Ceruk Potensial ”Undecided Voters” untuk Perluasan Dukungan Capres
”Undecided voters” menjadi ceruk perebutan potensial untuk memperluas dukungan elektoral bagi calon presiden, tentunya dengan optimalisasi strategi pemenangan untuk meyakinkan kebimbangan para pemilih di kelompok ini.
Hasil survei Kompas, Oktober 2022, menangkap proporsi pemilih yang belum menentukan pilihan atau undecided voters terhadap sosok potensial calon presiden terbilang cukup besar.
Kondisi itu menjadi ceruk perebutan yang berpotensi semakin mendulang perluasan dukungan, tentunya dengan optimalisasi strategi pemenangan agar berhasil menarik simpati dan meyakinkan kebimbangan pemilih di kelompok ini.
Setidaknya terdapat 17 persen responden yang menyatakan belum menjatuhkan pilihan kepada siapa sosok yang paling layak untuk dipilih sebagai presiden. Besaran proporsi ini merupakan akumulasi dari jawaban responden tidak tahu, tidak ada, ataupun rahasia dalam merespons pertanyaan elektabilitas calon presiden tersebut.
Angka pemilih bimbang itu terbaca naik dari temuan survei periode sebelumnya pada Juni 2022. Survei pada pertengahan tahun itu merekam, proporsi responden yang menyatakan belum menentukan pilihan terhadap sosok calon presiden (capres) berkisar 9,1 persen.
Tingkat kritis dan terbentuknya persepsi yang dilatari oleh berbagai hal, seperti usia, pendidikan, dan dimensi sosial ekonomi, akan sangat berpengaruh pada kebulatan pilihan pada sosok calon presiden.
Meningkatnya jumlah undecided voters tersebut tentulah dipengaruhi berbagai hal, terutama berkaitan dengan kedinamisan konstelasi politik serta keputusan pengusungan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memang belum final.
Saat ini, sekalipun pilihan sosok yang digadang sangat berpotensi melenggang ke arena pemilihan presiden terbilang kian mengerucut, publik yang masih ragu akan pilihannya itu memerlukan proses lebih panjang untuk menggali keyakinan hingga pada akhirnya mampu membuat keputusan.
Dalam hal ini, ada berbagai faktor yang mampu membentuk keyakinan publik atas pilihannya pada sosok capres tertentu. Tingkat kritis dan terbentuknya persepsi yang dilatari oleh berbagai hal, seperti usia, pendidikan, dan dimensi sosial ekonomi, akan sangat berpengaruh pada kebulatan pilihan pada sosok calon presiden.
Baca Juga: Analisis Litbang ”Kompas”: Menakar Efek Promosi (”Endorse”) Jokowi Terkait Capres
Karakter ”undecided voters”
Lebih lanjut, analisis yang dilakukan Litbang Kompas secara lebih mendetail menggali bagaimana karakter para responden yang berada dalam kelompok undecided voters ini. Jika dilihat berdasarkan usia, para pemililh bimbang tersebut terbaca cenderung ada pada kelompok usia yang matang, yaitu di atas 34 tahun.
Generasi Y-Madya (usia 34-41 tahun), generasi X (42-55 tahun), ataupun baby bommers (56-74 tahun) terekam memiliki kecenderungan sebagai pemilih bimbang yang lebih besar.
Proporsi undecided voters di setiap kelompok usia ini mencapai lebih dari seperlima bagian. Bahkan, ada sekitar seperempat responden yang masuk dalam kategori baby boomers belum memiliki ketetapan pilihan terahdap sosok capres untuk pemilu mendatang.
Adapun jika dipetakan berdasarkan latar belakang pendidikan, para responden yang mengenyam pendidikan dasar terbaca cenderung memiliki tingkat kebimbangan yang lebih besar dalam menentukan sosok pilihan capres.
Proporsi responden berpendidikan dasar yang belum menentukan pilihannya mencapai tidak kurang dari 20 persen. Angka tersebut terpaut cukup jauh dengan undecided voters di rumpun pendidikan menengah (13,8 persen) dan atas (12,5 persen).
Temuan itu semakin menandaskan bahwa aspek pengalaman dan pengetahuan yang melatari responden juga akan berselaras pada terbentuknya keyakinan dan kebulatan pilihan publik.
Responden berusia muda, misalnya, dengan pengalaman yang minim dan masih termasuk pada pemilih mula cenderung melihat pilihan sosok capres pada sisi-sisi praktis yang kerap muncul dan ramai menjadi pembahasan di ruang-ruang sosial media.
Temuan itu semakin menandaskan bahwa aspek pengalaman dan pengetahuan yang melatari responden juga akan berselaras pada terbentuknya keyakinan dan kebulatan pilihan publik.
Di luar generasi dan latar belakang pendidikan, pendekatan pada dimensi ekonomi juga sangat menarik untuk dilihat. Responden yang memiliki latar sosial ekonomi dengan status paling atas justru memiliki porsi pemilih bimbang dalam porsi yang lebih kecil dibandingkan dengan lainnya.
Undecided voters terbaca hanya sekitar 9,5 persen pada kelompok sosial ekonomi status paling atas. Angka itu hanya separuh dari pemilih yang belum memiliki keyakinan pada pilihannya di kelas sosial ekonomi menengah dan bawah.
Kondisi itu menunjukan bahwa tidakmapanan ekonomi akan membuat orang jauh lebih kritis dan membutuhkan pertimbangan yang panjang dalam menetapkan pilihannya.
Hal itu pun berselaras jika dilihat pada aspek yang berkaitan dengan latar belakang pekerjaan responden. Proporsi responden yang belum menentukan pilihan terbaca lebih besar kelompok pengangguran dibandingkan dengan mereka yang telah bekerja ataupun yang berwiraswasta.
Dalam hal ini, boleh jadi memang basis pemilih bimbang dalam dimensi ekonomi akan cukup banyak mempertimbangkan sosok capres pilihannya yang cenderung dapat memberikan dampak pada perbaikan nasib. Pada situasi yang memang dalam kemunculan para capres dianggap belum cukup menjanjikan, pemilih di kelompok ini akan berpotensi tetap apatis.
Baca Juga: Survei Litbang ”Kompas”: Loyalitas Pemilih di antara Sosok Capres dan Partai Pengusung
Ceruk potensial
Dalam perjalanannya, pemilih yang belum menentukan pilihan tersebut akan bermuara pada kemungkinan untuk pada akhirnya akan menjatuhkan pilihan atau justru tetap menjadi pemilih bimbang yang tak memilih capres siapa pun.
Mereka yang pada kemudian hari memutuskan pilihannya tentulah telah melalui berbagai pertimbangan yang memperkuat keyakinan terhadap preferensinya.
Besarnya pertimbangan untuk menggali keyakinan pada satu pilihan dan didasarkan pada proses pencarian yang rasional bukan tidak mungkin justru mengubah pada undecided voter menjadi strong voter atau pemilih yang loyal, sulit untuk mengubah pilihannya pada sosok capres tertentu.
Sejauh ini, para capres potensial di urutan elektabilitas teratas dapat dikatakan telah mengantongi modal loyalitas pemilih yang cukup mumpuni. Hasil survei menangkap, pemilih loyal baik pada sosok Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, maupun Prabowo Subianto mencapai empat perlima bagian pendukungnya.
Loyalitas dalam hal ini dibaca melalui konsistensi pilihan responden pada sosok capres secara bertingkat mulai dari 25 pilihan capres hingga mengerucut pada 3 pilihan capres. Tingkat loyalitas pemilih pada ketiga capres pilihan publik di posisi teratas itu memang dapat dikatakan sangat terpaut jauh dibandingkan dengan calon lainnya.
Di posisi capres papan menengah, misalnya, yang diisi oleh Agus Harimurti Yudhoyono, Ridwan Kamil, dan Sandiaga Uno, hanya sebagian kecil (6-11 persen) pemilihnya yang tergolong sebagai pemilih loyal. Artinya, sebagian besar di antaranya masih berpotensi memindahkan dukungannya kepada sosok capres lain.
Ada berbagai alasan yang dapat membentuk pilihan publik terhadap capres. Hasil survei Kompas memetakan setidaknya alasan-alasan yang melekat pada sisi personal masih menjadi hal yang paling dipertimbangkan publik untuk melabuhkan pilihan pada sosok pemimpin bangsa ini.
Alasan yang terkait dengan karakter yang ditunjukkan capres sebagai sosok yang tegas dan berwibawa, sederhana, merakyat ataupun yang dinilai religius menjadi yang paling banyak diungkap oleh responden sebagai pertimbangan memilih presiden.
Faktor-faktor itu bahkan mengalahkan sejumlah hal fundamental lainnya yang semestinya juga penting dipertimbangkan, seperti rekam jejak profesional, latar pendidikan, ataupun capaian prestasi yang pernah diraih capres terkait.
Dilihat dari pertimbangan yang melatari pilihan publik itu, tentulah kerja-kerja elektoral yang optimal untuk membangun citra capres akan sangat membuka peluang menarik simpati dan meyakinkan publik sehingga pada akhirnya dapat pula membalikkan sikap undecided voters.
Pemilih bimbang membutuhkan pembuktian yang mampu meneguhkan keyakinan mereka dalam menjatuhkan pilihan. Undecided voters bukanlah sikap final yang tak memungkinkan untuk diubah, sekalipun memang dengan proses yang alot dan memakan waktu.
Di luar perwajahan yang melekat pada sisi persona para sosok capres, menarik simpati pemilih juga jamak dilakukan dengan membangun kedekatan emosional. Meskipun dilihat dari profil pemilih bimbang yang cukup kritis dan rasional, upaya ini pun masih cukup ampuh terlebih saat terjadi kejenuhan terhadap sosok kandidat yang kini muncul dalam bursa pencalonan presiden.
Kedekatan emosional pemilih terhadap capres pilihannya pun bisa beririsan dengan banyak hal menyangkut nilai-nilai sosial dan budaya, agama, sampai dengan faktor keluarga atau kerabat dekat yang dominan memengaruhi. Dalam hal ini, faktor partai pengusung capres juga dapat sangat berperan dalam memenangkan pilihan para undecided voters.
Pada akhirnya, dengan terus mengoptimalkan strategi pemenangan di sisa waktu tahapan jelang pelaksanaan pemilihan, peluang untuk dapat mendulang perluasan dukungan masih sangat terbuka.
Keberhasilan menampung keuntungan elektoral dari para undecided voters tentu menjadi ceruk yang sangat menggiurkan, sekalipun juga perlu dilalui dengan kerja berat di tengah peta persaingan antarkandidat capres yang semakin memanas. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Survei Litbang ”Kompas”: Keterpilihan Sosok Cawapres Kian Kompetitif