Visi Pembangunan Infrastruktur
Infrastruktur memang fondasi pertumbuhan, tetapi tidak otomatis membawa kita pada pertumbuhan yang diharapkan.
Infrastruktur sepertinya masih akan menjadi agenda prioritas pemerintah berikutnya. Hal ini tecermin dari dokumen visi-misi tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung dalam pemilu mendatang.
Dengan kata lain, para calon pemimpin bangsa sadar betul bahwa infrastruktur adalah modal untuk mencapai tujuan kesejahteraan dan kunci bagi bangsa ini untuk melangkah lebih jauh.
Berkaca dari kondisi Indonesia, pembangunan infrastruktur bukanlah sekadar kebutuhan, melainkan juga keniscayaan. Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2019), minimnya sarana dan prasarana merupakan salah satu penyebab utama ketertinggalan daerah di Indonesia.
Terlebih, stok infrastruktur Indonesia masih terbilang rendah, hanya di kisaran 43 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Padahal, rata-rata stok infrastruktur di negara-negara maju mencapai 70 persen terhadap PDB. Karena itulah, pemerintah berikutnya harus melakukan percepatan dan terobosan pembangunan guna mengatasi defisit infrastruktur ini.
Berkaca dari kondisi Indonesia, pembangunan infrastruktur bukanlah sekadar kebutuhan, melainkan juga keniscayaan.
Praktik baik dan pembelajaran
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membangun infrastruktur besar-besaran selama sembilan tahun terakhir. Terdapat beberapa praktik baik sekaligus pembelajaran yang perlu menjadi perhatian pemerintah ke depan agar pembangunan infrastruktur semakin baik lagi.
Pertama dan paling utama, pembangunan Indonesia-sentris harus terus dilanjutkan. Konsep ini bertitik berat pada pembangunan yang masif dan merata di seluruh Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa.
Paradigma ini mungkin tidak populer bagi politisi mengingat separuh konstituen pemilu berada di Pulau Jawa. Namun, kita harus yakin bahwa tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tengah bertarung bukanlah sekadar politisi, melainkan juga negarawan yang tidak melulu berpikir politik dan kepentingannya sendiri.
Terlebih, infrastruktur bukan hanya soal tumpukan aspal dan beton, melainkan juga terkait dengan keadilan sosial. Dengan infrastruktur yang lebih merata, masyarakat di penjuru Nusantara tak lagi terasing di negeri sendiri.
Dengan segala catatan, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digaungkan Presiden Jokowi telah berhasil menjadikan infrastruktur tidak lagi hanya terkonsentrasi di Jawa, tetapi juga terdistribusi secara masif ke seluruh Indonesia. Bahkan, 56 persen dari PSN berada di luar Jawa. Visi Indonesia-sentris dan keberpihakan terhadap pemerataan ini perlu diteruskan oleh siapa pun pemimpin bangsa nantinya.
Kemudian, presiden berikutnya perlu fokus tidak hanya pada infrastruktur besar, tetapi juga infrastruktur kerakyatan. Megaproyek seperti jalan tol, bendungan, pelabuhan, dan bandara memang penting (dan menarik untuk dipamerkan kepada khalayak). Namun, infrastruktur skala kecil yang berdampak pada hajat hidup orang banyak juga tidak kalah mendesak, contohnya infrastruktur air bersih, sanitasi, dan lain-lain.
Soal air bersih, misalnya, akses air minum perpipaan kita hanya 19 persen (BPS, 2022), masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang sebesar 30 persen. Bahkan lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara dan Afrika Tengah. Oleh karena itu, infrastruktur kerakyatan seperti ini perlu lebih diperhatikan pemerintah berikutnya.
Perihal target, pembangunan infrastruktur mestinya tidak terpaku semata pada kuantitas, tetapi juga harus dipastikan kualitasnya. Sebagai contoh, pemerintah menargetkan pembangunan 2.500 kilometer jalan tol baru, yang di dalamnya termasuk jalan tol layang dalam kota. Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa jalan tol dalam kota terbukti tidak efektif mengatasi kemacetan perkotaan.
Ketika negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Korea Selatan perlahan mulai membongkar jalan tol dalam kota dan mengubahnya menjadi ruang publik, Indonesia justru masih giat membangun jalan tol dalam kota untuk mengejar target yang telah ditetapkan, dengan iming-iming solusi kemacetan yang fana.
Lebih lanjut, pemerintah berikutnya juga mesti mengoptimalkan infrastruktur yang telah terbangun. Jalan Tol Trans-Sumatera, misalnya, telah terhubung dari Palembang hingga Bakauheni. Jalan tol ini memberikan dampak ekonomi luar biasa di Sumatera bagian selatan.
Perihal target, pembangunan infrastruktur mestinya tidak terpaku semata pada kuantitas, tetapi juga harus dipastikan kualitasnya.
Tugas berikutnya, pemerintah harus menyiapkan kawasan industri dan sentra-sentra produksi di sepanjang koridor jalan tol agar infrastruktur dapat memberikan efek berganda bagi pertumbuhan dan kesejahteraan.
Kasus lain, pemerintah sedang membangun 61 bendungan baru dan sebagian besar sudah selesai. Prestasi yang telah ditorehkan ini perlu segera ditindaklanjuti dengan pembangunan jaringan irigasi yang mumpuni agar air dari bendungan benar-benar sampai ke sawah- sawah milik petani.
Pendanaan infrastruktur
Soal anggaran, pendanaan alternatif menjadi penting agar pembangunan infrastruktur tidak bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbatas, dan tidak pula mengorbankan BUMN yang kini mulai kelimpungan menjalankan penugasan dari pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus menarik lebih banyak partisipasi pihak swasta dengan menawarkan insentif yang lebih menarik.
Pemerintah juga harus konsisten terhadap komitmen non-APBN pada proyek-proyek tertentu, misalnya Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang menurut rencana dilanjutkan hingga Surabaya. Sebab, kucuran APBN untuk proyek kereta cepat berpotensi mengancam visi pembangunan Indonesia-sentris, mengingat banyaknya proyek lain yang lebih penting dan mendesak dan butuh dukungan APBN, terutama di luar Jawa.
Transparansi dan tata kelola yang baik
Ke depan, pemerintah harus mulai membuka dokumen studi kelayakan setiap proyek infrastruktur kepada publik.
Transparansi menjadi penting karena terdapat kecenderungan bahwa dokumen studi kelayakan menjadi semacam alat justifikasi dan tidak benar-benar menguji kelayakan sebuah proyek.
Menurut Flyvbjerg (2007), terdapat tren meminimalkan biaya (cost) dan memaksimalkan manfaat (benefit) agar usulan proyek infrastruktur dapat disetujui dan dilanjutkan. Untuk fenomena ini, Kahneman dan Tversky (1979) menyebutnya sebagai bias optimisme, acapkali berujung pada pembengkakan biaya (cost overrun) dan kefakiran manfaat (benefit shortfall).
Oleh karena itu, transparansi dalam kebijakan pembangunan infrastruktur perlu lebih didorong. Sebagaimana temuan Wells (2015), keterbukaan sejak awal persiapan dan perencanaan proyek dapat meminimalkan potensi masalah pada tahap pelaksanaan dan pembangunan infrastruktur.
Dengan transparansi, masyarakat memiliki ruang untuk menilai dokumen studi kelayakan, termasuk mendebat asumsi, model, dan perhitungan yang digunakan pemrakarsa proyek guna mencegah munculnya studi kelayakan yang tidak layak dan proyek-proyek gaib yang tidak jelas urgensinya.
Terakhir, pembangunan infrastruktur yang masif harus disertai dengan tata kelola yang baik pula. Infrastruktur memang fondasi pertumbuhan, tetapi infrastruktur tidak otomatis membawa kita pada pertumbuhan yang diharapkan.
Bank Pembangunan Asia (2014) dan Crescenzi dkk (2017) menunjukkan bahwa manfaat infrastruktur di suatu negara sangat bergantung pada kualitas pemerintahnya. Pembangunan infrastruktur di negara-negara dengan tata kelola pemerintahan yang buruk cenderung menghasilkan dampak sosial-ekonomi yang rendah.
Oleh karena itu, perbaikan tata kelola pemerintahan menjadi sangat vital dan fundamental untuk keberhasilan pembangunan infrastruktur yang kita lakukan.
Baca juga ; Sepanjang 2023, Telah Terbangun 217,8 KM Jalan Tol
MM Gibran SesunanDirektur Eksekutif Pusat Kajian Infrastruktur Strategis (PUKIS)