Konflik kepentingan merupakan isu etis sangat mendasar, tetapi acapkali dianggap biasa. Perlu regulasi yang mengaturnya.
Oleh
ADNAN TOPAN HUSODO
·3 menit baca
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimmly Asshiddiqie meninggikan suara saat membacakan putusan terhadap Anwar Usman, Ketua MK, yang dilaporkan oleh banyak pihak karena diduga melanggar Pedoman Kode Etik dan Kode Perilaku MK. Ini seakan memberikan pesan serius bahwa pelanggaran prinsip independensi, prinsip integritas, prinsip ketidakberpihakan, prinsip kecakapan dan kesetaraan, serta prinsip kepantasan dan kesopanan yang dilakukan Anwar Usman merupakan puncak kehancuran tatanan etika MK.
Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran berat, meskipun tidak disertai dengan keputusan pemberhentian dengan tidak hormat, sesuatu yang disesali oleh masyarakat dan menjadi dasar adanya dissenting opinion oleh Bintan R Saragih, anggota MKMK.
Salah satu isu krusial yang berkali-kali ditekankan dalam sidang MKMK terhadap Anwar Usman adalah terjadinya konflik kepentingan yang nyata sehingga kredibilitas dan martabat MK rusak. Namun, Anwar Usman berkali-kali membantah terlibat dalam konflik kepentingan. Sebaliknya, ia menyerang balik pihak-pihak yang melaporkannya dengan tuduhan menyebar fitnah.
Konflik kepentingan didefinisikan sebagai keadaan di mana seseorang tidak dapat mengambil keputusan dan tindakan yang obyektif karena berbagai faktor. Faktor itu bisa karena ada kepentingan diri sendiri, kepentingan keluarga, kepentingan saudara, sahabat, mitra, ataupun pihak tertentu yang memiliki hubungan khusus dengannya.
Hubungan khusus itu terbentuk bukan saja karena faktor genetika, melainkan juga karena ada pertukaran kepentingan, misalnya karena ada janji tertentu, kenikmatan, fasilitas, keuntungan finansial, ataupun keuntungan di masa datang yang akan diperoleh dari keputusan yang akan diambilnya pada saat sekarang. Jika pertukaran kepentingan tersebut mewujud dalam bentuk keuntungan finansial dan ekonomi lainnya, fase konflik kepentingan ini telah bergeser menjadi tindak pidana, dalam hal ini suap atau gratifikasi.
Ilustrasi yang mudah dalam menjelaskan konflik kepentingan adalah ketika ada antrean dalam urusan layanan publik tertentu, dan ada salah satu pengantre merupakan atasan dari pegawai A yang sedang melayani. Saat itu, pegawai A sedang terjebak dalam situasi konflik kepentingan. Ketika pada akhirnya pegawai A memberikan antrean khusus dan mempercepat urusan bagi atasannya, maka konflik kepentingan itu telah terjadi. Masalahnya, peristiwa semacam ini acapkali dianggap sebagai sesuatu yang biasa, dinormalisasi, dan kemudian dianggap tidak ada masalah etis yang terjadi.
Mengatur konflik kepentingan
Pada intinya, pejabat publik dan pegawai negeri di mana pun dan kapan pun akan selalu dikepung oleh potensi konflik kepentingan. Jika tidak ada penekanan yang serius untuk mengelola konflik kepentingan dengan baik di sektor publik, kejahatan korupsi tinggal menunggu waktu terjadi. Karena pembiaran, dan bahkan pengingkaran dari pejabat publik sebagaimana yang dilakukan Anwar Usman, jangan heran jika tindak pidana korupsi di Indonesia dapat mudah terjadi di berbagai sektor, di berbagai tingkat pemerintahan, dan melibatkan beragam aktor.
Miskinnya perhatian terhadap isu etis yang sangat mendasar, yakni konflik kepentingan, merupakan kenyataan yang harus kita terima dalam pengelolaan sumber daya publik selama ini. Hal ini terjadi karena isu penyalahgunaan wewenang, posisi, dan jabatan para pejabat publik dan pegawai pemerintah lebih banyak menekankan pengendaliannya melalui instrumen pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi. Dengan desain kebijakan semacam ini, bertahun-tahun lamanya terjadi kristalisasi cara pandang yang sempit, yakni kewajiban para pejabat publik dan pegawai pemerintah untuk tidak terlibat korupsi, tetapi tidak untuk masalah etika publik.
Jika tidak ada penekanan yang serius untuk mengelola konflik kepentingan dengan baik di sektor publik, kejahatan korupsi tinggal menunggu waktu terjadi.
Anwar Usman hanyalah salah satu pejabat publik yang mengingkari konsep konflik kepentingan. Masih banyak pejabat publik dan pegawai pemerintah yang memiliki paradigma yang sama sehingga tidak ada kemampuan untuk mengambil posisi yang tegas dalam menghadapi konflik kepentingan.
Menjadi sangat problematik ketika pejabat nir-etika tersebut berada di posisi strategis dan harus mengambil keputusan untuk berbagai hal, atau mengatur kebijakan tertentu agar sumber daya publik tidak disalahgunakan. Alih-alih melakukannya, yang terjadi mungkin membiarkannya karena dianggap tidak ada kaitannya dengan korupsi.
Fenomena rangkap jabatan, tidak adanya ketentuan mengenai cooling off period, yakni jeda waktu yang wajib diikuti oleh pejabat publik tertentu jika ingin menyeberang ke organisasi atau pekerjaan di luar pemerintahan yang memungkinkan dirinya menggunakan pengaruh dan posisi lamanya untuk memperlancar urusan, mencirikan buruknya kita dalam mengelola konflik kepentingan.
Sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang mengatur konflik kepentingan di berbagai sektor, baik di lingkungan kepresidenan, kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD. Peraturan tentang konflik kepentingan dapat menjadi langkah awal untuk membudayakan nilai etika dan norma publik yang kuat dalam pengelolaan pemerintahan agar korupsi bisa dicegah.
Visi pembangunan jangka panjang kita adalah mencapai Indonesia emas pada 2045. Namun, jika nilai-nilai integritas tidak kita tempatkan sebagai roh yang hidup dalam sikap, cara pandang, dan paradigma pejabat publik dan birokrasi, sangat sulit rasanya Indonesia emas bisa kita capai.