Setidaknya 30 provinsi telah menetapkan upah minimum provinsi dengan kenaikan dari 1,2 persen hingga 7,5 persen.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Penetapan upah minimum provinsi itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP No 36/2021 tentang Pengupahan. Berdasarkan PP ini, formula penghitungan UMP ditetapkan berdasarkan tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang meliputi tingkat penyerapan tenaga kerja, rata-rata/median upah, dan faktor lain yang relevan dengan kondisi ketenagakerjaan.
Kalangan dunia usaha umumnya menerima besaran kenaikan ini. Sebaliknya, buruh menolak karena kenaikan UMP yang ditetapkan lebih rendah dari tuntutan mereka yang 15 persen. Aksi protes buruh terjadi di sejumlah wilayah. Beberapa serikat buruh mengancam akan menggelar unjuk rasa lebih besar untuk mendesak agar tuntutan dipenuhi.
Tarik-menarik kepentingan antara buruh, dunia usaha, dan pemerintah selalu terjadi dalam setiap penetapan upah minimum (UM) setiap tahun. Ketegangan terkait UM yang terjadi di tahun politik harus diantisipasi agar tak memunculkan ekses yang tak diinginkan. Kita perlu menjaga, jangan sampai momentum aksi buruh dimanfaatkan untuk kepentingan politik sempit, dan akhirnya memicu situasi tak kondusif bagi hubungan industrial dan perekonomian secara keseluruhan serta keberlanjutan perluasan lapangan kerja itu sendiri.
Kita harus meletakkan kenaikan UM ini pada konteks situasi riil yang kita hadap, tanpa meninggalkan hakikat UM sebagai instrumen jaring pengaman yang melindungi buruh dari eksploitasi. UM yang ideal tentu menjamin buruh hidup layak, tetapi tak mengancam kelangsungan dunia usaha dan memungkinkan perekonomian tumbuh sehat. Dengan demikian, dapat tercipta lapangan kerja bagi 7,86 juta orang yang masih menganggur dan 2,2 juta angkatan kerja baru yang masuk ke pasar kerja setiap tahun.
Perlu mekanisme pengupahan yang memenuhi rasa keadilan, tidak saja bagi pelaku usaha, tetapi juga buruh. Harus diakui, gonta-ganti formula penghitungan UM selama ini belum menjamin buruh hidup layak, apalagi sejahtera. Yang terjadi, ruang partisipasi dan posisi tawar buruh justru kian sempit.
Maka, perlu kesadaran dan mekanisme yang menjamin perusahaan yang mampu untuk tak menjadikan UMP sebagai standar pengupahan bagi pekerja di semua tingkatan.
Industri padat karya, yang mempekerjakan pekerja dalam jumlah besar dan sangat rentan terhadap pergerakan UMP, juga harus terlindungi. Perlu insentif fiskal khusus agar jangan sampai kenaikan UM dan persoalan ketenagakerjaan justru memaksa mereka memilih opsi PHK, menutup usaha, atau merelokasi usaha ke negara lain.
Pekerjaan rumah kita lainnya adalah peningkatan produktivitas pekerja agar kenaikan upah dan perbaikan kesejahteraan berjalan paralel dengan meningkatnya produktivitas pekerja serta perekonomian secara keseluruhan. Tak kalah penting, perbaikan upah pekerja sektor informal karena kebijakan UM tak berdampak pada pekerja sektor informal yang menyumbang 60 persen lebih total tenaga kerja kita.