Lima film pendek anak yang diputar di JAFF bisa mempertemukan anak-anak dengan tontonan mereka. Pemutaran film anak agar berlanjut.
Oleh
LUKAS DENI SETIAWAN
·4 menit baca
Riuh canda anak-anak sekolah dasar meruang di koridor Empire XXI Jogja. Pemandangan langka, ratusan anak masuk bioskop bersama-sama. JAFF-lah yang mampu menghadirkan atmosfernya. Lima film pendek anak akan segera diputar di Studio 2 pada Minggu (26/11/2023) siang itu.
Tahun ini, JAFF (Jogja-Netpac Asian Film Festival) berkolaborasi dengan Layar Anak Indonesiana, salah satu program pendanaan produksi film anak dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Lima film pendek anak fresh from the oven berdurasi 12-14 menit diputar berurutan. Ratusan anak itu setia sejak film pertama diputar hingga ending film terakhir. Mereka juga antusias bertanya-jawab dengan para sineasnya.
Dua ruang rindu terpenuhi hari itu. Pertama, bioskop yang dipenuhi anak-anak. Kedua, bertemunya film anak dengan target penontonnya.
Labuhan tontonan anak
Siapa sebenarnya orang yang berhak menonton film di bioskop? Kita tahu jawabannya, mestinya semua orang, segala usia. Namun, di mana anak-anak? Kita hanya kerap melihat satu-dua dari mereka terselip di antara orang dewasa, mungkin kakak atau orangtuanya. Nonton apa? Film anak? Film keluarga? Belum tentu.
Minimnya garapan film anak oleh sineas kita terasa hingga bioskop yang setahun memutarkan hanya satu-dua film anak produksi dalam negeri. Kalau mau sejenak kita ingat, berapa judul film anak yang bisa kita (anak) ingat selama 25 tahun terakhir?
Yang lebih mudah kita ingat, tentu, adalah film-film impor dari studio besar Amerika. Film-film yang digarap dengan teknik animasi mutakhir berbiaya mahal yang membuat orang dewasa pun tidak mau ketinggalan mengantre.
Kompleksitas persoalan bioskop di Indonesia kita akui tidak bisa dibereskan sendiri. Dan di tengah-tengah pusarannya, anak-anak tidak kunjung mendapatkan dermaga yang pas untuk menyandarkan perahu mereka. Maka, pemandangan di JAFF Minggu siang itu dapat menjadi momentum penting, menabur benih ekosistem baru film anak.
Peluang telah dibuka. Siapa akan melanjutkan? Kadang, inisiasi muncul dari festival, tetapi tidak beranjak darinya. Peluang ini mestinya ditangkap bersama, dijadikan bahan penggaet lebih banyak pihak untuk kesinambungannya.
Kemendikbudristek juga selayaknya melebarkan sayap pendanaannya dengan inisiatif baru. Misalnya, lokakarya (workshop) produksi film anak, mengingat salah satu problem minimnya produksi film anak di Indonesia adalah kesan bahwa membuat film bersama anak-anak itu sulit. Inisiatif semacam ini dapat membaca ekosistem film anak dari hulu ke hilirnya.
Anak sebagai penonton
Lebih menarik lagi, kelima film yang diputar saat itu memiliki ragam tawaran yang khas pada anak. Film Ndogmu & Ndogku (disutradarai Kelik Sri Nugroho), tokoh utamanya adalah dua telur asin yang berjibaku mempertahankan diri menjadi menu utama di meja makan. Tidak menampilkan sosok anak-anak, animasi film ini pun digarap tidak muluk-muluk dan justru terkesan akrab.
Film lain, Ijo dan Emas (disutradarai Daud Nugraha), menampilkan permainan wayang kardus yang gesturnya gampang dikenali dan dialognya mudah diikuti anak-anak. Musik dan lagu menjadi bumbu perasa dinamika emosi Buto Ijo dan Timun Emas.
Sementara itu, Mlethek (disutradarai Wahyu Agung Prasetyo), menggoda anak-anak dengan kejutannya. Tiga anak dalam waktu singkat berubah manjadi pohon setelah mencuri rambutan. Film ini menggabungkan live action tokoh anak-anak dengan kepiawaian garapan animasi komputer. Saking penasarannya, salah satu anak yang menonton bertanya di akhir film: bagaimana cara membuatnya?
Padahal, festival film dapat menjadi alternatif tontonan apabila bioskop dan televisi tidak menawarkan film yang berarti bagi anak-anak.
Film berikutnya, Perahu Kertas Hao You (disutradarai Riqhi Alvin Sani), menampilkan lima tokoh anak yang mengalami pasang-surut persahabatan. Film ini mengajak penonton menimbang bahwa memenangi kompetisi tidak lebih penting daripada menjaga persahabatan.
Terakhir, film Serdadu Apel Emas (disutradarai Lingga G Permadi), membuat anak-anak ikut bersenandung sembari merasakan gejolak tokoh anak yang ingin membantu orangtua, tetapi juga tidak mau kehilangan teman. Di antara keempat film lainnya, film ini paling banyak menawarkan musik, lagu, dan tarian. Sedih ataupun senang dibalut dengan nyanyian, khas anak-anak.
Sekalipun menawarkan nuansa berbeda-beda, kelima film itu tetap berada di koridor yang sama, mencoba melayani penonton anak-anak. Kesan ini membawa ingatan kita kepada festival film anak yang akhir-akhir ini tidak bergaung, baik dalam lingkup nasional maupun lokal. Padahal, festival film dapat menjadi alternatif tontonan apabila bioskop dan televisi tidak menawarkan film yang berarti bagi anak-anak.
Apalagi, kelima film itu berasal dari para sineas dari daerah yang berbeda-beda. Walaupun Jawa masih mendominasi, setidaknya penonton saat itu bisa menikmati pula suguhan setting dan dialek khas Pontianak, Kalimantan Barat. Benih kolaborasi JAFF-Kemendikbudristek ini selayaknya menjadi pijakan baru mengembangkan produksi film anak di daerah-daerah.
Hendaknya, pemutaran film ini tidak berhenti di JAFF. Titik-titik ekshibisi lain sudah menunggu di SD-SD, sanggar-sanggar belajar, dan lokasi-lokasi dadakan pemutaran film di kampung-kampung, seluruh pelosok Nusantara.
Kolaborasi dapat berlanjut misalnya dengan bioscil (bioskop kecil keliling) yang sudah berpengalaman memutar film anak di puluhan daerah terpencil. Mereka juga punya program menonton yang disesuaikan dengan penonton utama mereka: anak-anak. Bisa pula menggandeng Sumbu Pakarti yang sudah memiliki sanggar belajar dan taman literasi di 60 lebih daerah di Indonesia.
Tujuannya satu, mempertemukan anak-anak dengan tontonan yang sesuai dengan karakter dan usia mereka. Dengan demikian, atmosfer riuh canda anak-anak di Empire XXI Minggu siang itu bisa menyebar ke seantero wilayah Indonesia.