Politik Benang Kusut Pemilih Muda
Keberadaan pemilih muda sebagai pemilih utama bukan hanya soal jumlah, juga tentang bagaimana mereka memandang politik.
Dominasi pemilih muda dalam pemilu Indonesia adalah peluang untuk membawa perubahan politik yang lebih dinamis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern.
Dalam analisis komprehensifnya mengenai dinamika pemilih muda di Indonesia, ”Persona Politik Pemilih Muda” (Kompas, 9/11/2023), Whinda Yustisia memberikan perspektif mendalam terkait dengan bagaimana generasi milenial dan generasi Z dapat memengaruhi peta politik nasional.
Namun, beberapa aspek perlu dipertimbangkan lebih lanjut untuk memahami kompleksitas yang ada dalam hubungan antara pemilih muda, politik, dan masyarakat kita hari ini. Juga untuk mengetahui cara mengurai benang kusut dalam psikologis pemilih muda saat ini.
Keberadaan pemilih muda sebagai pemilih utama bukan hanya soal jumlah, melainkan juga tentang bagaimana mereka memandang dan bereaksi terhadap politik. Seperti diungkapkan Robert D Putnam dalam bukunya, Bowling Alone, masyarakat modern cenderung lebih kritis dan individualistis dalam politik.
Hal ini terlihat pada generasi muda Indonesia yang berorientasi pada nilai-nilai sosial dan kebajikan, sekaligus menaruh perhatian pada prestasi pribadi. Gambaran atas kontradiksi ini pada dasarnya mencerminkan kompleksitas pemikiran politik mereka.
Hal ini sesuai dengan pendapat David Easton dalam A Framework for Political Analysis. Ia menekankan bahwa perilaku politik tidak hanya dipengaruhi oleh aspirasi publik, tetapi juga oleh kepentingan pribadi.
Kurangnya minat pemilih muda pada isu politik kerap dipersepsikan sebagai bentuk apatisme. Namun, akan lebih tepat jika dikatakan bahwa mereka selektif dan kritis.
Keberadaan pemilih muda sebagai pemilih utama bukan hanya soal jumlah, melainkan juga tentang bagaimana mereka memandang dan bereaksi terhadap politik.
Mereka tidak sepenuhnya apatis, tetapi lebih cenderung skeptis dan selektif dalam memilih isu yang mereka anggap relevan, sebagaimana dijelaskan Ethan Zuckerman dalam Rewire: Digital Cosmopolitans in the Age of Connection.
Zuckerman juga menyoroti bagaimana internet dan media sosial telah mengubah cara orang muda menyerap dan berpartisipasi dalam politik.
Mereka lebih cenderung terlibat dalam ”aktivisme jaringan”—bentuk aktivisme yang memanfaatkan media sosial dan platform digital untuk memobilisasi dukungan dan kesadaran. Ini bukan menunjukkan ketidakpedulian, melainkan cara baru dalam berpartisipasi dan berinteraksi dengan isu-isu politik.
Dinamika pemilih muda
Dinamika pemilih muda perlu dipandang secara lebih jauh dan lebih kritis. Hal ini menjadi upaya kita untuk memahami apa kebutuhan dan peluang yang bisa terjadi pada Pemilu 2024. Terdapat beberapa persoalan yang belum dikaji lebih rinci dalam tulisan ”Persona Politik Pemilih Muda”.
Pertama, penekanan pada nilai-nilai universal dan kebajikan di kalangan pemilih muda menjadi sesuatu yang jelas tampak, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana nilai-nilai ini diterjemahkan menjadi tindakan politik.
Meskipun peningkatan minat dalam kegiatan sukarelawan menunjukkan kepedulian terhadap masalah sosial, informasi ini tidak mampu memperlihatkan bagaimana hal ini berkorelasi dengan pilihan politik mereka. Apakah pemilih muda benar-benar memilih berdasarkan isu-isu sosial dan etika ataukah faktor lain, seperti karisma calon, dan kampanye media juga memainkan peran yang signifikan?
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa generasi muda lebih piawai dalam mengidentifikasi kredibilitas informasi daring perlu ditinjau lebih jauh.
Dalam era post-truth dan echo chambers digital, algoritma media sosial cenderung menguatkan bias konfirmasi, kemampuan untuk mengkritisi informasi secara obyektif menjadi lebih kompleks. Era digital yang ditandai dengan akses internet luas juga membawa perubahan signifikan dalam perilaku politik pemilih muda.
Sebagaimana dipaparkan Cass Sunstein dalam Republic.com 2.0, internet bisa menjadi alat yang memperkuat demokrasi, tetapi sekaligus bisa menjadi instrumen yang menyebarkan disinformasi dan memecah belah masyarakat.
Meskipun mereka mungkin menghabiskan lebih banyak waktu berselancar di dunia maya, bukan sebuah jaminan bahwa generasi muda berarti memiliki literasi digital dan literasi kritis yang lebih baik daripada generasi yang lain.
Ketiga, fenomena apatis politik di kalangan pemuda, sebagaimana ditunjukkan oleh fokus mereka pada konten hiburan, menunjukkan adanya celah antara kesadaran politik dan partisipasi politik.
Kalangan pemuda mungkin sadar akan isu-isu politik dan korupsi, tetapi hal ini tidak selalu menghasilkan partisipasi aktif dalam proses politik. Kemungkinan adanya kekecewaan atau ketidakpercayaan terhadap sistem politik dapat menghambat keterlibatan mereka secara lebih substansial.
Kalangan pemuda mungkin sadar akan isu-isu politik dan korupsi, tetapi hal ini tidak selalu menghasilkan partisipasi aktif dalam proses politik.
Hal ini juga bisa mencerminkan fenomena selective exposure, yakni orang cenderung memilih informasi yang sesuai dengan pandangan dan kepentingan mereka
Keempat, mengenai sikap politik yang labil dan mudah berubah, ini menimbulkan pertanyaan tentang kedalaman pemahaman politik di kalangan pemuda. Sementara media sosial memudahkan akses informasi, ia juga memfasilitasi penyebaran informasi yang dangkal dan bersifat sementara.
Perubahan preferensi politik yang cepat mungkin mencerminkan kurangnya pemahaman yang mendalam tentang isu dan kebijakan, daripada kesadaran politik yang sebenarnya.
Membangun partisipasi politik
Tantangan utama yang dihadapi dalam mengurai benang kusut pada pemilih muda adalah kesadaran partisipasi politik. Idealnya, pemilih muda dapat didorong untuk tidak hanya memperhatikan isu-isu politik, tetapi juga terlibat secara aktif dalam proses politik.
Ini bukan hanya tentang memilih, melainkan juga tentang terlibat dalam dialog dan advokasi politik. Sejumlah aktor politik perlu mengembangkan strategi yang lebih efektif dan otentik untuk berkomunikasi dengan generasi muda.
Ini tidak hanya meliputi pemasaran politik melalui media sosial, tetapi juga keterlibatan yang lebih substansial dalam isu-isu yang penting bagi pemuda, seperti pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan.
Seperti diungkapkan di atas, dominasi pemilih muda dalam pemilu di Indonesia adalah peluang untuk membawa perubahan politik yang lebih dinamis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern. Namun, tantangan seperti ketidakstabilan sikap politik dan rendahnya minat politik harus ditanggapi dengan strategi pendidikan dan pemberdayaan yang efektif.
Ilustrasi
Hanya dengan demikian, kita dapat mengharapkan generasi muda yang tidak hanya menjadi pemilih yang jumlahnya besar, tetapi juga pemilih yang cerdas dan kritis. Pemilih yang mampu mengarahkan masa depan demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik.
Terakhir, penting untuk mengembangkan kesadaran politik yang lebih matang di kalangan pemilih muda. Sebagaimana disampaikan John Dewey dalam Democracy and Education, pendidikan dan kesadaran politik merupakan kunci untuk demokrasi yang sehat.
Baca juga : Persona Politik Pemilih Muda
Wawan KurniawanPeneliti Laboratorium Psikologi Politik, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia