Para saintis terus mencoba untuk menggambarkan realitas dunia melalui dunia yang terkadang ”sepi” dan ”sunyi”.
Oleh
JOKO PRIYONO
·4 menit baca
”Sains merupakan proses yang terus berlangsung. Tidak ada satu kebenaran pamungkas untuk diraih, yang setelahnya semua ilmuwan bisa berhenti bekerja.” Ungkapan astronom Amerika Serikat, Carl Sagan, dalam bukunya, Kosmos (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), itu menarik dan menjadikan kita merenung ataupun menginsafi perkembangan sains seiring perubahan zaman. Ada sebilah tanya: bagaimana sains terus bekerja untuk membuka tabir misteri dalam kehidupan ini?
Pertanyaan itu akan terjawab dalam buku garapan ahli fisika kuantum kelahiran Baghdad, Irak, yang menjadi pengajar di University of Surrey, Inggris, Jim Al-Khalili. Momentum spesial, penerjemahan buku dalam bahasa Indonesia diterbitkan tepat di ulang tahunnya ke-61 pada 20 September 2023. Usia yang terlalui Jim memberikan kesan buku itu menjadi upaya berbagi pengalaman atas kiprahnya menjadi saintis.
Ia tak habis-habisnya mengajak kita dalam mencari dan memaknai keberadaan kebenaran, yang dalam kaidah sains dikenal sebagai metode saintifik. Ungkapnya, ”Metode saintifik adalah gabungan rasa penasaran terhadap alam sekaligus tekad untuk mempertanyakan, mengamati, menguji coba, bernalar, dan tak lupa mengubah pendapat kita, serta kegigihan untuk belajar dari pengalaman jika temuan kita tidak sejalan dengan prasangka (hlm 18).”
Sejarah sains itu penuh pertikaian terhadap dogma agama, irasionalitas, dan pseudosains di sebuah masyarakat.
Sejarah sains itu penuh pertikaian terhadap dogma agama, irasionalitas, dan pseudosains di sebuah masyarakat. Kini, saat merebaknya teknologi digital—terutama semenjak berlangsungnya era pascakebenaran—keberadaan sains menghadapi tantangan yang tak terkira dari wacana yang berembus di media sosial. Utamanya dengan peningkatan polarisasi opini masyarakat baik berhubungan isu budaya maupun politik.
Rasanya, acuan saat wabah pandemi yang berlangsung lebih kurang dua tahun sejak tahun 2020 menjadi kerangka beberapa tulisan Jim menarik ditelisik. Kita semua memahami betapa orang-orang di media sosial mudah berkomentar tanpa berpikir terlebih dahulu. Media sosial mudah menjadi corong bertebarnya kabar bohong, jeratan konspirasi, dan tipu daya sains semu.
Hal itu kemudian diperparah dengan peranan kelompok yang dengan sengaja melakukan itu dengan kepemilikan motif di belakangnya, baik ekonomi, politik, maupun ideologi. Hal itu yang menjadikan Jim menegaskan pentingnya kolaborasi antara satu pihak dan pihak lain dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada.
”Maka dari itu, kita harus mencari cara dan mengembangkan strategi untuk menangani misinformasi dan narasi palsu secepat mungkin. Ini membutuhkan kombinasi solusi dari segi teknologi, masyarakat, dan hukum (hlm 95),” demikian Jim menulis. Pengarusutamaan kolaborasi ini sebenarnya telah ditekankan Jim pada karya lainnya, Dunia Menurut Fisika (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021).
Secara menyeluruh, Jim memberikan penjelasan bagaimana keterhubungan sains terhadap ruang publik. Tentunya, ini sebentuk bagaimana sains beradaptasi pada ekosistem dunia digital. Mafhum, ia menggunakan frasa ”sukacita”, yang memberikan makna ada sebuah ”duka” dalam sains yang mungkin sengaja tidak disampaikan. Meski sejatinya penting untuk diketahui sebagai permenungan bahwa saintis bukan sebatas dikenal saat berhasil dan menemui kejayaan dari teorinya.
Hal tersebut tak terlepas bahwa para saintis terus mencoba untuk menggambarkan realitas dunia melalui dunia yang terkadang ”sepi” dan ”sunyi”. Komunikator sains dan budayawan Nirwan Ahmad Arsuka (2015) menggambarkannya mengenai keterhubungan saintis terhadap laboratorium dan perpustakaan. Dengan metode ilmiah yang ketat, para saintis terus menguji hingga mendapati teori yang lengkap, utuh, dan sempurna.
Bias
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah saintis dapat memberikan jaminan terhadap sebuah kebenaran? Pada momentum Diversity Award 2016, astronom perempuan dan filsuf Karlina Supelli menyampaikan ceramah ilmiah berjudul ”Berpikir dan Bertindak Masuk Akal”. Ia menyampaikan bahwa sekalipun di kalangan saintis, keberadaannya tak terlepas dari bias dan subyektivisme. Ada pengaruh ideologi, kepentingan, dan agama yang terkadang membayangi.
Jim, dalam buku ini, memberikan keterangan berhubungan dengan itu melalui tulisan berjudul ”Kenali Bias-bias Anda Sebelum Menghakimi Pandangan Orang Lain”. Ia menekankan keberadaan bias konfirmasi dengan didasarkan pada perkembangan yang hadir dari ilmu psikologi. Dua macam bias konfirmasi yang dicatat Jim berupa superioritas ilusi dan keterlibatan unsur budaya dalam bias itu.
Ia menyampaikan, sekalipun di kalangan saintis, keberadaannya tak terlepas dari bias dan subyektivisme.
Bias konfirmasi itu yang mudah menyeruak dan membuat perdebatan tidak menjadi produktif. Perebutan tafsir dan kebenaran terkadang terbatas pada suka atau tidak suka. Celakanya, untuk mengakui kesalahan, para pakar lebih siap ketimbang mereka yang sejatinya tidak berkompeten. Oleh sebab itu, Jim juga memberikan penguatan akan Efek Dunning-Kruger.
Teori yang dicetuskan David Dunning dan Justin Kruger itu menjelaskan bias kognitif di mana orang yang berkemampuan rendah dalam satu urusan menaksir kemampuan sendiri berlebih, sementara itu orang yang berkemampuan tinggi menaksir kemampuan orang lain berlebih. Ada sebuah langkah untuk menghadapi semua itu yang ditulis oleh Jim. Tulisnya berupa: ”Namun, pelajaran yang dapat dipetik di sini adalah kita tidak boleh tergesa-gesa menelantarkan opini dan pertanyaan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kita karena kita menganggap mereka ’bebal’; kita harus menakar kompetensi dan bias kita sendiri sebelum kita mengkritik orang lain (hlm 78).”
Sesuatu yang asing
Pernyataan tersebut memosisikan bahwa Jim ingin menekankan keberadaan sains yang terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang asing, rumit, dan penuh perhitungan perlu disadari bahwa ia perlu menjadi bagian kebudayaan. Ada sikap, petuah, dan prinsip bagi banyak orang untuk menyeka berbagai fenomena dan peristiwa dalam keseharian. Dengan arti lain, sains bukanlah sesuatu yang ditempuh hanya dengan menjadi seorang saintis.
Ada peran yang bisa dilakukan dengan melibatkan sains sebagai proses dalam kehidupan. Di sana ada kesadaran atas metode saintifik, kemampuan untuk bernalar, memiliki pikiran kritis, dan melakukan tindakan masuk akal. Kesemuanya tak terlepas dari upaya mendayagunakan akal budi. Teringat dengan ungkapan astronom perempuan berkebangsaan Amerika Serikat, Ann Druyan: ”Sebelum ada sains, kita tak punya cara untuk menguji cerita kita terhadap realitas.”
Joko Priyono. Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Penulis Buku Bersandar pada Sains.