Momentum Perdamaian Israel-Palestina
Disadari atau tidak, genosida Israel atas warga Gaza yang didukung AS dan Uni Eropa justru semakin merugikan Israel.
Sejak meletus perang antara Hamas dan Israel pada 7 Oktober 2023, tidak ada tanda-tanda Israel yang jauh lebih unggul ketimbang lawannya akan memenangi perang tersebut.
Sebaliknya, akibat serangan brutal Israel terhadap infrastruktur vital dan rakyat Palestina di Jalur Gaza, muncul kecaman luas komunitas internasional terhadap Israel yang tidak lagi mengindahkan aturan perang, seperti melindungi rakyat sipil dan fasilitas publik.
Hamas justru mendapat simpati luas. Di dunia Islam, untuk pertama kalinya komunitas Sunni dan Syiah bersatu melawan musuh bersama.
Mengherankan, Amerika Serikat (AS) dan sekutu Barat yang biasanya cerewet terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) justru mendukung angkara murka Israel, yang kini telah menewaskan lebih dari 11.000 rakyat Gaza.
Tentu saja mereka memberi kesempatan Israel mencapai target perangnya di Gaza sebelum gencatan senjata diberlakukan. Target itu adalah membasmi Hamas hingga ke akar-akarnya, membuat Gaza sebagai enklave yang tidak layak huni, dan membebaskan sekitar 240 warga Yahudi yang disandera Hamas.
Perang kelima Hamas-Israel sejak 2008 ini berakar dari penjajahan Israel terhadap Palestina sejak Israel memproklamasikan kemerdekaan pada 1948.
Akar perang
Perang kelima Hamas-Israel sejak 2008 ini berakar dari penjajahan Israel terhadap Palestina sejak Israel memproklamasikan kemerdekaan pada 1948.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) telah mengeluarkan sejumlah resolusi, antara lain Resolusi 242, 338, dan 181, yang menyerukan Israel mundur dari Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur hingga ke perbatasan, tahun 1967.
Kendati Israel mengabaikannya, tidak ada sanksi dari DK PBB karena tiga dari lima anggota tetapnya (AS, Inggris, dan Perancis) melindunginya.
Dukungan tanpa batas tiga negara inilah yang membuat Israel leluasa memperlakukan rakyat Palestina di Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Gaza.
Israel makin percaya diri dalam menindas Palestina setelah ia memenangi empat perang besar melawan negara-negara Arab (1948, 1956, 1967, dan 1973). Malah, pada 1979, Mesir sebagai tulang punggung militer Arab berdamai dengan Israel.
Lalu, pada 1982, memanfaatkan perdamaiannya dengan Mesir, Israel menginvasi Lebanon untuk mengusir Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat dari sana. Melihat perjuangan bersenjata tak lagi realistis, pada 1988 di Aljazair, PLO memproklamasikan kemerdekaan Palestina dengan teritori yang sesuai dengan resolusi-resolusi DK PBB di atas. Artinya, untuk pertama kalinya PLO mengakui eksistensi Israel.
Ilustrasi
Memelihara ”macan”
Di Gaza, Ikhwanul Muslimin pimpinan Sheikh Ahmad Yassin melakukan layanan sosial untuk memperbaiki kualitas hidup warga di sana. Mereka membangun sekolah, fasilitas kesehatan, dan stasiun radio. Israel senang melihat fenomena ini karena berharap rakyat Palestina di daerah pendudukan terputus dari PLO yang berjuang dari mancanegara.
Israel baru menyadari bahwa sesungguhnya ia sedang memelihara macan di Gaza setelah pada 1987 meletus intifada: perlawanan anak-anak bersenjatakan batu melawan tentara Israel. Saat itulah nama Hamas dikenal dunia.
Pada 1990, Irak di bawah Presiden Saddam Hussein menginvasi Kuwait. Saddam menyamakan pendudukan Irak atas Kuwait dengan pendudukan Israel atas Palestina sehingga ia hanya bersedia mundur dari Kuwait jika Israel juga mundur dari wilayah pendudukan.
Karena mayoritas rakyat Palestina mendukung posisi Saddam, Arafat mengikuti aspirasi rakyatnya. Sayangnya, perang Irak melawan tentara multinasional pimpinan AS berujung pada terusirnya Irak dari Kuwait (1991). Pada tahun yang sama, Uni Soviet, pelindung PLO, runtuh. Alhasil PLO benar-benar terpuruk, ditinggal negara-negara Arab.
Perundingan damai
Pemerintahan Partai Buruh Israel di bawah Perdana Menteri Yitzhak Rabin—yang kewalahan menghadapi intifada di Gaza—melihat melemahnya posisi PLO di dunia sebagai kesempatan emas Israel untuk menawarkan perdamaian.
Arafat menerima tawaran itu. Perundingan rahasia antara PLO dan Israel digelar di Oslo, Norwegia. Perunding utama dari pihak PLO adalah Mahmoud Abbas, yang sejak 2004 dipilih jadi Presiden Otoritas Palestina setelah Arafat meninggal.
Perundingan di Oslo yang berakhir pada 1993 menghasilkan Kesepakatan Oslo. Kesepakatan—yang berpijak pada prinsip pertukaran tanah dengan perdamaian berdasarkan resolusi-resolusi DK PBB—memproyeksikan Palestina akan memiliki negara merdeka dalam lima tahun ke depan dengan wilayah Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Gaza, yang batas- batasnya akan ditentukan dalam perundingan.
Kegagalan perundingan Arafat-Barack mengakibatkan munculnya intifada jilid II di seluruh Palestina.
Partai garis keras Likud pimpinan Benjamin Netanyahu menentang kesepakatan ini. Demikian juga Hamas. Pada 1995, Rabin dibunuh seorang Yahudi fanatik. Sementara itu, Hamas melakukan serangan bom bunuh diri terhadap warga sipil Yahudi di Israel. Alhasil, Kesepakatan Oslo tidak lagi mengalami kemajuan berarti meskipun Partai Buruh sempat berkuasa melalui PM Shimon Peres dan PM Ehud Barack.
Setelah dua tokoh ini berkuasa secara singkat, periode selanjutnya Israel dipimpin PM Benjamin Netanyahu dan Ariel Sharon yang sejak awal menentang kemerdekaan Palestina. Sebenarnya, tahun 2000 terjadi perundingan berhari- hari antara Arafat dan Ehud Barack di Camp David, Amerika Serikat.
Arafat tidak bisa menerima proposal Barack karena ”negara” Palestina yang ditawarkan adalah Palestina yang tidak boleh memiliki angkatan bersenjata, perbatasannya dijaga tentara Israel, dan hanya sebagian Tepi Barat yang akan diserahkan kepada Palestina tanpa Jerusalem Timur.
Pengungsi Palestina yang tersebar di Gaza, Tepi Barat, Jordania, Suriah, dan Lebanon—yang kini jumlahnya sekitar 5,9 juta jiwa—tidak diizinkan kembali ke kampung halaman mereka di Israel.
Kegagalan perundingan Arafat-Barack mengakibatkan munculnya intifada jilid II di seluruh Palestina. Dikecam dunia internasional atas penindasan warga Gaza, pada 2005 Israel mengosongkan Gaza.
-
Bangkitnya Hamas
Agar memiliki legitimasi pascakematian Arafat, pada 2006 Palestina menyelenggarakan pemilu. Di luar dugaan, Hamas keluar sebagai pemenang. Kemenangan ini tak diakui Abbas, Israel, dan AS.
Pasalnya, Hamas bukan bagian dari PLO dan menentang eksistensi Israel. Berbeda dengan PLO—yang didominasi faksi Fattah pimpinan Abbas— yang berideologi nasionalis sekuler, Hamas mengaitkan perjuangannya dengan Islam. Israel dipandang sebagai kekuatan kolonialis Barat yang ditusukkan ke jantung Timur Tengah untuk menghambat perkembangan Islam.
Penolakan kemenangan Hamas menyebabkan perang singkat antara Fattah yang berkuasa di Tepi Barat dan Hamas di Gaza. Menyusul terusirnya Fattah dari Gaza, pada 2007 Israel menerapkan blokade menyeluruh atas Gaza. Akibatnya, pecah perang Hamas-Israel yang pertama (2008).
Kendati Israel, AS, dan Uni Eropa menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris, popularitasnya terus meningkat. Kebrutalan Israel yang membabi buta dalam menjatuhkan hukuman kolektif atas seluruh warga Gaza tanpa kecuali dalam empat perang berikutnya (2012, 2014, 2021, dan 2023) justru membuat Hamas kian populer.
Meningkatnya popularitas Hamas juga disumbang variabel berikut. Pertama, Israel tidak lagi berminat melanjutkan proses perdamaian. Dalam pidato di Majelis Umum PBB, September lalu, Netanyahu menunjukkan peta Israel tanpa Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Gaza. Artinya, ia hendak menyatakan kepada komunitas internasional bahwa negara Palestina tak akan pernah ada.
Israel dipandang sebagai kekuatan kolonialis Barat yang ditusukkan ke jantung Timur Tengah untuk menghambat perkembangan Islam.
Kedua, Israel terus membangun permukiman ilegal di daerah pendudukan yang menyita sebagian besar wilayah Palestina, yang diniatkan dalam waktu relatif dekat gagasan mengenai negara Palestina tak lagi realistis untuk diwujudkan.
Ketiga, karena Abbas terikat dengan Kesepakatan Oslo di mana ia bertanggung jawab untuk mengendalikan rakyat Palestina yang marah dan frustrasi menghadapi masa depan yang tidak jelas, maka warga Palestina melihat Abbas tidak lebih dari antek Israel.
Keempat, aparat Israel memfasilitasi kunjungan-kunjungan provokatif kelompok Yahudi fanatik ke kompleks Masjid Al- Aqsa. Palestina melihat ini sebagai upaya Israel untuk mengambil alih kompleks Masjid Al-Aqsa yang di atasnya akan dibangun kuil Yahudi yang pernah ada di situ.
Kelima, AS dan Uni Eropa bersikap lunak menghadapi pembangunan permukiman Yahudi dan represi Israel atas warga Palestina. Dalam konteks inilah perang yang dilancarkan Hamas untuk meminta perhatian internasional atas nasib buruk Palestina menemukan relevansinya.
Prospek perdamaian
Disadari atau tidak, genosida Israel atas warga Gaza yang didukung AS dan Uni Eropa justru semakin merugikan Israel. Padahal, Israel tidak akan memenangi perang ini. Pengeboman kejam secara tidak proporsional justru semakin melemahkan posisi Israel. Selain itu, hubungannya dengan negara Arab yang membaik belakangan ini akan rusak.
Pengaruh AS di kawasan Timur Tengah juga akan kian merosot. Sebaliknya, pijakan China dan Rusia di kawasan strategis tersebut justru kian kokoh. Posisi Iran pun menguat.
Pengeboman kejam secara tidak proporsional justru semakin melemahkan posisi Israel.
Maka, tidak masuk akal perang ini dibiarkan berkepanjangan. Toh, tujuan perang Israel nyaris mustahil akan dicapai. Netanyahu telah kehilangan common sense dan moral standing dalam hal ini.
Ia takut tanpa kehancuran menyeluruh Gaza, Israel akan tampak sebagai pihak yang kalah perang. Toh, sekitar 1.400 warga Yahudi tewas, puluhan ribu warga Israel hidup di tenda-tenda di tempat pengungsian dan ekonomi Israel terpukul hebat.
Dan juga tidak masuk akal kalau nanti perang hanya diakhiri dengan gencatan senjata seperti yang sudah-sudah. Perang ini harus berujung pada penyelesaian isu Palestina, yang momentumnya telah tercipta saat ini. Proses perdamaian harus dihidupkan kembali.
Tak ada pilihan lain bagi Israel kecuali mengajak Abbas berunding kembali secara serius yang berujung pada berdirinya negara Palestina yang demokratis dan berdaulat.
Perjuangan Hamas dengan sendirinya akan kehilangan relevansinya. Kalau tidak, sampai kapan pun Israel tidak akan bisa tidur nyenyak dan klaimnya sebagai satu-satunya negara demokratis yang beradab di Timur Tengah hanya menjadi tertawaan dunia.
Baca juga : Jokowi Siap Sampaikan Pesan Kuat Soal Gaza dari Sepertiga Negara di Dunia ke Biden
Smith Alhadar Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)