Machiavelli, Praktik Demokrasi, dan Kemanusiaan
Pragmatisme Machiavellian menggerogoti kehidupan berbangsa. Prinsip etik dan moral politik yang dipisahkan dari praksis berpolitik telah melahirkan cacat demokrasi.
Demokrasi adalah sistem politik yang telah diterima secara luas karena penekanannya kepada hak-hak individu, kebebasan berekspresi, dan partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks Indonesia, dapat dilihat langkah-langkah signifikan membangun sistem demokrasi sejak transisi dari pemerintahan otoriter pada 1998.
Namun, realitas praktik demokrasi di Indonesia merupakan sebuah proses yang kompleks dan terus berkembang yang membutuhkan analisis kritis. Terutama beberapa bulan terakhir menjelang Pemilu 2024, realitas demokrasi telah memantik atensi publik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Menurut hemat penulis, potret demokrasi di Indonesia menarik untuk direfleksikan di dalam bingkai gagasan-gagasan dari karya kontroversial terkenal Niccolò Machiavelli, seorang filsuf politik Renaisans Italia, yang berjudul The Prince (terjemahan Harvey Mansfield, edisi ke-2, 1998). Gagasan Machiavelli tentang pemerintahan, kekuasaan, dan sifat manusia kiranya telah memicu perdebatan dan memengaruhi pemikiran politik selama berabad-abad.
Lantas, bagaimana relevansi ide-ide Machiavelli dalam konteks demokrasi di Indonesia hari-hari ini? Dengan mengkaji interaksi antara prinsip-prinsip Machiavelli, konsep kemanusiaan, dan praktik demokrasi, kita dapat memperoleh wawasan tentang tantangan serta peluang yang dihadapi Indonesia dalam perjalanan demokrasinya.
Baca Juga: Demokrasi Anomali
Prinsip dan penerapan
Filosofi politik Machiavelli berkisar kepada perolehan dan pemeliharaan kekuasaan. Machiavelli berpendapat bahwa para pemimpin harus memprioritaskan stabilitas dan kemakmuran negara yang dipimpin, bahkan jika itu berarti menggunakan tipu daya, manipulasi, atau kekerasan. Meskipun ide-idenya mungkin terlihat amoral, ide-ide itu mencerminkan realitas kehidupan politik yang kompleks dan keras.
Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip Machiavelli dapat dilihat dari strategi yang digunakan para politisi untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Salah satu prinsip utama Machiavelli adalah pemisahan antara etika dan politik. Machiavelli berpendapat bahwa para pemimpin harus pragmatis dan bersedia untuk membuat keputusan yang sulit, bahkan jika keputusan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
Pengejaran dan pemeliharaan kekuasaan politik seharusnya tidak dibatasi oleh nilai-nilai moral tradisional. Keputusan dan tindakan politik tidak boleh dinilai berdasarkan standar moral. Pragmatisme Machiavellian ini rupanya mengakar kuat dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Tidak bisa dimungkiri bahwa praksis demokrasi untuk beberapa tahun terakhir berjalan tanpa penjagaan moral. Di Indonesia, prinsip ini terlihat jelas dalam tindakan para politisi yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kesejahteraan rakyat.
Tren korupsi para pejabat dari tingkat pusat hingga daerah, dari jabatan tertinggi hingga ke jabatan terendah, berjubel. Korupsi bukan lagi aib martabat dan jabatan, tetapi sebatas kesalahan biasa. Koruptor kehilangan rasa bersalah dan dosa, bahkan tanpa malu tersenyum sekalipun menjadi tersangka kejahatan publik tersebut.
Selain itu, nepotisme di dalam birokrasi pemerintahan hingga dunia kerja pun menjadi persoalan kronis lainnya di dalam kehidupan demokrasi. Kualitas intelektual dan kapasitas moral bukan lagi kriteria tertinggi dalam kualifikasi calon pejabat, pemimpin, atau pekerja, tetapi soal kedekatan (relasi) walaupun bertentangan dengan kecakapan-kecakapan tersebut. Kapabilitas, kredibilitas, integritas, bahkan spiritual sebagai basis dalam moral demokrasi dikesampingkan oleh relasi (kedekatan). Alhasil, kecenderungan untuk jatuh ke dalam tindakan penyalahgunaan jabatan memiliki peluang yang tinggi.
Negara hukum di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya independensi peradilan dan pengaruh kepentingan pribadi.
Manipulasi konstitusi demi nafsu kekuasaan juga masih menjadi tantangan yang signifikan dalam demokrasi Indonesia. Tanpa rasa malu, individu rela, bahkan merasa perlu, menabrak atauran-aturan negara (konstitusi) demi sebuah peralihan kekuasan. Kemaslahatan bersama dikesampingkan demi kepentingan dan arogansi pribadi, keluarga, atau kelompok kepentingan tertentu.
Begitu juga diskriminasi dan intoleransi masih terus terjadi sehingga menghambat terwujudnya prinsip-prinsip demokrasi secara penuh. Hak-hak individu atau kelompok, khususnya kaum minoritas agama dan etnis, sering kali terpinggirkan.
Persoalan-persoalan ini akhirnya menyadarkan setiap individu bahwa ada fakta memilukan ketika supremasi hukum negara melemah, bahkan dilemahkan. Negara hukum di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya independensi peradilan dan pengaruh kepentingan pribadi. Hal ini mengurangi kepercayaan warga negara terhadap sistem hukum dan menghambat perlindungan hak-hak individu.
Pragmatisme Machiavellian yang menggerogoti kehidupan berbangsa, jika dicermati, dengan prinsip etik dan moral politik dipisahkan dari praksis berpolitik, telah melahirkan cacat demokrasi yang memiliki tingkat kesulitan tertentu untuk dipulihkan. Meskipun ada upaya memerangi persoalan ini, fakta praktik penyimpangan demokrasi tersebut terus mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menghambat berbagai bentuk pembangunan negara. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas di lembaga-lembaga publik menjadi ancaman bagi konsolidasi demokrasi. Hal-hal demikian yang disayangkan dari pendekatan Machiavellian ini.
Lebih jauh lagi, Machiavelli menekankan pentingnya mempertahankan militer yang kuat dan kemampuan untuk menggunakan kekerasan jika diperlukan. Di Indonesia, prinsip ini tecermin dalam upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas dan memerangi gerakan separatis. Namun, prinsip ini pun menyimpan perkara yang rumit karena tantangannya terletak kepada keseimbangan antara keamanan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebab, penggunaan kekuatan yang berlebihan dapat merusak nilai-nilai demokrasi. Kekuatan militeristik pun sering kali disalahgunakan, yang bukan hanya mengarah kepada tindakan memerangi kekuatan-kekuatan separatis atau teroris, melinkan juga melajukan kekerasan terhadap masyarakat adat dalam beragam konflik agraria.
Baca Juga: Menyelamatkan Demokrasi Kita
Berbagai fakta persoalan dalam praksis demokrasi sebagaimana disebut hendak mengatakan bahwa demokrasi tidak dapat dipisahkan dari nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, meskipun gagasan Machiavelli mungkin tampak sinis, penting untuk mempertimbangkan konsep kemanusiaan dalam konteks demokrasi. Demokrasi, pada intinya, dibangun di atas prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam bingkai Machiavellian, praktik demokrasi Indonesia memperlihatkan sebuah perjuangan yang terus berlangsung untuk mendamaikan prinsip-prinsip Machiavellian dengan cita-cita kemanusiaan. Konsep kemanusiaan dalam demokrasi mengharuskan para pemimpin untuk memprioritaskan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Untuk itu, menuntut adanya transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap hak-hak individu.
Tantangan dan peluang
Namun, pada saat bersamaan, individu perlu mawas diri sebab pengejaran kekuasaan sering kali mengarah kepada kompromi dan kepentingan rakyat dapat dibayangi oleh taktik Machiavellian meskipun tidak selalu demikian. Realitas praktik demokrasi di Indonesia bukan hanya ditandai dengan kemajuan, melainkan juga tantangan. Realitas demokrasi di Indonesia merupakan penggabungan antara pencapaian yang pesat dan kemunduran yang signifikan.
Indonesia memang telah mencapai kemajuan dalam hal stabilitas politik, kebebasan berekspresi, dan keterlibatan masyarakat sipil, terutama setelah berhasil bertransisi dari pemerintahan otoriter ke demokrasi multipartai, yang memungkinkan partisipasi politik dan kebebasan berekspresi menjadi lebih besar. Namun, korupsi, polarisasi politik, dan erosi lembaga-lembaga demokrasi masih menjadi hambatan yang mengkhawatirkan dan perlu diatasi bersama-sama.
Realitas demokrasi di Indonesia merupakan penggabungan antara pencapaian yang pesat dan kemunduran yang signifikan.
Pada titik tertentu, tantangan-tantangan dalam praksis demokrasi selama ini dapat dilihat sebagai peluang baru. Tantangan-tantangan, seperti korupsi, nepotisme, manipulasi konstitusi, diskriminasi hak-hak individu, kekuatan militeristik yang menyimpang, dan melemahnya supermasi hukum negara, dapat melahirkan peluang resolusi, reevaluasi, dan redefinisi prinsip-prinsip demokrasi.
Dengan kata lain, di dalam perjuangan secara kolektif-komunal, bangsa ini harus berkehendak kuat membuktikan bahwa pragmatisme Machiavellian dapat diseimbangkan demi tujuan tertinggi dalam demokrasi, yaitu kemanusiaan Indonesia. Lalu, bagaimana keseimbangan ini dapat tercapai? Keseimbangan antara prinsip-prinsip Machiavelli dan cita-cita kemanusiaan dapat direalisasikan ke dalam prioritas-prioritas praktis.
Pertama, upaya antikorupsi, antinepotisme, dan antimanipulasi konstitusi. Caranya, memperkuat lembaga-lembaga, mendorong transparansi, dan menegakkan hukuman yang tegas terhadap pelaku praktik korupsi, nepotisme, manipulasi, diskriminasi, dan militeristik yang menyimpang tanpa pilih kasih. Hal ini akan membantu memulihkan kepercayaan publik dan memastikan kesetaraan bagi semua warga negara. Dengan demikian, Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang dihadirkan oleh demokrasi untuk mendorong pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan stabilitas politik yang pada akhirnya bersimpuh pada kesejahteraan bersama.
Kedua, perlindungan hak-hak individu, khususnya minoritas. Pemerintah harus secara aktif menjadi pioner dan mempromosikan toleransi dan inklusivitas dengan menerapkan kebijakan yang melindungi hak-hak kelompok bersangkutan. Ketiga, reformasi peradilan. Memperkuat independensi dan integritas lembaga peradilan sangat penting untuk menegakkan supremasi hukum. Pemerintah harus berinvestasi dalam program pelatihan bagi para hakim, meningkatkan mekanisme akuntabilitas peradilan, dan memastikan akses yang sama terhadap keadilan bagi semua warga negara.
Baca Juga: Kejujuran dalam Demokrasi
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa gagasan Machiavelli tentang pemerintahan dan kekuasaan tetap dan terus bergema dalam wacana politik kontemporer. Dalam konteks demokrasi di Indonesia, prinsip-prinsip Machiavelli menawarkan wawasan tentang tantangan dan peluang yang dihadapi bangsa ini. Meskipun taktik Machiavelli mungkin menggoda, sangat penting untuk mengingat pentingnya kemanusiaan dalam demokrasi.
Dengan memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, Indonesia dapat menavigasi perjalanan demokrasinya dengan sukses. Dengan begitu, praksis demokrasi di Indonesia sungguh-sungguh memanusiakan manusia Indonesia yang tecermin dalam kesejahteraan semua orang di dalam berbagai bidang kehidupan. Jika tujuan ultim ini dapat dicapai dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, maka, dengan kata lain, dalam bingkai diskusi ini, cita-cita demokrasi (kemanusiaan Indonesia) dan prinsip-prinsip kontroversial Machiavellian telah sanggup didamaikan atau diseimbangkan.
Andreas Maurenis Putra, Lulusan S-2 Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung; Anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St Thomas Aquinas, Bandung