Demografi Pemilih 2024
Pemahaman tentang demografi pemilih perlu untuk bisa memenangi kontestasi sekaligus meningkatkan partisipasi pemilih.
Pertarungan antarkandidat dalam Pemilihan Umum 2024 telah berlangsung. Adu strategi dengan berbagai janji kampanye mulai disuarakan para calon presiden, calon wakil presiden, ataupun calon anggota legislatif.
Hajatan politik lima tahunan ini mulai memasuki waktu krusial untuk merebut hati pemilih. Namun, sejatinya, pemilu bukan hanya soal substansi kampanye, melainkan juga perebutan suara pemilih. Pemahaman terhadap karakteristik demografi pemilih sangat penting untuk mengenali preferensi pemilih guna meraih suara sebanyak-banyaknya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Berbagai literatur menunjukkan bahwa struktur demografi berkorelasi kuat dengan hasil pemilu. Achim Goerres dan Pieter Vanhuysse dalam buku Global Political Demography: The Politics of Population Change (2021) menjelaskan bahwa perubahan struktur penduduk menjadi faktor utama pertimbangan politik di tingkat meso dan makro.
Sebastian Dettman dan Thomas B Pepinsky dalam penelitian tentang pemilu Malaysia pada 2022 menemukan hubungan signifikan antara variabel demografi dan perilaku memilih.
Jan Leighley dan Jonathan Nagler (2014) dalam bukunya, Who Votes Now? Demographics, Issues, Inequality, and Turnout in The United States, menjelaskan pengaruh perubahan demografi di Amerika Serikat sejak 1972 hingga 2008 terhadap partisipasi pemilih dan preferensi kandidat presiden.
Pemahaman terhadap karakteristik demografi pemilih sangat penting untuk mengenali preferensi pemilih guna meraih suara sebanyak-banyaknya.
Sebagian besar literatur yang membahas hubungan demografi dan politik menunjukkan bahwa perbedaan karakteristik demografi, seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, ataupun etnik, menghasilkan perbedaan preferensi pilihan, partisipasi pemilih, dan tema kampanye yang disukai. Pemahaman demografi pemilih yang baik dapat membantu kontestan pemilu mengidentifikasi preferensi pemilih dan menentukan strategi kampanye politik yang tepat.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pemilih muda cenderung lebih rendah partisipasinya dibandingkan dengan yang lebih tua. Sikap ini dipicu faktor seperti kurangnya pemahaman politik, tak merasa berkepentingan dengan proses politik, dan isu yang diajukan kandidat tak relevan dengan kebutuhannya.
Pendidikan juga berhubungan dengan partisipasi pemilih. Semakin tinggi tingkat pendidikan, kecenderungannya semakin tinggi partisipasi dalam pemilu. Pendidikan dapat meningkatkan pemahaman terhadap isu politik sehingga mendorong partisipasi aktif di pemilu. Perbedaan etnik/suku dan jender umumnya juga berpengaruh pada preferensi politik dan partisipasi pemilu.
Karakteristik sosial demografi
Jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Juli 2023 sebanyak 204.807.222 pemilih. Hal ini mencerminkan betapa besarnya jumlah penduduk dengan hak pilih pada 14 Februari 2024. Sekitar 74 persen penduduk Indonesia memiliki hak pilih dengan berbagai karakteristik sosial demografi yang melekat.
Generasi milenial (Y) yang lahir tahun 1981-1996 akan menjadi pemilih terbanyak, sekitar 32,3 persen (sepertiga) dari keseluruhan pemilih. Generasi dengan pemilih terbesar berikutnya ialah generasi X (lahir tahun 1964-1980), yakni sebesar 28,3 persen; dan generasi Z (lahir tahun 1997-2007) yang mencapai 21,1 persen pemilih.
Meskipun generasi Z saat ini menjadi mayoritas penduduk Indonesia (27 persen secara nasional), belum semuanya memiliki hak pilih pada Pemilu 2024. Sementara pemilih lansia (usia 60 tahun ke atas) mencapai 18,3 persen dari keseluruhan pemilih.
Jumlah pemilih lansia hanya sedikit di bawah generasi Z, dan punya kecenderungan partisipasi pemilu yang lebih tinggi daripada generasi yang lebih muda. Jika kita bagi pemilih menjadi dua kelompok, pemilih muda (generasi milenial plus generasi Z) dan pemilih senior (generasi X plus lansia), perbandingannya 53 persen berbanding 47 persen.
Pemilih muda masih lebih banyak daripada pemilih senior. Namun, hal yang menarik, ada perbedaan komposisi pemilih muda dan senior di tiga provinsi lumbung suara terbesar, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Di Jawa Barat, jumlah pemilih muda lebih besar sekitar tiga juta orang daripada pemilih senior. Sebaliknya, di Jawa Timur, jumlah pemilih senior lebih besar dibandingkan dengan pemilih muda. Sementara di Jawa Tengah, jumlah kedua kelompok pemilih relatif berimbang.
Selain generasi dan usia, komposisi penduduk menurut pendidikan juga penting diperhatikan. Berdasarkan data BPS hasil long form Sensus Penduduk 2020 yang dilaksanakan pada 2022 diketahui bahwa pemilih potensial Pemilu 2024 didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah.
Selain generasi dan usia, komposisi penduduk menurut pendidikan juga penting diperhatikan.
Hampir 60 persen pemilih berpendidikan maksimal SMP. Hanya 6,8 persen calon pemilih berpendidikan minimal sarjana (S-1 dan D-4). DKI Jakarta menjadi satu-satunya provinsi dengan proporsi pemilih sarjana di atas 12 persen. Tentu perlu diferensiasi strategi kampanye antardaerah.
KPU sebaiknya menyusun strategi untuk mendorong partisipasi pemilu di daerah dengan pendidikan penduduk yang rendah mengingat berbagai literatur menyimpulkan semakin rendah pendidikan pemilih, semakin rendah kecenderungan partisipasinya.
Isu kesejahteraan
Para kandidat dan partai politik, selain menganalisis demografi, juga perlu menelaah isu kesejahteraan. Lebih dari 71 persen pemilih merupakan angkatan kerja sehingga isu terkait ketenagakerjaan dapat menarik minat mereka untuk berpartisipasi dan memilih.
Berdasarkan Sakernas BPS (Agustus 2023), jumlah angkatan kerja mencapai 147,7 juta orang, dengan 7,86 juta di antaranya berstatus penganggur.
Lebih dari seperempat penganggur tinggal di Jawa Barat. Sebagai provinsi berpenduduk terbesar di Indonesia, dengan calon pemilih lebih dari 35 juta orang, Jawa Barat jelas menjadi lumbung suara terbesar, terutama bagi para capres. Isu ketenagakerjaan sangat strategis di Jabar, meskipun juga relevan di seluruh daerah, sebagai upaya mengoptimalkan manfaat bonus demografi.
Menarik untuk dicermati bahwa 57 juta pemilih potensial (lebih dari seperempat pemilih) berstatus mengurus rumah tangga. Sekitar 20 juta di antaranya tinggal di Jawa Barat dan Jawa Timur. Tema tentang bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, perbaikan gizi bisa menarik perhatian kelompok ini.
Data BPS pada Maret 2023 menunjukkan 25,9 juta (9,36 persen) penduduk Indonesia terkategori miskin.
Meskipun kemiskinan ada di semua wilayah, isu kemiskinan sangat penting bagi enam provinsi berpenduduk miskin terbanyak (di atas satu juta jiwa), yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Selatan.
Rata-rata jumlah anak dalam rumah tangga miskin lebih banyak daripada rumah tangga nonmiskin sehingga program bantuan sosial dan Keluarga Berencana (KB) sangat relevan. Sementara kemiskinan ekstrem yang mencapai 3,34 juta penduduk dapat menjadi program prioritas di Papua dan Papua Barat sebagai provinsi dengan persentase kemiskinan ekstrem di atas 5 persen.
Baik kemiskinan maupun kemiskinan ekstrem dominan terjadi di perdesaan sehingga kampanye pembangunan desa menjadi sangat strategis.
Pemahaman terhadap demografi pemilih perlu untuk bisa memenangi kontestasi pemilu sekaligus meningkatkan partisipasi pemilih. Pemilu adalah hajatan dan bukan hujatan politik. Setiap kandidat dapat fokus pada strategi pemenangan dengan memetakan struktur demografi pemilih.
Upaya meningkatkan partisipasi pemilu bukan hanya tanggung jawab penyelenggara pemilu, melainkan juga partai politik dan para kandidat. Peningkatan partisipasi pemilih tergantung seberapa relate program yang dikampanyekan dengan preferensi pemilih berdasarkan struktur demografinya.
Kenaikan partisipasi dari 72 persen pemilih (Pemilu 2009) menjadi 75 persen (Pemilu 2014), lalu meningkat hingga 80 persen (Pemilu 2019) menjadi sinyal positif partisipasi politik di Indonesia. Para kandidat harus paham bahwa setiap 1 persen kenaikan angka partisipasi, artinya ada tambahan lebih dari dua juta suara.
Memahami preferensi pemilih akan membantu para kontestan pemilu meningkatkan peluang terpilih. Namun, kemenangan tentu tergantung partisipasi pemilihnya untuk mendatangi tempat pemungutan suara dan menggunakan hak pilih. Pemilu itu tentang partisipasi, bukan sekadar meraih simpati.
Baca juga : Politik Benang Kusut Pemilih Muda
Sonny Harry B Harmadi Ketua Umum Koalisi Kependudukan Indonesia