Peradilan Khusus Profesi Medis, Sebuah Keniscayaan
Peradilan khusus profesi dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa medis agar masyarakat mendapat keadilan hukum.
Ilustrasi
Peradilan khusus profesi medis merupakan sebuah keniscayaan dalam penyelesaian sengketa medis. Ada beberapa hal atau karakteristik yang mendasari hal ini. Namun, karena keterbatasan ruang, penulis hanya akan membahasnya dari hukum perdata.
Pada dasarnya, subyek pertanggungjawaban hukum rumah sakit mengandung empat unsur atau elemen, yaitu pasien, rumah sakit, tenaga kesehatan dan tenaga medis (dokter), serta pemerintah. Pasien sebagai subyek pertanggungjawaban hukum rumah sakit dibedakan lagi menjadi dua:
Pertama, pasien yang membutuhkan pertolongan atau tindakan medis (orang sakit). Kedua, pasien yang tidak membutuhkan pertolongan atau tindakan medis, tetapi mengakses pelayanan kesehatan (misalnya konsultasi kesehatan, konsultasi kehamilan dan perencanaan kehamilan, serta melakukan medical check up dan general check up).
Baca juga: Bayi Diamputasi, Orangtua Laporkan RSUD Pulang Pisau ke Polisi
Hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit dalam penyelenggaraan praktik kedokteran di rumah sakit disebut dengan perikatan medis. Perikatan medis merupakan hukum perdata khusus dan bukan hukum perdata umum, karena karakteristik perikatan medis berbeda dengan perikatan dalam perdata umum. Beberapa karakteristik dasar perikatan medis adalah:
Pertama, perikatan medis merupakan perikatan yang membedakan antara perikatan tindakan medis dan perikatan layanan medis. Karakteristik ikatan tindakan medis selalu mendasarkan kepada upaya maksimal (Medical Effort Theory).
Kedua, perikatan medis yang merupakan perikatan tindakan medis, mendasarkan kepada informed consent sebagai perwujudan persetujuan pasien terhadap upaya tindakan medis yang dilakukan dokter. Dalam informed consent, ”satu pihak bersetuju, pihak lain berkewajiban” (one party agrees, the other party has an obligation).
Ketiga, kegagalan dalam pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai malapraktik medis karena beberapa hal. Yaitu, sifat perikatan tindakan medis yang merupakan upaya maksimal sehingga yang diharapkan dari perikatan tindakan medis adalah adanya upaya maksimal sesuai dengan standar (baik standar pelayanan, standar profesi, maupun prosedur standar operasional) dan kebutuhan medis pasien.
Hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit dalam penyelenggaraan praktik kedokteran di rumah sakit disebut dengan perikatan medis.
Keempat, kegagalan dari pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari faktor risiko medis. Hal ini karena dalam setiap tindakan medis selalu terkandung risiko medis dengan prevalensi kemungkinan terjadi risiko yang bervariasi.
Kelima, kegagalan pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan medis. Dalam hal ini, dokter telah melaksanakan tindakan medis sesuai standar, tetapi terjadi hal yang tidak diinginkan. Misalnya, sarana prasarana medis di rumah sakit tidak berfungsi optimal, listrik mati dan genset tidak langsung bekerja, tertukarnya gas O2dan gas CO2 di instalasi kamar operasi, serta tabung oksigen dan tabung anastesi meledak.
Keenam, kegagalan pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya contributory of negligence, yaitu kontribusi kesalahan pasien. Misalnya, pasien tidak mematuhi rujukan yang ditetapkan dan direkomendasikan rumah sakit, pasien tidak mematuhi nasihat dokter untuk konsultasi secara rutin setelah dilakukan tindakan medis, pasien melakukan pengobatan alternatif atau berobat ke tempat lain yang tidak direkomendasikan dokter dan rumah sakit.
Pertanggungjawaban hukum
Tindakan medis merupakan ranah pertanggungjawaban hukum dokter, tetapi penyelenggaraan praktik kedokteran merupakan ranah pertanggungjawaban hukum rumah sakit. Meskipun berbeda, kedua pertanggungjawaban hukum ini berhubungan erat.
Pada saat dokter terbukti melakukan kelalaian dalam tindakan medisnya, misalnya kelalaian yang disebabkan lack of skill, ini dapat menimbulkan pertanggungjawaban hukum bagi rumah sakit. Pasalnya, rumah sakit dibebani kewajiban menjamin mutu atau kualitas para dokternya.
Pasien yang datang ke rumah sakit memercayakan kualitas dokter sepenuhnya kepada rumah sakit. Sebelum berobat atau mengakses pelayanan kesehatan yang disediakan rumah sakit, pasien tidak mengetahui dan tidak mungkin mengakses kualitas atau mutu dokter di rumah sakit. Pasien memercayakan proses kredensial, audit medis, kendali mutu, dan penjaminan mutu yang dilakukan rumah sakit.
Menurut penulis, dalam pertanggungjawaban hukum rumah sakit, wanprestasi dapat diterapkan terkait perjanjian yang diimplementasikan antara pasien dan rumah sakit. Perjanjian ini bukan dalam ranah penyelenggaraan praktik kedokteran, melainkan dalam wilayah duty of care rumah sakit, khususnya penggunaan fasilitas dan sarana prasarana rumah sakit. Misalnya, perjanjian rawat inap. Pasien rawat inap sebelum dirawat selalu disodori perjanjian rawat inap (salah satunya mengenai tipe kamar dan fasilitas yang dipilih pasien).
Baca juga: Korban Kelalaian Medis Perlu Pendampingan Komprehensif
Lebih lanjut, dalam perikatan medis dapat diterapkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang karakteristiknya berbeda dengan perbuatan melawan hukum secara umum, yaitu:
Pertama, terkait ”kealpaan” atau ”kelalaian” dalam perbuatan melawan hukum secara khusus, unsur yang harus dibuktikan adalah adanya penyimpangan terhadap standar (baik standar pelayanan, standar profesi, maupun prosedur standar operasional) dan pemenuhan terhadap kebutuhan medis pasien. Untuk membuktikan adanya penyimpangan tersebut, dapat dilakukan melalui perbandingan (diperbandingkan) dengan dokter lain, dengan kemampuan rata-rata yang sama dan dalam situasi kondisi yang sama.
Sementara untuk membuktikan pemenuhan kebutuhan medis pasien, dilakukan dengan menganalisis perbandingan yang proporsional antara tindakan medis atau layanan medis yang dilakukan dan tujuan dari tindakan medis atau layanan medis. Tindakan medis atau layanan medis yang berlebihan dan tidak proporsional berpotensi digolongkan sebagai defensive medicine. Sementara tindakan medis atau layanan medis yang tidak memenuhi upaya maksimal berpotensi digolongkan sebagai penyebab malapraktik medis.
Kedua, perbuatan melawan hukum secara khusus dimungkinkan dan diperbolehkan dalam beberapa hal bertentangan dengan hak orang lain dalam pelaksanaannya. Contoh, pembedahan. Pembedahan pada dasarnya dapat dipersamakan dengan penganiayaan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, unsur penganiayaan ini menjadi terhapus karena adanya tiga hal. Satu, dalam pelaksanaannya didasarkan pada informed consent. Dua, sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis (dalam hal ini, tindakan pembedahan dilakukan sesuai dengan standar, baik standar pelayanan, standar profesi, maupun prosedur standar operasional). Tiga, pembedahan ditujukan untuk tujuan yang konkret, yaitu kebutuhan medis pasien.
Ketiga, perbuatan melawan hukum secara khusus dimungkinkan untuk dilakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Contoh, aborsi. Pada dasarnya, aborsi bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Namun, aborsi diperbolehkan apabila bertujuan menyelamatkan nyawa ibu meski konsekuensinya adalah menghilangkan nyawa janin.
Tindakan medis berupa aborsi ini bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan karena salah satu amanah Kode Etik Kedokteran Indonesia mewajibkan dokter menghormati hak hidup setiap makhluk insani. Namun, dalam kondisi kegawatdaruratan yang bertujuan menyelamatkan nyawa, dokter diperkenankan oleh Doktrin (Doktrin Life Saving) dan peraturan perundang-undangan untuk melakukan tindakan penyelamatan (khususnya terhadap ibu), dengan konsekuensi menghilangkan nyawa janin.
Baca juga: Dilema Ketentuan Layanan Aborsi Maksimal Usia Kehamilan 14 Minggu
Jadi, pembentukan peradilan khusus profesi penting dan sangat dibutuhkan agar masyarakat terhindar dari praktik penegakan hukum yang sesat dan tidak terukur yang diakibatkan oleh perbuatan para hakim yang kurang memahami dunia praktik ilmu pengetahuan kedokteran. Beberapa putusan pengadilan menunjukkan bahwa hakim tidak mampu membedakan bukti putusan disiplin yang bukan merupakan bukti putusan pelanggaran hukum.
Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) oleh beberapa hakim disebut sebagai fakta dan/atau bukti putusan pelanggaran hukum praktik kedokteran. Jaminan pemeriksaan dan persidangan pengadilan yang obyektif serta profesional tentang ada-tidaknya malapraktik medis belum terkonsep dengan baik hingga kini.
Seharusnya penegakan hukum tidak digabung atau dicampurbaurkan dengan penegakan disiplin profesional dan/atau penegakan etik praktik kedokteran. Oleh karena itu, peradilan khusus profesi medis merupakan sebuah keniscayaan dalam penyelesaian sengketa medis.
Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia