Konsumen mulai beralih dari pemesanan barang secara daring dan pengiriman barang ke cara belanja klik dan ambil. Pembeli memesan secara daring dan menjadwalkan waktu untuk mengambil bahan makanan mereka di toko.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Segala inovasi telah dihadirkan dalam melayani orang untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari (grocery). Orang cukup di rumah dan tak lama kemudian bisa menerima barang setelah memesan melalui aplikasi. Teknologi robot, teknologi pembayaran nontunai yang paling maju sudah diaplikasikan, kecepatan pengiriman sudah ditingkatkan, dan toko riil (offline) juga sudah dibangun.
Semua ini belum bisa menggeser secara signifikan perilaku orang berbelanja secara konvensional, yaitu berjalan kaki ke toko. Fenomena di Amerika Serikat ini menjadi peringatan bagi mereka yang bergerak di layanan belanja daring (online).
Di AS, pasar untuk produk-produk kebutuhan sehari-hari bernilai 1,5 triliun dollar AS. Sebuah pasar yang sangat besar dan sudah pasti mendorong munculnya ide-ide baru untuk meraih pangsa pasar. Namun, sejauh ini, belum ada yang menemukan layanan yang dapat mengubah kebiasaan mereka dalam berbelanja. Warga AS termasuk dalam kelompok dengan kategori konsumen dengan nilai belanja terbesar. Sebagian besar masih berbelanja secara langsung. Belanja daring kebutuhan sehari-hari hanya mampu mengambil sekitar 10 persen.
Apakah fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia? Laporan terbaru dari Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan, belanja daring Indonesia (di dalamnya termasuk belanja kebutuhan sehari-hari) yang tumbuh 20 persen dari tahun 2021 ke 2022, pada periode selanjutnya, yaitu 2022 ke 2023, diperkirakan hanya tumbuh 7 persen. Penurunan ini disebutkan sebagai akibat kondisi ekonomi yang kurang baik sehingga berdampak pada perdagangan daring tersebut. Pada tahun 2025, belanja daring diperkirakan bakal tumbuh 15 persen. Pertumbuhan juga akan meningkat pada tahun-tahun selanjutnya.
Namun, secara khusus, perilaku dalam belanja kebutuhan sehari-hari konsumen tidak bergerak. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) beberapa waktu lalu pernah menyebutkan, penjualan produk kebutuhan sehari-hari dan barang-barang produk konsumer (FMCG) lebih banyak disumbang melalui penjualan di toko. Konsumen lebih memilih mengecek langsung kondisi barang yang dibeli. Saat pandemi, masyarakat tetap berbelanja ke toko. Mereka perlu mengecek kapan kedaluwarsa, tingkat kesegaran, dan kondisi fisiknya.
Analis Elaine Moore di dalam Financial Times menyebut, berbelanja kebutuhan sehari-hari adalah salah satu aktivitas yang terbukti sangat resisten terhadap revolusi teknologi. Miliaran dollar AS modal ventura telah disalurkan ke perusahaan rintisan (start up) yang membangun robot gudang dan platform pengiriman daring, tetapi sebagian besar pembeli masih ingin mengambil keranjang dan berjalan-jalan di toko atau di mal sendiri.
Ia menggambarkan fenomena itu sekalipun teknologi telah diadopsi secara masif. Dari jendela kantor Financial Times di San Francisco, ia dapat melihat salah satu toko serba ada tanpa pembayaran uang tunai pertama yang dimiliki Amazon. Pengguna dengan akun Amazon dapat masuk, mengambil sandwich, dan keluar lagi. Kamera dan sensor toko dapat melacak dan menagih pengeluaran ke akun mereka. Namun, setelah minat awal memudar, toko tersebut menjadi jarang sibuk. Tahun ini ditutup.
Kasus Instacart
Platform lain, yaitu Instacart, berupaya melakukan inovasi. Instacart mencari cara untuk memasuki kehidupan pembeli yang lebih memilih membeli bahan makanan secara langsung. Dua tahun lalu mereka membeli Caper, yang memungkinkan pengguna memindai dan membawa pulang barang dari toko tanpa harus melakukan pembayaran saat itu. Namun, inovasi ini tidak juga menggerakkan orang untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di platform ini.
Warga AS termasuk kelompok kategori konsumen dengan nilai belanja terbesar. Sebagian besar masih berbelanja secara langsung. Belanja daring kebutuhan sehari-hari hanya mampu mengambil sekitar 10 persen.
Laporan perdagangan saham Instacart beberapa saat setelah melantai di bursa pada bulan September yang lalu memberi peringatan tentang bisnis pemesanan barang kebutuhan sehari-hari. Saham Instacart yang mulai ditawarkan dengan harga 30 dollar AS pada hari pertama jatuh pada di hari kedua perdagangan. Saham itu melonjak 43 persen dalam debut perdagangannya pada hari pertama atau naik 42 dollar AS per saham, tetapi pada hari berikutnya ketika saham ditutup pada 30,10 dollar AS atau hanya 10 sen dollar AS di atas harga awal penawaran. Bahkan, sekarang harga sahamnya hanya 25 dollar AS. Valuasi Instacart yang sejak beberapa waktu lalu sekitar 39 miliar dollar AS kini hanya menjadi 8 miliar dollar AS.
Laman Yahoo Finance menyebutkan, penurunan ini sebagian disebabkan oleh aksi jual yang lebih luas di pasar ekuitas menjelang pidato Jerome Powell di The Fed dan ketika para analis mulai memberikan penilaian mereka terhadap saham tersebut. Phil Lempert, analis dan editor SupermarketGuru, mengatakan kepada Bloomberg bahwa konsumen lebih banyak memilih untuk berbelanja secara langsung.
”Akhirnya masyarakat dapat melihat di balik masalah terkait Instacart bahwa situasi saat ini bukanlah situasi yang tidak berubah. Dari sudut pandang konsumen, kami telah melihat peralihan dari (pembelian secara daring) dan pengiriman barang oleh jasa pengiriman ke cara berbelanja klik dan ambil, di mana pembeli memesan secara daring dan menjadwalkan waktu untuk mengambil bahan makanan mereka di toko,” kata Lempert kepada media tersebut.
Sejumlah analisis menyebutkan beberapa cara untuk meningkatkan belanja kebutuhan sehari-hari konsumen secara daring. Mereka masih menggantungkan cara-cara itu berdasarkan pengembangan teknologi terbaru, seperti penggunaan teknologi realitas berimbuh (augmented reality) atau realitas virtual (virtual reality) untuk memberi pengalaman kepada konsumen. Mereka juga menyarankan pengembangkan kanal pemasaran. Penggunaan pesawat nirawak untuk pengiriman barang.
Namun, sejauh ini belum mengangkat nilai perdagangan daring secara khusus belanja kebutuhan sehari-hari. Perilaku orang yang tetap berbelanja langsung ke toko perlu dicermati mendalam. Mengapa mereka memilih langkah itu dibandingkan memesan daring? Cara berbelanja klik di aplikasi dan ambil di toko mungkin menjadi solusi bisnis perdagangan daring yang terlihat mulai mentok.