Menilik Visi Kelautan Calon Presiden 2024
Setelah lima tahun berlalu, konsep Poros Maritim Dunia terus mengawang-awang, tak kunjung jelas wujud konseptualnya.
Indonesia sering disebut sebagai negara kepulauan, negeri maritim, dan bangsa bahari. Cukup banyak penyebutan yang mengisyaratkan identitas geografis dan kebangsaan Indonesia. Bagaimana hal itu digariskan dalam visi para calon presiden?
Dalam setahun, setidaknya dua kali kita memperingati identitas bahari. Pertama, Hari Kelautan Nasional setiap 2 Juli. Hari itu pertama kali diperingati pada 1972 di era kepemimpinan Soeharto. Tujuannya, menumbuhkan kesadaran melestarikan laut di Indonesia sebagai negara kelautan.
Kedua, 23 September diperingati sebagai Hari Maritim Nasional. Penetapan tanggal ini merujuk pada SK Nomor 249 Tahun 1964 yang diterbitkan Presiden Soekarno dengan berpatokan pada Musyawarah Nasional Maritim Pertama, 23 September 1963.
Dua kali peringatan setiap tahun ini sebenarnya merupakan momentum strategis bagi Indonesia untuk memantapkan identitas alamiahnya sebagai bangsa maritim. Sayangnya, momen berharga ini setiap tahun kerap tenggelam dalam keriuhan suasana dan hiruk-pikuk politik nasional.
Bahkan, dalam narasi politik nasional menjelang Pemilu dan Pemilihan Presiden 2024, konsep Indonesia sebagai negara maritim relatif jarang dibahas, apalagi menjadi arus utama. Tidak ada satu calon presiden pun yang berbicara mendalam soal diskursus ini. Identitas laut Indonesia lagi-lagi hanya menjadi gincu politik yang indah diucapkan, tetapi tak jelas makna dan kedalamannya.
Identitas laut Indonesia lagi-lagi hanya menjadi gincu politik yang indah diucapkan, tetapi tak jelas makna dan kedalamannya.
Poros Maritim Dunia
Sebenarnya kita cukup optimistis ketika hampir 10 tahun lalu, Presiden Joko Widodo datang dengan konsep Poros Maritim Dunia. Sayangnya, setelah lima tahun berlalu, konsep itu terkesan terus mengawang- awang, tak kunjung jelas wujud konseptualnya. Pada periode pertama, pemerintahan Jokowi disibukkan pembenahan sirkulasi daratan dengan membangun infrastruktur jalan dan jembatan.
Beberapa terobosan memang dilakukan pemerintah di bidang maritim, antara lain membangun tol laut dan menerapkan sistem bahan bakar minyak (BBM) satu harga.
Bahkan, dibuat nomenklatur baru dalam kabinet, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Tugasnya melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang kemaritiman dan investasi.
Akan tetapi, orientasi rencana pembangunan kawasan maritim tidak tergambar secara signifikan dibandingkan dengan pembangunan di daratan. Konsep Poros Matirim Dunia pun tidak lagi nyaring terdengar dalam narasi kampanye Pilpres 2019.
Ditambah lagi, memasuki periode kedua pemerintahan Jokowi, fokus pembangunan diinterupsi oleh datangnya pandemi Covid-19 dan instabilitas politik dan keamanan global.
Di tengah situasi yang tidak menentu tersebut, fungsi Kemenko Marves terkesan lebih banyak menangani setumpuk tugas khusus bersifat tambahan yang diemban menterinya.
Perlu diakui, tantangan yang dihadapi pemerintah pada periode kedua kepemimpinan Jokowi tidak mudah. Pemerintah juga berhasil melalui masa-masa berat tersebut. Namun, perlu juga diakui bahwa agenda besar Poros Matim Dunia untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur belum terwujud.
Semula direncanakan, untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Presiden Jokowi mencanangkan lima pilar utama. Pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia.
Kedua, komitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut. Hal ini dilakukan melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.
Ketiga, komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.
Keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan.
Kelima, membangun kekuatan pertahanan maritim.
Namun, perlu juga diakui bahwa agenda besar Poros Matim Dunia untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur belum terwujud.
Dari kelima pilar di atas, sejumlah detail program memang berjalan dan mengalami akselerasi. Namun, hal itu belum memadai. Untuk menjadi negara maritim, Indonesia harus memerlukan revolusi paradigma yang fundamental, dengan mengubah orientasi dari daratan ke kawasan maritim. Hal itu seyogianya tecermin di dalam sistem pembentukan hukum nasional.
Kenyataannya, undang-undang tentang landas kontinen, yang menjadi fondasi untuk menentukan batas wilayah kedaulatan negara, sejak tahun 1973, baru disahkan pada tahun ini (2023). Kalah cepat dengan pengesahan UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU lainnya.
Lebih jauh, kita juga belum memiliki undang-undang keamanan laut. Alih-alih, dasar hukum kelautan kita malah tumpang tindih. Bahkan, sampai saat ini, kementerian dan lembaga negara seolah masih bingung tentang siapa yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab dan wewenang untuk mengamankan wilayah lautan.
Takdir negeri lautan
Untuk menyegarkan ingatan, dua pertiga kawasan negara ini adalah lautan. Lautan kita berbatasan langsung dengan sekitar 10 negara tetangga dan entitas internasional lainnya. Posisinya terletak di pusat lalu lintas perdagangan dan komunikasi yang paling ramai.
Artinya, kawasan laut Indonesia berbeda dengan kawasan laut negara-negara kepulauan lain di dunia. Wilayah laut Indonesia menjadi jalur lalu lintas yang wajib terbuka setiap saat bagi kepentingan pelayaran dunia, dan ini diatur oleh konvensi internasional.
Ilustrasi
Melalui jalur pelayaran inilah, lebih dari 60 persen energi mengalir ke China setiap tahun, melahirkan apa yang dunia saksikan sekarang sebagai ”The Rising China”. Melalui jalur ini juga pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur, Asia Pasifik, dan Samudra Hindia bergerak secara eksponensial dan menopang lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi global.
Pertanyaannya, apa yang didapat Indonesia dari posisi kelautan yang strategis itu?
Tak perlu diingkari bahwa lebih dari 78 tahun merdeka, kekondusifan dan keamanan kawasan laut Indonesia lebih ditopang dan dijaga oleh hukum internasional dan entitas dunia daripada kekuatan sendiri. Alasannya, karena kawasan perairan kita memang dibutuhkan oleh semua bangsa dan kekondusifan serta keamanannya bernilai strategis bagi dunia.
Sayangnya, kita seakan terbuai, dan hanya ikut menikmati masa-masa kondusif dan aman itu, tetapi tidak memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk membangun fondasi peradaban maritim. Jangankan untuk membentuk Undang-Undang Keamanan Laut, kekuatan angkatan laut kita juga masih dinilai tidak memadai.
Padahal, masa-masa kondusif itu tampaknya sudah harus kita negasikan dari cakrawala politik kebangsaan kita. Sebab, saat ini dinamika keamanan global sudah beriak di halaman rumah kita sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan ini tidak pernah sepi dari dinamika politik
dan keamanan yang bahkan melibatkan kekuatan adidaya dunia, seperti China dan Amerika Serikat. Kedua kekuatan adidaya ini bahkan sempat memanaskan tensi politik di kawasan Laut China Selatan (LCS) yang merupakan jantung peradaban kawasan Asia Tenggara.
Di tengah situasi itu, tidak ada yang bisa mengukur secara pasti puncak dari dinamika yang terus terlangsung di kawasan Indo-Pasifik, khususnya Asia Tenggara, dalam beberapa bulan atau tahun ke depan.
Jangankan untuk membentuk Undang-Undang Keamanan Laut, kekuatan angkatan laut kita juga masih dinilai tidak memadai.
Narasi visi
Dalam kerangka itu, patut dicermati narasi kelautan dalam visi setiap capres yang bersaing di Pemilihan Presiden 2024. Dari ketiga capres, hanya pasangan Ganjar Pranowo- Mahfud MD yang secara terang menyebut slogan ”Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari”.
Namun, setelah ditinjau ke dalam, konsep negara maritim justru tidak tecermin di dalam visi, misi, dan fondasi pasangan ini. Bahkan, pada bagian pendahuluan, yang merupakan dasar pemikiran lahirnya visi misi ini, tidak tersebut satu pun konsep negara maritim.
Konsep kemaritiman pasangan Ganjar-Mahfud baru terlihat dalam misi ke-6, yang bertajuk ”Mempercepat Perwujudan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan Melalui Ekonomi Hijau dan Biru”.
Jika kita cermati, hal itu sebenarnya tidak banyak berbeda dengan program Asta Cita 2 pasangan Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka, atau Agenda Misi 2, poin ke-12, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Dengan kata lain, pada visi ketiga capres yang berkontestasi pada Pilpres 2024, tak satu pun yang membawa harapan terwujudnya jati diri Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia. Padahal, paradigma kemaritiman inilah jati diri bangsa Indonesia.
Dalam kerangka itu, mewujudkan visi negara maritim memiliki urgensi tersendiri. Selain karena ini memang jati diri bangsa Indonesia, kita juga sudah tidak bisa mengandalkan keamanan laut kita pada negara-negara adidaya yang memanfaatkan jalur lintas itu.
Kita tidak bisa berharap negara-negara adidaya yang bersaing di kawasan ini akan tetap memegang komitmen dalam konvensi internasional. Kita sudah melihat bagaimana China mengabaikan hasil putusan Mahkamah Arbitrase di Den Haag yang menyatakan klaim China di Laut China Selatan tak memiliki landasan hukum.
Contoh lain, Amerika Serikat pada masa pemerintahan Donald Trump yang mudahnya keluar dari Perjanjian Paris di tengah ancaman bencana iklim global. Kita juga saksikan betapa sistem internasional tidak mampu menghentikan konflik Israel-Palestina yang terus memakan korban jiwa.
Kini, sudah saatnya kita berdiri di atas kaki sendiri dalam mengamankan dan menjaga kedaulatan maritim kita.
Baca juga : Ekonomi Biru Perlu Jadi Rujukan Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Wim Tohari Daniealdi Dosen Hubungan Internasional FISIP Unikom Bandung