Semakin lama kita membiarkan pengembangan AI tanpa kendali regulasi, bencana dehumanisasi tinggal menunggu waktu saja.
Oleh
USMAN KANSONG
·3 menit baca
Pemengaruh virtual atau virtual influencer tengah populer di Korea Selatan. Pemengaruh virtual itu mengiklankan produk-produk terkemuka, semisal Calvin Klein dan Tiffani melalui media sosial.
Ada satu keyakinan bahwa teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan tak akan benar-benar menggantikan manusia. Manusia memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional bahkan kecerdasan spiritual. AI boleh saja memiliki kecerdasan intelektual, tetapi tidak mungkin mempunyai kecerdasan emosional apalagi kecerdasan spiritual.
Ironisnya, justru karena memiliki perasaan atau emosi, manusia berpotensi besar digantikan oleh teknologi kecerdasan buatan. Manusia pemengaruh (human influencer) berbekal emosinya mungkin memprotes atau menuntut kenaikan pendapatan, sedangkan pemengaruh virtual tidak mungkin melakukannya.
Ironi serupa terjadi pada profesi presenter televisi, juga di Korea Selatan. Dalam setahun terakhir, tiga presenter televisi di negara ginseng itu dipecat.
Satu presenter dipecat karena mengumpat dalam laporan langsung (live report). Satu lainnya diberhentikan karena memfitnah komedian yang telah almarhum. Satu lainnya lagi dipecat karena melecehkan rekan yuniornya.
Solusinya adalah mengganti presenter manusia dengan presenter virtual. Presenter virtual tidak mungkin mengumpat, memfitnah, ataupun melecehkan.
AI boleh saja memiliki kecerdasan intelektual, tetapi tidak mungkin mempunyai kecerdasan emosional apalagi kecerdasan spiritual.
Ironi teknologi
Sering dikatakan bahwa teknologi digital menghilangkan sejumlah profesi, tetapi pada saat bersamaan juga menciptakan profesi-profesi baru. Teknologi media sosial, misalnya, menciptakan pekerjaan baru, di antaranya pemengaruh.
Namun, teknologi pemengaruh virtual kemudian malah menggantikan manusia pemengaruh. Di sinilah letak ironinya bahwa teknologi menggantikan profesi yang baru saja diciptakannya.
Fenomena penggunaan pemengaruh virtual menunjukkan teknologi AI menciptakan ironi teknologi (technological irony). Ironi terbesar teknologi ialah manusia menciptakan teknologi AI, tetapi boleh jadi teknologi AI malah ”membunuh” manusia penciptanya.
Determinisme teknologi
Teori determinisme teknologi (technological determinism) yang dicetuskan Marshall McLuhan menyebutkan, teknologi mengubah kehidupan manusia. Mengubah kehidupan manusia ke arah lebih baik tentunya.
Menyaksikan ironi yang diciptakannya, teknologi kecerdasan buatan kiranya bukan mengubah peradaban manusia menjadi lebih baik, melainkan mendegradasinya. Raymond Williams dalam menjabarkan determinisme teknologi mengatakan, pengembangan teknologi punya tiga tujuan.
Pertama, memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan persoalan manusia. Dalam konteks ironi teknologi, pengembangan AI yang awalnya bertujuan memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan manusia malah memunculkan persoalan baru: ancaman musnahnya peradaban manusia.
Kedua, membawa kondisi tertentu ke masa depan. Dalam hal ironi teknologi, pengembangan AI yang awalnya bertujuan membawa peradaban manusia ke arah lebih baik justru mendatangkan bencana.
Ketiga, mendatangkan profit atau benefit bagi seseorang atau pihak tertentu. Dalam konteks ironi teknologi, inovasi AI yang awalnya dimaksudkan mendatangkan manfaat bagi seluruh manusia justru mendatangkan profit bagi perusahaan penciptanya.
Melihat ironi yang ditimbulkannya, teknologi AI boleh jadi justru menghadirkan dehumanisasi, bukannya menyelesaikan persoalan manusia demi profit perusahaan-perusahaan pembuatnya.
Berpusat pada manusia
Dunia kiranya menyadari sepenuhnya bahwa fenomena ironi teknologi memperlihatkan bencana sedang mengintai peradaban manusia. AI Safety Summit di Bletchley Park, perdesaan 10 mil utara London, Inggris, awal November 2023, menghasilkan ”Deklarasi Bletchley” yang memperingatkan sistem AI yang terlampau maju tanpa pengendalian bakal menjadi bencana.
”Terdapat potensi terjadinya bencana serius, baik disengaja maupun tidak, akibat kemampuan model-model AI yang terlampau maju,” demikian Deklarasi Bletchley.
Deklarasi Bletchley menekankan pentingnya kerja sama internasional inklusif untuk memastikan pengembangan AI secara bertanggung jawab, tepercaya, dan berpusat pada manusia (human-centric).
Pada Mei 2023, para ilmuwan AI dan CEO perusahaan AI terkemuka menandatangani pernyataan yang menyerukan mitigasi risiko bencana akibat AI serupa mitigasi pemanasan global, pandemi atau perang nuklir. Kerja sama internasional seperti diserukan deklarasi ini bisa diwujudkan dalam satu badan untuk mempelajari AI, serupa International Panel on Climate Change yang menelusuri dan menjelaskan pemanasan global.
Kita sebetulnya lebih memerlukan regulasi untuk mengatur dan mengendalikan AI agar pengembangannya berpusat pada manusia. Kita telanjur membiarkan AI berkembang hingga menyebabkan ironi-ironi teknologi. Semakin lama kita membiarkan pengembangan AI tanpa kendali regulasi, bencana dehumanisasi tinggal menunggu waktu saja.
”Dengan membiarkan inovasi mendahului regulasi, kita memberi jalan bagi misinformasi untuk meracuni kita sendiri seperti kita saksikan di internet sekarang ini melalui media sosial,” kata Rajeev Chandrasekhar, Menteri Teknologi India, di AI Safety Summit.