Media dalam Jangkauan Pemilih Bimbang
Arus ”undecided” dan ”swing voters” mulai bergerak lepas, memengaruhi tren elektabilitas capres. Membaca preferensi politik mereka tak bisa tunggal.
Dalam beberapa pekan terakhir ini, sejumlah peristiwa politik memperlihatkan drama yang menarik. Bukan saja soal fakta atas proses politik yang unik dan jungkir balik, melainkan juga tren elektabilitas capres dalam beberapa hasil lembaga survei.
Tren elektabilitas capres bergerak fluktuatif. Dalam hitungan cepat, ada tren yang cenderung meningkat ada juga yang melandai. Para pendukung kandidat dibuat gelagapan, seketika ada yang tampak bahagia, kemudian dalam beberapa waktu berubah menjadi patah arang dan gundah gulana, begitu juga sebaliknya.
Fluktuasi angka elektabilitas capres tersebut salah satunya dipicu oleh arus pemilih pemilih bimbang atau belum menentukan suara dan pemilih dan pemilih rasional yang masih gamang dengan pilihan politiknya, undecided dan swing voters, yang mulai bergerak lepas. Bahkan, dua status pemilih tersebut diyakini menjadi penentu kemenangan bagi kandidat. Dengan demikian, treatment khusus kepada keduanya menjadi lebih distingtif.
Baca Juga: Membaca Peta Persaingan Elektabilitas Ganjar, Prabowo, dan Anies
Pertanyaannya, aspek apa yang turut memicu pergerakan para undecided dan swing voters? Tentu saja aspek preferensi media turut menyokong perubahan yang tampak ”labil” ini.
Sejauh ini, preferensi politik undecided dan swing voters selalu berdiri pada dua lapis penting, didasarkan kepada preferensi media konvensional (televisi dan media cetak) dan media sosial. Dalam politik kontemporer, sulit untuk membayangkan para audiens tidak terpapar oleh dua arus media tersebut. Atau, meniadakan dua platform ini dalam ikut serta memberikan alternatif pilihan adalah muskil. Sehingga, dalam membaca preferensi politik para undecided dan swing voters pada kenyataannya tidak bisa tunggal. Semisal menggantungkan kepada media sosial, atau pada media konvensional an sich.
Fakta mutakhir memotret bagaimana ketersediaan isu-isu negatif di sosial media perihal politik dinasti dan persoalan etik di Mahkamah Konstitusi tidak berbanding lurus dengan penurunan elektabilitas salah satu kandidat. Sebuah gejala yang mengisyaratkan bahwa riuh percakapan di media sosial belum seirama dengan isu negatif yang berkembang.
Semakin sering isu tersebut muncul, nyatanya tidak serta merta memberikan ”berkah” dan angin segar bagi para undecided dan swing voters secara signifikan. Dalam beberapa survei, kuantitas keterlibatan undecided dan swing voters bertambah, tetapi secara preferensi, sentimen isu negatif yang dilekatkan ke salah satu kandidat tidak terlalu memberikan dampak negatif kepada keyakinan dan kredo politik mereka.
Unifikasi saluran
Jan Kleinnijenhuis dan Van Hoof (2021) menjelaskan bahwa dalam politik modern, preferensi politik pemilih—dalam kaitannya dengan penggunaan media—tidak bersifat tunggal, tetapi melalui kombinasi efek media konvensional dan media sosial, atau yang lumrah disebut sebagai unifikasi saluran. Dalam konteks Indonesia, kombinasi teoretik ini tak banyak dilakukan untuk melihat gejala politik mutakhir, seperti sepak terjang politik para undecided dan swing voters. Maka, ketika ada kecenderungan perubahan eskalasi soal elektabilitas kandidat, kemasyuran media sebagai organ krusial yang utuh sering dilupakan.
Perubahan atas keputusan politik mereka sesungguhnya tidak hanya bergantung kepada entitas isu yang berdiri sendiri, tetapi kepada agregasi medium yang digunakan. Dengan demikian, medium ini, suka atau tidak suka menjadi titik tolak bagi insting dan preferensi politik para undecided dan swing voters yang cukup dominan.
Dalam lanskap politik di Indonesia, undecided dan swing voters meskipun secara diametral memiliki perbedaan secara takrif, tetapi secara karakter mereka nyaris mengantongi kesamaan: terdidik, mengkonsumsi informasi politik seperlunya, dan nyaris tidak memiliki keterikatan ideologis yang kuat dengan satu partai tertentu, serta lebih mungkin mempertimbangkan isu-isu spesifik atau kualitas kandidat. Mereka tampak seperti pelaut yang menyertai arah angin yang terus berganti, dan menavigasi lautan politik dengan teliti dan terukur.
Perubahan atas keputusan politik mereka sesungguhnya tidak hanya bergantung kepada entitas isu yang berdiri sendiri, tetapi pada agregasi medium yang digunakan.
Itulah sebabnya mengapa kelompok ini menjadi fokus bagi strategi kampanye politik sebab ia dapat memiliki dampak yang signifikan pada hasil pemilihan terutama dalam kontestasi yang ketat. Para kandidat sering berusaha untuk memahami kekhawatiran dan preferensi dari undecided dan swing voters untuk mencoba memenangkan dukungan mereka.
Preferensi politik kelompok ini lazimnya dipengaruhi oleh media massa yang mereka pilih sendiri terkait berbagai isu kampanye, rekam jejak yang ditorehkan tentang keberhasilan dan kegagalan calon, visi misi, atau oleh pengetahuan mereka tentang teori-teori dalam media massa, identitas sosial-politik, dan politik retrospektif yang berkembang dengan cepat. Dengan demikian, preferensinya bisa dengan mudah berubah, bahkan sama sekali tidak mampu memberikan keyakinan apa pun bagi mereka mengingat media massa di tahun politik selalu ada yang bergerak ke samping, ke titik politik ekonomi yang cenderung utilitarian dan sulit ditakar (Bennit & Iyengar, 2008).
Di saat yang sama, lagi-lagi tidak sedikit para undecided dan swing voters yang, meskipun memiliki akses langsung ke media konvensional, tetap memberikan tempat yang khusus kepada pemimpin opini (qadat al-raay/opinion leader) yang titahnya mereka yakini keabsahannya. Meski demikian, pemimpin opini tersebut belum tentu obyektif dalam mengakomodasi informasi politik dalam media yang mereka konsumsi.
Di sisi lain, undecided dan swing voters dalam menggunakan media sosial tidak selalu memiliki konsentrasi khusus pada isu-isu politik mereka yang cenderung random. Sebab, algoritma media sosial sering kali memperkuat ”filter bubble”, di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan dan opini yang sejalan dengan minat dan keyakinan.
Undecided dan swing voters yang terjebak dalam filter bubble ini mungkin kurang terpapar pada informasi politik seragam termasuk sentimen negatif sehingga sulit bagi mereka untuk membuat keputusan yang politik. Inilah kemudian yang menjadi salah satu alasan mengapa riuhnya media sosial adakalanya tidak berbanding lurus dengan hasil obyektif sebuah survei politik.
Baca Juga: Ceruk Potensial ”Undecided Voters” untuk Perluasan Dukungan Capres
Tantangan kandidat
Akar preferensi politik para undecided dan swing voters idealnya lebih relevan dengan kombinasi dua platform media; konvensional dan media sosial. Dengan demikian, wajar jika Kenneth F Greene (2020) dalam sebuah studinya menjelaskan bahwa yang paling sulit dipahami dari undecided dan swing voters dalam mesin politik modern selain klientalisme adalah agresi perilaku pemilih yang dipengaruhi oleh dua unsur media sekaligus, konvensional dan media sosial. Keberhasilan mengakomodasi dua platform media krusial tersebut adalah tantangan para tim kandidat yang paling cekat.
Media konvensional memainkan kunci, tetapi di sisi lain kehadiran media sosial absah dalam mempertebal preferensi politik dan lebih dari sekadar memperkuat kecenderungan, ia memiliki eksposur dan multistep flow effect yang bisa memberikan keyakinan penuh kepada undecided dan swing voters itu sendiri. Memainkan keduanya secara seimbang—selain menjadi langkah baik bagi kandidat—sekali lalu menjadi impuls bagi partisipasi politik para undecided dan swing voters yang sangat berpotensi terperosok ke lembah golput.
Bagi kandidat yang banyak didukung oleh pemilik media, jangan dulu jemawa. Begitu pun dengan kandidat yang mesin politiknya menguasai percakapan di media sosial, jangan juga terlalu percaya diri. Sebab, ”watak” para undecided dan swing voters sedikit rumit dan kerap kali tidak separtisan yang kita bayangkan. Seperti ayunan yang selalu mencari keseimbangan, para undecided dan swing voters selalu mencari kebijaksanaan di antara getaran-getaran politik.
Fathorrahman Hasbul, Alumnus Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada; Peneliti dan Konsultan Media di Jakarta