Muhammadiyah menyambut pesta demokrasi 2024 dengan mengadakan uji publik bagi capres dan cawapres. Ini sesuai jalur politik Muhammadiyah, yaitu politik gagasan.
Oleh
MUHAMAD BUKHARI MUSLIM
·3 menit baca
Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, Muhammadiyah kini memainkan dan memerankan politik yang elegan dan menarik. Politik gagasan tetap menjadi kata kunci utamanya. Namun, ada yang baru dan berbeda dari cara Muhammadiyah menyambut pesta demokrasi 2024 yang sebentar lagi akan digelar, yakni dengan mengadakan uji publik bagi capres dan cawapres yang hendak berlaga.
Uji publik ini tentu merupakan sesuatu yang baru di Muhammadiyah, tidak ada pada Pilpres 2019 dan Pilpres 2014. Inisiatif ini hadir demi menunjukkan dan meneguhkan peran kebangsaan Muhammadiyah dalam mengawal dan memastikan agar calon-calon pemimpin Indonesia di masa yang akan datang ialah mereka yang punya gagasan dan pikiran besar untuk Indonesia.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut bahwa gagasan tentang uji publik ini merupakan hasil rapat pleno di PP Muhammadiyah. Melalui kegiatan uji publik ini, visi-misi para capres dan cawapres diharapkan akan dibedah, dievaluasi, dan duji secara kritis di forum akademis.
Pernyataan Abdul Mu’ti di atas tentu menarik, setidaknya pada dua hal. Pertama, gagasan dan inisiatif mengadakan uji publik ini berasal dari kalangan internal, yakni rapat pleno PP Muhammadiyah. Artinya pelaksanaan kegiatan ini tidak ada sangkut pautnya dengan tuntutan dan permintaan (request) dari pihak luar. Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa Muhammadiyah juga mempunyai keresahan dan merasa terpanggil untuk ikut mengawal pemilu.
Kedua, uji publik itu diadakan di kampus. Sebagai organisasi masyarakat yang memiliki banyak lembaga pendidikan, pemilihan kampus sebagai tempat uji publik merupakan pilihan yang pas dan senapas dengan spirit Muhammadiyah. Di samping kita juga mafhum bahwa kampus merupakan tempat penggodokan dan penggemblengan pikiran.
Jadi, sekali lagi, Muhammadiyah tidak salah ketika memilih kampus sebagai tempat uji publik bagi capres dan cawapres. Sebab, kampus merupakan simbol pikiran. Mereka yang hendak masuk ke dalam ”wahana intelektual” ini adalah mereka yang harus punya pikiran dan gagasan.
Uji publik capres-cawapres dilakukan di tiga kampus berbeda. Pertama, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada 22 November di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Kedua, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD pada 23 November di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ketiga, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada 24 November di Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Mitra demokrasi
Sebagai salah satu gerakan masyarakat sipil (civil society), Muhammadiyah diharap agar terus menempatkan dirinya sebagai mitra demokrasi dengan melakukan checks dan balances, yakni, di saat orang lain berdesak-desakan untuk ambil bagian jadi tim pemenangan, maka Muhammadiyah menempuh jalur lain, yaitu politik gagasan.
Garis politik semacam ini sangat pas dengan jati diri Muhammadiyah. Dari sejak era kemerdekaan, garis peran politik Muhammadiyah bukanlah pada politik praktis yang berorientasi kepada kekuasaan, tetapi politik gagasan. Pada masa-masa awal kemerdekaan kita mengenal cukup banyak tokoh Muhammadiyah yang berperan dan berkontribusi secara gagasan bagi perumusan dan pembentukan ideologi negara Indonesia. Di sana terdapat nama Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Buya Hamka, dan nama-nama lainnya. Jadi, uji publik yang dilakukan di kampus ini sejalan dengan langkah tokoh-tokoh Muhammadiyah sebelumnya.
Dengan mengundang seluruh capres dan cawapres ke kampus-kampus miliknya, merupakan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak melakukan politik partisan.
Muhammadiyah tidak bisa seperti Nahdlatul Ulama (NU) dalam menyambut pemilu, massa Muhammadiyah tidak sebanyak NU. Dengan basis massa besar yang dimilikinya, NU tentu memiliki daya tawar yang tinggi dan menarik sehingga para politisi akan rela berdesak-desakan demi merebut restu para kiai dengan masuk dan menjajaki pesantren-pesantren. Berbeda dengan Muhammadiyah, organisasi ini, secara massa, tampak kurang menarik bagi para politisi. Maka, satu-satunya yang bisa dilakukan oleh Muhammadiyah adalah memanfaatkan basis-basis kampus yang dimilikinya.
Memilih kampus sebagai tempat uji publik tentu memiliki nilai tambah dan beberapa keuntungan. Pertama, secara massa kampus lebih riil. Kedua, kampus adalah tempatnya para pemikir. Dengan cara seperti ini Muhammadiyah telah mengembalikan posisi dan bargaining kampus sebagai mitra kritis dalam mengawal-mengawal agenda-agenda besar yang berkaitan dengan bangsa dan negara.
Selain itu, dengan mengundang seluruh capres dan cawapres ke kampus-kampus miliknya, merupakan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak melakukan politik partisan. Elite Muhammadiyah tidak menginginkan agar kampus-kampus yang berada di bawah naungannya bersifat partisan dengan memberikan panggung pada satu paslon sambil menjegal dan menutup rapat-rapat bagi paslon lainnya sebagaimana yang terjadi dan dipraktikkan oleh beberapa kampus akhir-akhir.
Dengan gaya seperti ini, Muhammadiyah tetap dan sesuai pada garis-garis yang diamanahkan oleh Khittah Muhammadiyah Denpasar, yakni tidak terlibat dalam politik praktis atau politik yang berbentuk dukung-mendukung. Sebab, politik Muhammadiyah ialah politik yang bersifat pendidikan dan pencerahan, utamanya bagi warga Indonesia.
Dan, kegiatan uji publik ini adalah salah satu bentuk konkretnya, yakni tetap menjaga jarak dengan kekuasaan sambil tetap melakukan pengawasan dan pendidikan politik bagi calon pemimpin bangsa. Sebab, hanya dengan jalan politik yang tidak partisan inilah masyarakat Indonesia akan selamat dari keterbelahan, pertengkaran, dan sifat-sifat tidak dewasa lainnya.