Politik Berbalas Hoaks
Harus ada otoritas yang memberi literasi publik agar lebih melek pada perseteruan politik yang disebabkan disinformasi.
”Manusia itu akan menjadi lebih baik ketika Anda menunjukkan kepadanya seperti apakah dia.” (Anton Chekov, 1860-1904)
Sebuah film yang disutradarai Wregas Bhanuteja berjudul Budi Pekerti menceritakan tentang sosok Bu Prani (diperankan oleh Sha Ine Febriyanti), guru Bimbingan dan Konseling, yang rekaman video perselisihannya dengan seorang pengunjung pasar viral di media sosial. Perselisihan tersebut dianggap tidak mencerminkan kepribadian dan profesi Bu Prani sebagai guru. Akibatnya, Bu Prani dan keluarganya mengalami perundungan (bullying), kesalahannya dicari-cari, dan dianggap melanggar kode etik sehingga terancam kehilangan pekerjaan.
Film yang tayang perdana di Toronto International Film Festival 2023 tersebut mendeskripsikan dengan cerdas fenomena komunikasi politik yang dalam dua dasawarsa terakhir pesan di media sosial berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Masyarakat dimanipulasi secara emosional dan persuasif dari pernyataan yang biasa sampai penggunaan hoaks (berita bohong) di media sosial.
Baca juga: Komunikasi Politik 2024
Dalam situasi seperti ini, hoaks mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan fakta karena dominasi fungsi buzzer (pendengung) dibandingkan pembawa kebenaran. Batasan antara yang benar dan kebohongan menjadi sumir. Inilah kondisi di mana fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini dibandingkan pendapat subyektif. Ada tindak manipulatif di media sosial. Itulah yang disebut sebagai era post truth. Oxford Dictionary mencatat bahwa kalimat post truth dinobatkan sebagai Word of the Year tahun 2016.
Kebencian dan kepanikan
Hoaks adalah sebuah upaya kebencian yang mudah menyebar dan diyakini kebenarannya. Hoaks muncul karena masifnya gerakan pemutarbalikan fakta kepada publik yang mudah terpengaruh pada apa pun yang sifatnya massal dan memusat kepada kelompok dan memunculkan efek tertentu. Stanley Cohen menyebutnya sebagai moral panic. Ia memperkenalkan istilah itu dalam bukunya, Folks Devils and Moral Panics, yang terbit pada 1972.
Secara konseptual, Cohen menjelaskan bahwa moral panic menggambarkan sebuah situasi di mana orang per orang atau kelompok yang muncul bersamaan dengan fenomena tertentu dan dianggap sebagai ancaman terhadap sebuah nilai atau tatanan. Sebuah ketakutan yang menyebar kepada publik bahwa ada kejahatan komunal yang mengganggu ketertiban masyarakat.
Sementara Eric Goode dan Nachman Ben Yehuda mengatakan bahwa moral panic memunculkan polarisasi dan apa yang disebut sebagai claims making. Berbagai klaim bermunculan tentang siapa yang dianggap setan dan siapa yang akan dikorbankan (Eric Goode dan Nachman Ben Yehuda dalam Moral Panic: The Social Construction of Deviance, 2009).
Lagi-lagi yang akan menjadi korban yang nanti akan berhadapan adalah mereka yang hanya menerima saling sengkarut informasi itu tanpa melakukan verifikasi.
Dalam konteks saat ini sampai menjelang Pilpres 2024, dipastikan ada berbagai akrobat politik yang berwujud kesimpangsiuran informasi. Publik akan dibom dengan berbagai informasi yang saling berkelindan dengan jalan pembenaran masing-masing.
Lagi-lagi yang akan menjadi korban yang nanti akan berhadapan adalah mereka yang hanya menerima saling sengkarut informasi itu tanpa melakukan verifikasi. Mereka yang hanya menerima sebuah informasi begitu saja lalu sekadar membagikannya begitu saja sekelompok orang lain yang sekaum atau yang saling berkelompok. Ini adalah awal munculnya kepanikan bersama.
Kekuasaan dan media sosial
Kekuasaan dan media sosial tidak bisa dilepaskan dari konstruksi media partisipan yang semakin banyak muncul sebagai respons atas apa yang disebut sebagai kebebasan pers dan teori tanggung jawab sosial. Teori itu menyatakan bahwa adalah setiap hak pada warga negara baik itu sebagai individu ataupun kelompok dan membuat media yang memenuhi kebutuhan publiknya.
Hal tersebut terkait erat dengan hak atas informasi yang relevan dan hal menggunakan sarana komunikasi untuk berinteraksi (lihat Jurnal Komunikasi: Kurt Lang dan Gladys Engel Lang dalam Mass Society, Mass Culture and Mass Communication: The Meaning of Mass, 2009). Sebuah sistem komunikasi yang mengedepankan cara-cara untuk memecah belah opini dan kemudian merebutnya untuk upaya kekuasaan. Sebuah cara lama yang dipakai dan sepertinya akan terus langgeng jika tidak ditemukan cara baru yang lebih elegan dan terhormat.
Baca juga: Pers dan Politik Jelang Pilpres 2024
Untuk kepentingan tersebut, maka terjadilah penjungkirbalikan fakta dan logika, pembentukan kebenaran yang subyektif dan dimasifkan dalam sebuah gelombang penyerbuan disinformasi yang barbar. Siapa pun yang ingin meraih kekuasaan tersebut menunjukkan kekuatan masing-masing bahkan dengan menyiapkan dramaturgi konflik, misalnya terjadi perdebatan manipulatif yang panjang dalam sebuah thread di media sosial.
Konflik yang muncul dalam berbagai bentuk relasi sosial dalam sebuah sistem ditentukan oleh kekuasaan tertinggi. Artinya, kekuasaan inilah yang mengendalikan berbagai bentukan konflik untuk sebuah kepentingan sepihak. Dengan semakin meruncingnya konflik dalam berbagai aspek kehidupan, maka sebuah tujuan lebih mudah dicapai. Dalam konteks ini adalah menggunakan patron komunikasi melalui media sosial.
Hoaks adalah jejaring kebohongan. Niccolo Machiavelli, filsuf Italia zaman renaissance, dalam Il Principe menyarankan agar manusia membuat sebuah jejaring kebohongan dan pengelabuan agar tetap bisa berkuasa. Hal inilah yang dipakai selama jutaan tahun, yakni menipu sesama dengan cara yang semakin canggih meskipun berbohong membutuhkan lebih banyak energi kognitif. Ia menyarankan agar manusia jangan menunjukkan emosinya dan membiasakan hidup tampil tanpa ekspresi, sebagai salah satu ciri Homo sapiens. Tujuannya adalah kemenangan baik dengan cara yang adil atau curang.
Baca juga: Pers dan Politik Jelang Pilpres 2024
Dalam era chaotik seperti ini, publik sudah tidak bisa lagi berharap banyak kepada partai politik ataupun politisi. Harus ada otoritas tertentu yang memberi edukasi dan literasi terhadap publik agar lebih mengerti dan melek terhadap berbagi perseteruan yang diawali oleh sekelebatan disinformasi di media sosial yang dilakukan untuk kepentingan politik yang kemudian diamplifikasi secara terus-menerus. Jika tidak ada perubahan yang konstruktif, pemilu atau pilpres dan berbagai aktivitas politik lainnya akan disikapi seperti layaknya iklan penjualan jenama di platform belanja online.
Geger politik yang berlangsung sejak 2014 sudah seharusnya disadari sejak dini bahwa banyak hal yang merugikan dan membutuhkan waktu panjang untuk pemulihannya. Tidak hanya berhenti pada pertikaian yang sifatnya konfrontatif kekinian, tetapi berimbas pada kehidupan sosial yang lebih lama dan panjang.
Gunawan Raharja, Penulis Skenario
Facebook: Gunawan Raharja; Twitter: gundulgunawan69