Sejak diadakan pemilihan presiden secara langsung, antusiasme masyarakat untuk memilih pemimpin semakin meningkat. Ada dorongan untuk memilih calon pemimpin yang paling ideal menurut kriteria kita.
Saya juga termasuk di antara masyarakat yang antusias setiap kali pilpres diadakan. Ada dorongan hati, selain memang ada unsur pemenuhan kewajiban sebagai warga negara. Makin ke sini, saya merasa, memilih calon pemimpin ibarat memilih pasangan hidup.
Oleh orangtua saya, dulu, saya diajarkan untuk memilih pasangan hidup berpatokan pada 3B alias bibit, bebet, bobot. Bibit mengacu pada asal keturunan. Biasanya orangtua mengingatkan untuk memilih pasangan hidup yang berasal dari keluarga yang baik atau tumbuh besar di lingkungan yang baik.
Makin ke sini, saya merasa, memilih calon pemimpin ibarat memilih pasangan hidup.
Bebet mengacu pada status sosial ekonomi. Anjurannya pilih yang statusnya pada dua perkara itu tidak terlalu jauh berbeda dengan kita sehingga akan memudahkan saat hidup bersama kelak.
Adapun bobot itu mengacu pada kriteria pendidikan dan kepribadian. Soal kepribadian ini, orangtua saya dulu mewanti-wanti sekali agar mengenali betul kepribadian calon pasangan hidup. Jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Terkait pilihan capres-cawapres sebagai ”pasangan hidup” buat warga negeri ini selama lima tahun pascapilpres, saya lihat rekam jejak hampir semua kandidat memiliki kualitas di atas rata-rata.
Khusus untuk bobot, menurut saya pribadi, masih perlu lebih banyak referensi yang menunjukkan seperti apa kepribadian para calon presiden dan calon wakil presiden ini. Menurut saya, faktor kepribadian ini penting bagi pemimpin Indonesia dengan segala tantangan zaman di masa mendatang.
Saya berharap sekiranya media massa bisa lebih banyak mengulas sisi kepribadian para calon presiden dan wakil presiden. Itu tentu akan sangat bermanfaat untuk masyarakat pemilih.
BUCHORI
Cakung, Jakarta Timur
Label ”Barcode” dan Cara Massal
Sebagai penjual di Tokopedia dan Shopee, saya ingin berbagi pengalaman dan tips. Ini terkait dengan peristiwa yang dialami oleh Bapak Denny Raharjo yang barangnya tertukar saat membeli secara daring (Surat kepada Redaksi, Kompas, 23/11/2023).
Saya sarankan, para penjual ketika menyerahkan paket kepada pihak kurir (drop-off atau pick-up) wajib membiasakan diri agar paketnya sudah ditempel label barcode hasil cetakan dari laman e-dagang.
Cetakan label barcode versi e-dagang tersebut berfungsi untuk cek dan cek ulang isi barangnya oleh pihak penjual. Hal itu juga memudahkan kurir dalam otomatisasi input data paket pada sistem di pihak kurir (scanning).
Jika terdapat bermacam-macam paket dan dikerjakan ’secara massal’, bisa terjadi kelalaian melakukan cek dan cek ulang isi produk.
Sistem pada kurir akan mencetak label barcode-nya lagi dengan versi sistem kurir. Biasanya, pihak kurir menutup label barcode versi e-dagang dengan label barcode versi sistem kurir.
Tujuannya, agar tidak rancu dan memudahkan kegiatan scanning ketika terjadi perpindahan paket di setiap pos atau ”stasiun antara” dari kurir. Sebaliknya, akan terjadi kerancuan apabila ada dua sistem barcode dalam sebuah paket kiriman.
Karena pertimbangan penghematan, sering terjadi penjual malas mencetak label barcode versi e-dagang. Para penjual hanya menuliskan nomor barcode-nya pada paketnya.
Jika terdapat bermacam-macam paket dan dikerjakan ”secara massal”, bisa terjadi kelalaian melakukan cek dan cek ulang isi produk. Penjual juga dapat melakukan kesalahan menuliskan nomor barcode karena barang pembelian sudah tertutup oleh kemasan paket.
Di gerai kurir, mereka hanya akan memasukkan data kembali dengan cara mengetik nomor barcode di komputer, mencetak label barcode versi kurir, lalu menempelkannya. Oleh karena itu, hindarilah ”aktivitas massal” seperti itu. Lakukan satu per satu secara berurutan.
Dari sisi kurir, paket yang tertukar bisa terjadi karena kurir salah dalam menempelkan label barcode-nya ke paket. Ini juga karena adanya ”aktivitas massal” dalam pencetakan dan penempelan label barcode versi kurir tersebut.
Pengamatan kami, biasanya para kurir mencetak dulu semua label barcode versi kurir dari paket-paket yang telah mereka ambil dari penjual (pick-up). Lalu, mereka lanjutkan dengan mencari paketnya dan menempelkan label barcode tersebut satu per satu ke paket-paket yang mereka pick-up tadi.
Jika kurir melakukan aktivitasnya satu per satu, yakni cetak lalu tempel, kesalahan tempel label tidak mungkin terjadi.
Djoko Madurianto Sunarto
Pugeran Barat, Yogyakarta