Acara Seabad Persis: Mengajak khalayak pulang ke rumah sejarah, menyelami dan memahami kiprah seabad Laskar Sambernyawa.
Oleh
HERI PRIYATMOKO
·4 menit baca
Belajar tentang sejarah di ruang kelas dirasakan semakin menjemukan. Ditambah pula model mengajar para guru dan dosen yang dinilai monoton. Akhirnya, rasa kantuk dan kebosanan melanda peserta didik, alih-alih mengunduh kearifan yang tersekam dalam lautan kisah yang diuraikan para guru di depan kelas. Dewasa ini bermunculan komunitas yang mencoba menjawab persoalan itu. Salah satunya, Solo Societiet, lembaga nirlaba yang diisi oleh barisan kawula muda untuk menyemaikan ”virus” rasa cinta terhadap sejarah-budaya kotanya.
Acara teranyar ialah Seabad Persis: Pesta Cerita Bola. Event jelajah pada Minggu (5/11/2023) tersebut digarap untuk mengajak khalayak ”pulang” ke rumah sejarah. Tim bal-balan ”Kota Bengawan” berjuluk ”Laskar Sambernyawa” itu pada November 2023 genap berusia 100 tahun. Maka, barisan anak muda ini emoh kehilangan momentum yang berharga untuk berefleksi sejarah bersama masyarakat.
Hasil riset anggota Solo Societeit, Ardian Nur Rizki (2018), menyebutkan bahwa Persis—saat itu bernama Vorstenloandsche Voetbalbond (VVB)—didirikan pada 30 Maret 1923 oleh Reksohadiprojo, Sutarman, serta Sastrosaksono. Delapan bulan kemudian (8 November), baru mengantongi izin legal formal dari pemerintah kolonial Belanda.
Perubahan nama VVB menjadi Persis baru dicanangkan pada 12 Mei 1933. Dalam perkembangannya, Persis turut andil memompa gerakan nasionalisme lewat lapangan hijau. Pada 19 April 1930, Persis bersama enam klub sepak bola bumiputera lainnya menjadi pionir mendirikan PSSI. Bahkan, apabila sudi berkeringat menelusur jauh ke belakang, sebelum PSSI didirikan, Persis telah menginisiasi terbentuknya IVB (semacam PSSI) kendati eksistensi IVB layu sebelum berkembang.
Kerja sosial
Mentari masih ramah di ubun-ubun. Puluhan peserta diajak mengayunkan kaki menghampiri titik historis Balai Muhammadiyah. Di ruang lawas itu, dibabar kisah kerja sosial Persis melalui pertandingan amal, puluhan tahun silam. Jurnalis Darmo Kondo (edisi 31 Maret 1923) tanpa ragu memprasastikan kolaborasi Komite Pertandingan Sepak Bola Solo. Dihelat pertandingan antara pemain jempolan dari sejumlah klub internal Persis bertarung dan segenap klub asal Yogyakarta dan Semarang. Turnamen tersebut bakal dijalankan di Alun-alun kidul Surakarta pada 7-13 April 1923.
Kearifan sejarah tersembul bahwa 80 persen laba dari penjualan tiket hendak didermakan kepada Muhammadiyah, sementara komite pertandingan cukup mengantongi 20 persen saja. Alamak, mulia sekali pemikiran barisan penggila bola itu bahwa mendukung organisasi keagamaan yang getol bergerak di bidang sosial (Muhammadiyah) itu sama artinya mendukung kemanusiaan dan turut memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kearifan sejarah tersembul bahwa 80 persen laba dari penjualan tiket hendak didermakan kepada Muhammadiyah, sementara komite pertandingan cukup mengantongi 20 persen saja.
Hal yang bikin terenyuh, Muhammadiyah gantian membalas budi, yakni ”menghibahkan” sepetak tanah di Keprabon yang dimanfaatkan untuk kantor pertama Persis. Kami pun membersamai peserta lintas umur ini mampir di depan kantor legendaris tersebut. Dari arah atas, peserta blusukan yang tengah menikmati alur cerita dibidik oleh mata drone dan kamera untuk mengabadikan peristiwa perayaan itu.
Perjalanan masih panjang, titik yang dikunjungi berikutnya adalah lapangan Pamedan Mangkunegaran. Berpayung dahan pohon, pendongeng menunjukkan sejumlah foto lama yang merekam aktivitas sepak bola di lapangan milik keturunan Pangeran Sambernyawa ini. Misalnya, foto R Maladi berjejer bersama tim. Dialah kiper Persis yang kemudian hari menjadi menteri olahraga. Selain itu, ditunjukkan gambar Gusti Nurul yang cantik sedang menendang bola dalam pembukaan turnamen bola yang diadakan oleh Praja Mangkunegaran.
Lalu, bergeser ke bekas kantor cabang Pembangkit Listrik Negara di sisi barat Pura Mangkunegaran. Puluhan orang didongengi bahwa listrik bukan hanya mengubah wajah kota, melainkan juga ikut mengembangkan kegiatan olahraga sepak bola dan mendongkrak prestasi. Para pemain pada tahun 1930-an awal bisa berlatih dan berlaga di Stadion Sriwedari pada malam hari berkat diterangi pancaran lampu listrik.
Sampailah pada puncak jelajah di Balai Persis, ruang kecil yang dipenuhi puluhan piala Persis dan dipakai untuk rembuk menentukan siasat sebelum bertempur di lapangan, beberapa dekade silam. Tak lupa dihadirkan pemain kawakan (lejen) Hong Widodo berumur 80 tahun dan Totok Supriyanto berusia hampir 60 tahun. Disadari bahwa dalam peringatan seabad Persis, publik perlu menjenguk ”para pilar” Persis yang telah bersusah payah membesarkan tim, jauh sebelum sepak bola menjadi industri dan mesin uang.
Hong Widodo menceritakan, meski beridentitas Tionghoa, tak membuat nyalinya menciut di lapangan, sekalipun diteriaki suporter: woi, cino! Terlebih pasca-ontran-ontran G30S, ancaman dan umpatan yang lebih keras terhadap dirinya justru dibalas dengan bermain cantik dan mengerek prestasi. ”Nyatane tekan saiki aku ora mati,” kelakarnya.
Nasionalisme dan rasa bangga terhadap Persis kadung menyatu bersama nyawanya. Seumpama tingkat ekonomi menengah ke atas, ia mengaku mungkin menjadi pengusaha, bukan pemain bola. Garis hidup menjadi pemain bola dijalani penuh gairah. Walau diskriminasi di lapangan hijau kuat, dia tak lembek. ”Wah, pemaine kulite ireng kabeh, aku putih dewe,” ujarnya terkekeh membuat ger-geran. Aneka cerita sejarah berbumbu banyolan itu diunduh peserta dengan riang.
Di ujung acara yang semarak ini, kami termenung, ”roh” Pangeran Sambernyawa yang nggegirisi itu tampaknya menitis dalam jiwa Hong Widodo. Lelaki yang andhap asor ini adalah petarung andal meskipun dikeroyok dan disudutkan lawan dengan berbagai cara. Panjang umur, legenda Persis. Juga selamat merayakan seabad Persis Solo!
Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; Founder Solo Societeit