambil tindakan tegas menghadapi gelombang kedatangan warga etnis Rohingya. Jangan sampai pemerintah terlambat mengambil kebijakan sehingga menjadi pekerjaan rumah yang sulit untuk diselesaikan di kemudian hari.
Paling tidak ada lima hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk ketegasan.
Pertama, pemerintah menyerahkan segala penanganan terhadap para pendatang ilegal ini kepada UNHCR. Kedua, pemerintah harus meminta agar UNHCR menyiapkan dan mengeluarkan anggaran untuk membiayai kebutuhan sehari-hari para pendatang ilegal etnis Rohingya ini.
Ketiga, pemerintah untuk sementara harus mencarikan pulau terpencil untuk menampung etnis Rohingya yang sudah ada di Indonesia. Ini untuk mengantisipasi mereka lari dari penampungan dan berbaur dengan warga lokal.
Keempat, pemerintah harus meminta Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta atau UNHCR untuk melakukan pemulangan terhadap para warga etnis Rohingya atau UNHCR, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Ayat (2) dan (3) Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016.
Kelima, Indonesia harus meminta kantor UNHCR di Jakarta yang bertugas untuk melakukan skrining terhadap para pencari suaka dan segera menutup status pengungsi.
Jangan sampai pemerintah terlambat mengambil kebijakan sehingga menjadi pekerjaan rumah yang sulit untuk diselesaikan di kemudian hari.
Hal ini karena kantor tersebut berkontribusi sebagai faktor pendorong banyaknya warga etnis Rohingya dan pendatang ilegal dari bangsa lain untuk keluar dari negaranya dan datang ke Indonesia.
Pemerintah perlu segera turun tangan ke lapangan. Jangan sampai kekesalan dan kemarahan masyarakat Aceh membuat mereka harus main hakim sendiri. Jika ini terjadi, sejatinya pemerintahlah yang patut disalahkan.
Baca juga : Wapres Amin: Masalah Kemanusiaan Pengungsi Rohingya Mesti Diatasi Bersama
Hikmahanto JuwanaGuru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal A Yani
Hikmahanto Juwana