Transisi Ekonomi Rendah Karbon Jelang COP28
Tahun ini secara resmi menjadi tahun pertama dilaksanakannya ”global stock take”, inventarisasi global untuk mengukur kemajuan kolektif negara-negara dalam upaya penurunan pemanasan global.
Tahun 2023 dinyatakan sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat, menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), mencapai 1,4 derajat celsius di atas era pra-industri.
Kemarau yang datang terlambat tetapi ekstrem dengan temperatur sangat tinggi adalah salah satu dampak perubahan iklim yang terasa secara langsung. Kemarau panjang dan ekstrem kali ini menyebabkan produksi pangan berkurang dan krisis air terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Isu perubahan iklim mendapatkan momentum besar saat ini. Di level global, setiap tahun, di akhir tahun, para pemimpin dunia berkumpul di Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) untuk melakukan peninjauan terkait Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Agenda utama pertemuan COP adalah membahas kemajuan setiap negara terkait komitmen penurunan emisinya yang tercakup dalam target kontribusi nasional (nationally determined contribution/NDC).
Pada 2015, negara-negara anggota UNFCCC berhasil mengeluarkan target global pertama untuk perubahan iklim yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian global ini mengikat negara anggota untuk menjaga peningkatan suhu agar tak melebihi 2 derajat celsius atau idealnya 1,5 derajat celsius pada 2030. COP28 tahun ini diselenggarakan 30 November-12 Desember.
Bagaimana capaian dunia sejauh ini?
Baca juga: Harapan pada COP28
Tahun ini secara resmi menjadi tahun pertama dilaksanakannya global stock take, inventarisasi global untuk mengukur kemajuan kolektif negara-negara dalam upaya penurunan pemanasan global.
Penerapan ”global stock take”
Tahun ini secara resmi menjadi tahun pertama dilaksanakannya global stock take, inventarisasi global untuk mengukur kemajuan kolektif negara-negara dalam upaya penurunan pemanasan global. Proses ini dirancang dalam kerangka Perjanjian Paris untuk mengevaluasi aksi iklim semua negara setiap lima tahun, dengan stock take pertama dijadwalkan di momentum COP28.
Global stock take terutama mengevaluasi kemajuan iklim di tiga area kunci, yakni mitigasi; adaptasi; serta pelaksanaan keuangan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas. Menurut laporan global stock take dari UNFCCC, dunia masih jauh tertinggal dalam upaya memenuhi target 1,5 derajat celsius sesuai dengan Perjanjian Paris.
Saat ini saja pemanasan global kita telah mencapai 1,1 derajat celsius. Artinya, mencapai 1,5 derajat celsius sudah hampir tak mungkin. Seiring dengan itu, laporan terkini Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mengenai kesenjangan emisi mengungkapkan, hanya tersisa peluang 14 persen bagi dunia untuk membatasi pemanasan hingga di bawah ambang batas 1,5 derajat celsius.
Artinya, kesempatan kita sudah semakin sempit dan aksi yang diperlukan harus lebih agresif daripada sebelumnya. COP28 jadi momen yang tepat bagi pemimpin global untuk mengidentifikasi pencapaian saat ini dan apa yang perlu dilakukan guna mengejar ketertinggalan dalam mencapai target Perjanjian Paris.
Barang publik global
Salah satu yang membuat aksi perubahan iklim sulit dilakukan adalah ketidaksetaraan titik mulai dan besaran akumulasi sumbangan emisi setiap negara. Negara maju tentu sudah memiliki akumulasi emisi yang jauh lebih besar, sedangkan negara berkembang masih memerlukan energi untuk terus tumbuh, apalagi jika ingin naik pangkat menjadi negara maju.
Salah satu tantangan terbesar dari aksi perubahan iklim adalah karena ia merupakan global public goods (GPG) atau barang publik global. Sama seperti barang publik lain, jika penanganannya dilepas melalui mekanisme pasar biasa, tak akan optimal. Mirip pandemi Covid-19 yang juga barang publik global.
Bedanya, pandemi memiliki elemen urgensi dan dampak dari tak adanya tindakan (inaction) yang terlihat secara langsung sehingga, terlepas dari kegamangan di awal, semua negara dan institusi internasional bahu-membahu mengatasi. Bayangkan saja, dunia berhasil memobilisasi dana penanganan pandemi di level global 11 triliun dollar AS; padahal untuk iklim, mencapai target Perjanjian Paris hingga 2030 sebesar 2,4 triliun dollar AS per tahun saja sulit (Finance for Climate Action, 2022).
Sayangnya, walau sama-sama GPG, perubahan iklim tak langsung terasa dalam jangka pendek di semua negara di dunia sehingga lebih sulit memobilisasi komitmen sekuat pandemi. Negara-negara penyumbang akumulasi terbesar tak selalu jadi negara yang paling terdampak. Menurut carbonbrief.org, secara akumulasi sejak 1850 hingga 2021, negara-negara penyumbang emisi terbesar adalah Amerika Serikat, China, dan Rusia. Sementara itu, negara yang merasakan dampak langsung adalah negara-negara kepulauan kecil yang tak berdaya.
Walau negara berkembang dan miskin yang paling merasakan dampaknya, para pakar dunia setuju bahwa negara maju haruslah bertanggung jawab lebih banyak terhadap pemanasan global.
Alasannya sederhana, mereka lebih dulu melakukan kegiatan yang menyumbang pada pemanasan global dan lebih mampu secara finansial. Selain itu, negara-negara berkembang, seperti Indonesia dan Brasil, masih butuh berkembang untuk menyejahterakan rakyatnya.
Alasan ini pula yang melatarbelakangi diterapkannya prinsip common but differentiated responsibility (CBDR) oleh UNFCCC, sebagai dasar untuk membedakan tanggung jawab negara-negara terhadap perubahan iklim, dengan memperhitungkan kontribusi historis dan kapabilitasnya masing-masing.
Janji negara maju menggelontorkan dana konsesi untuk aksi iklim 100 miliar dollar AS tiap tahun terasa seperti basa-basi.
Janji negara maju menggelontorkan dana konsesi untuk aksi iklim 100 miliar dollar AS tiap tahun terasa seperti basa-basi. Implementasinya jauh dari kata ideal. Bahkan, diskusi COP tahun ini membahas pula kebutuhan pendanaan dari negara berkembang sendiri, seakan menggeser janji awal. Saling tuding tentu saja tak akan menyelesaikan masalah yang kian mendesak dan memburuk. Apalagi bumi kita hanya satu. Semua pihak harus menjalankan peran sesuai porsinya sebagaimana prinsip CBDR.
Baca juga: Dunia Sepakati Akselerasi Aksi Iklim Bersama
Menyiasati ketimpangan transisi
Negara-negara maju harus memastikan aliran pendanaan hijau dengan perluasan dan restrukturisasi besar-besaran, baik pada pendanaan dalam negeri maupun internasional, yang bersumber dari sektor publik ataupun swasta.
Dalam laporan Finance for Climate Action (2022), diproyeksikan negara berkembang (EMDC) butuh aliran pendanaan terkait iklim 1 triliun dollar AS per tahun sampai 2030. Indonesia sendiri memperkirakan butuh Rp 4.000 triliun untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 2030 (BUR, 2022).
Pendanaan ini tentu tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Besarnya biaya transisi adalah untuk memastikan bahwa upaya transisi energi mempertimbangkan keseimbangan ”trilema energi”, yaitu keterjangkauan, keandalan, dan keberlanjutan. Penting untuk memastikan bahwa transisi energi dapat berkontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dan tetap menjaga keterjangkauan harga energi. Sementara dalam upaya penurunan emisi karbon (keberlanjutan), perlu dipastikan keandalan energi tetap jadi prioritas.
Negara berkembang seperti Indonesia butuh proses yang tak sebentar untuk menerapkan praktik rendah emisi di sektor energi. Di ASEAN+3 rata-rata umur PLTU batubara adalah 11 tahun, sedangkan di Eropa sudah 34 tahun. Bisa dibayangkan biaya transisi dari stranded asset saja pasti lebih besar bagi negara berkembang. Padahal, sektor keuangan global masih merasa gamang dalam mendanai aktivitas transisi seperti penghentian dini PLTU batubara.
Oleh karena itu, negara berkembang perlu terus menyuarakan perlunya pengembangan ekosistem pendanaan transisi di level global. Indonesia telah berupaya mendorong masuknya aktivitas transisi dalam taksonomi pendanaan hijau ASEAN. Namun, negara maju perlu pula mengakui taksonomi transisi seperti ini karena pendanaan swasta yang diperlukan justru sebagian besar berasal dari sana.
Pertemuan COP28, yang diiringi dengan penerbitan global stock take pertama, menawarkan kesempatan bagi seluruh dunia untuk mengevaluasi kembali tindakan mereka masing-masing dalam upaya mengurangi emisi yang sejalan dengan target 1,5 derajat celsius.
Ini menjadi momentum untuk menciptakan solusi transformasional guna mengakselerasi aksi mitigasi dan adaptasi, mengawal transisi yang berkeadilan, serta memastikan dukungan pendanaan terpenuhi. Pada intinya, pada COP28 para pemimpin tak lagi boleh bicara retorika saja, tetapi harus mampu merespons hasil stocktake lewat tanggung jawab nyata dan menetapkan komitmen iklim nasional yang lebih ambisius.
Masyita Crystallin, Staf Khusus Menteri Keuangan