Mengupayakan Pinjaman Daring Produktif dan Terlindungi
Pinjaman daring tumbuh pesat. Sayangnya diwarnai masalah tingkat bunga tinggi, penagihan dan kekerasan, dan maraknya pinjaman daring ilegal.
Pinjaman daring tumbuh pesat, menunjukkan besarnya kebutuhan masyarakat akan pendanaan yang mudah. Namun, pertumbuhan itu diwarnai masalah. Tingkat bunga tinggi, penagihan dengan kekerasan, dan maraknya pinjaman daring ilegal.
Pinjaman daring atau fintech peer-to-peer lending menjadi fenomena menarik pada layanan sektor jasa keuangan sejak diluncurkan pada 2016. Pengajuan pinjaman yang mudah dan cepat tak ayal membuat penyaluran pinjaman ini tumbuh pesat.
Pesatnya pertumbuhan tecermin dari kinerja pertumbuhan fintech lending. Sampai September 2023, dari 102 platform yang berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding pendanaan yang disalurkan tumbuh 14,28 persen secara tahunan dengan nominal pendanaan mencapai Rp 55,7 triliun. Bahkan, secara akumulasi total pendanaan per Agustus 2023 telah mencapai Rp 677,51 triliun.
Dari sisi pengguna, akumulasi jumlah rekening pengguna, baik pemberi pinjaman (lender) maupun penerima pinjaman (borrower), telah mencapai 120,88 juta rekening. Lebih detail, akumulasi rekening penerima pinjaman mencapai 119,80 juta rekening, sedangkan rekening pemberi pinjaman 1,08 juta rekening.
Dari sekian ratus juta rekening itu, saat ini ada 19,13 juta rekening penerima pinjaman dan 180.810 rekening pemberi pinjaman yang aktif.
Pertumbuhan pinjaman daring juga diikuti dengan kualitas risiko pembiayaan yang terjaga. Ini tampak dari tingkat wanprestasi (TWP90) 2,82 persen. TWP90 adalah pembiayaan yang tidak dibayar lebih dari 90 hari sejak tanggal jatuh tempo oleh debitur. Dengan kata lain, industri fintech lending ini berpotensi besar terus tumbuh.
Tantangan Industri saat ini pesatnya pertumbuhan industri fintech lending dibayangi sejumlah tantangan pada industri ini.
Dengan kata lain, industri fintech lending ini berpotensi besar terus tumbuh.
Pertama, layanan pendanaan ini masih didominasi oleh pinjaman konsumtif. Penyaluran pendanaan fintech lending ke sektor produktif, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) baru 36,57 persen. Masih terbatas jika dibandingkan dengan potensi kebutuhan pendanaan UMKM nasional.
Beberapa studi menunjukkan bahwa kebutuhan pendanaan UMKM di Indonesia baru dapat dipenuhi sekitar 50 persen oleh sektor jasa keuangan. Fintech lending pun diharapkan dapat meningkatkan perannya untuk mendukung UMKM.
Terlebih mengingat industri ini hadir terutama untuk melayani konsumen yang sebagian besar belum memiliki akses keuangan kepada lembaga jasa keuangan formal (unbanked dan underserved).
Kedua, tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat mengenai pinjaman daring masih sangat rendah.
Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022, tingkat literasi keuangan fintech lending baru mencapai 10,90 persen. Adapun tingkat inklusi keuangannya hanya 2,56 persen. Ini masih sangat rendah (less literate) jika dibandingkan dengan tingkat nasional yang tingkat literasi dan inklusi keuangannya masing-masing 49,68 persen dan 85,10 persen.
Tantangan ketiga adalah maraknya masyarakat yang terjebak pinjaman daring atau kerap disebut pinjol yang ilegal. Rendahnya tingkat literasi keuangan dapat berpengaruh pada kerugian yang dialami konsumen karena memilih dan menggunakan produk yang tidak tepat. Termasuk dalam hal ini ketidakmampuan membedakan mana pinjaman daring yang legal dan ilegal.
Ilustrasi
Maraknya pinjol ilegal juga terlihat dari banyaknya pinjol ilegal yang ditutup oleh Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) yang mencapai 6.055 pinjol ilegal sejak 2017 hingga 31 Oktober 2023.
Keempat, industri fintech lending juga masih harus mengatasi sejumlah isu. Di antaranya kebutuhan permodalan, tata kelola dan manajemen risiko, keandalan sistem teknologi informasi, serta credit scoring industri.
Selain itu, ada pula tantangan terkait integrasi data, perluasan dan pendalaman pasar, pengembangan elemen ekosistem, kualitas layanan, perlindungan konsumen dan edukasi publik, keamanan siber, implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, sumber pendanaan, serta pengawasan industri pinjaman daring.
Data OJK juga menunjukkan pengaduan fintech lending yang meningkat setiap tahun. Mulai dari 25 pengaduan pada 2020, kemudian naik menjadi 1.726 pengaduan pada 2021, hingga menjadi 2.797 pengaduan pada tahun 2022.
Sebagian besar pengaduan konsumen dan masyarakat itu mengenai perilaku petugas penagihan. Pengaduan soal itu mencapai 35,29 persen dari total pengaduan yang diterima.
OJK selaku regulator sektor jasa keuangan dituntut mampu membenahi berbagai isu dan tantangan tersebut secara komprehensif dan terukur.
Hal ini telah dirumuskan dalam Roadmap Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) tahun 2023-2028 yang baru diluncurkan pada November ini.
Sebagian besar pengaduan konsumen dan masyarakat itu mengenai perilaku petugas penagihan.
Tingkat bunga dan denda pinjaman
Salah satu upaya penting yang dilakukan OJK adalah mengatur batas maksimum bunga dan denda keterlambatan pinjaman. Hal ini diatur dalam Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.05/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Berbasis Teknologi Informasi. Penerbitan SEOJK menjadi wujud dari implementasi Roadmap LPBBTI.
Hal ini juga menjadi tindak lanjut amanat dari POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Berbasis Teknologi Informasi yang mengatur, antara lain, mengenai kegiatan usaha, mekanisme penyaluran dan pelunasan pendanaan, batas maksimum manfaat ekonomi, serta penagihan.
Manfaat ekonomi ini dimaksudkan sebagai tingkat imbal hasil, termasuk bunga/margin/bagi hasil, biaya administrasi/biaya komisi/fee platform/ujrah yang setara, serta biaya lain, selain denda keterlambatan, bea meterai, dan pajak.
Batas maksimum manfaat ekonomi dan denda ini penting untuk melindungi konsumen dari bunga dan denda yang mencekik serta mencegah fintech lending menjadi rentenir digital.
OJK juga membedakan batas maksimum manfaat ekonomi dan denda untuk pinjaman produktif dan konsumtif. Pinjaman produktif memiliki batas maksimum manfaat ekonomi dan denda yang lebih rendah sehingga diharapkan dapat lebih memacu pendanaan ke sektor produktif yang lebih bermanfaat.
Ilustrasi
OJK memberlakukan batas maksimum manfaat ekonomi dan denda keterlambatan ini secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun (2024-2026). Ini dimaksudkan untuk memberi waktu bagi penyelenggara fintech lending mempersiapkan bisnisnya. Hal yang harus dipersiapkan seperti berikut.
Pertama, batas maksimum manfaat ekonomi 0,067 persen dan 0,1 persen per hari dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian pendanaan masing-masing untuk sektor produktif dan sektor konsumtif.
Kedua, denda keterlambatan 0,067 persen dan 0,1 persen per hari dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian pendanaan masing-masing untuk sektor produktif dan sektor konsumtif.
OJK juga membatasi seluruh manfaat ekonomi dan denda keterlambatan tidak dapat melebihi 100 persen dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian.
Batas pinjaman dan etika penagihan
Untuk mencegah fintech lending menjadi sarana ”gali lubang, tutup lubang” dan menumbuhkan pendanaan yang sehat, OJK juga mengatur batasan pemberian pinjaman per orang maksimal hanya ke tiga penyelenggara fintech lending.
Penyelenggara fintech lending pun harus memperhatikan kelayakan dan kemampuan membayar kembali si peminjam.
OJK juga mengatur batasan pendanaan konsumtif, yaitu maksimal 50 persen, 40 persen, dan 30 persen dari penghasilan untuk pinjaman pada tahun pertama, kedua, dan ketiga.
Hal ini penting untuk mewujudkan pendanaan yang sehat dan bermanfaat, baik bagi industri fintech lending maupun masyarakat yang menggunakan. Dengan demikian, tidak akan ada lagi masyarakat yang terjerat utang di banyak aplikasi pinjaman.
Di sisi lain, OJK juga menaruh perhatian terhadap cara penagihan utang. Dalam aturan SE ini, kembali ditekankan bahwa dalam penagihan, baik secara langsung oleh penyelenggara fintech lending maupun menggunakan pihak lain, penyelenggara fintech lending harus memastikan penagihan itu mematuhi etika penagihan.
Tidak dibenarkan adanya ancaman, kekerasan, intimidasi, atau tindakan merendahkan SARA.
Tidak dibenarkan adanya ancaman, kekerasan, intimidasi, atau tindakan merendahkan SARA. Penagihan juga hanya dilakukan pada jam tertentu.
Penyelenggara fintech lending pun tidak dapat menutup mata dan wajib bertanggung jawab atas segala dampak yang ditimbulkan dari kerja sama penagihan dengan pihak lain.
Berbagai kebijakan OJK ini tentunya menjadi angin segar dan fondasi yang kuat untuk mewujudkan industri fintech lending yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat. Khususnya dalam mendorong sektor produktif, seperti UMKM, dan menumbuhkan ekonomi bangsa.
Baca juga : Lindungi Masyarakat, OJK Turunkan Bunga Pinjaman Daring
Lydia NurjanahAnalis Senior Grup Komunikasi Publik Otoritas Jasa Keuangan