Menonton Drama Politik
Inilah era politik pertunjukan. Pada era ini, para aktor politik dituntut memainkan peran yang memukau semua kalangan.
Presiden Joko Widodo menilai, terlalu banyak ”sinetron” dan ”drakor” dipertontonkan ketimbang adu gagasan dan ide jelang Pemilihan Presiden 2024.
Hal itu disampaikan Jokowi dalam sambutan puncak perayaan HUT Ke-59 Partai Golkar pada Senin (6/11/2023). Sejumlah politisi dan partai politik dinilai banyak menyuguhkan pertarungan perasaan yang bisa bikin rakyat jadi baper dan melodramatik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Inilah era politik pertunjukan. Pada era ini, para aktor politik dituntut berakting menawan. Sang politisi harus memainkan peran yang memukau semua kalangan. Panggung politik layaknya pertunjukan drama atau sinetron.
Permainan politik pertunjukan ini semakin menemukan wujudnya karena dukungan media massa dan media sosial (medsos). Hiruk-pikuk dan ingar bingar politik difasilitasi media dengan leluasa.
Politik pertunjukan menuntut sang aktor politik yang sedang berlaga dalam kontestasi politik untuk bersandiwara. Namanya juga sandiwara, apa yang ditampilkan sejatinya bisa rekayasa.
Ada makna tak terlihat (laten) dari apa yang sedang ditampilkan sang aktor politik. Makna laten ini tak jarang bertolak belakang dengan makna yang tampak (manifes).
Inilah era politik pertunjukan. Pada era ini, para aktor politik dituntut berakting menawan.
Bisa jadi sang politisi dalam foto-foto yang bertebaran di pinggir jalan dan beredar di beragam platform medsos itu terlihat tersenyum memesona. Tak jarang gambar-gambar dalam baliho, spanduk, dan banner kampanye adalah wajah-wajah yang santun, murah senyum, berwibawa, dan berbudi pekerti luhur. Namun, semua itu hanya tampilan semu, bukan realitas sejatinya.
Sementara aktor politik pandai bermain peran, masyarakat jadi penonton drama politik. Hanya tertawa terbahak-bahak ketika melihat peran kocak, bersedih, atau mabuk kepayang, seperti umumnya menikmati hiburan di panggung sandiwara.
Menurut Erving Goffman, dalam teori dramaturgi terdapat dua panggung, yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Setiap individu menampilkan karakter tertentu di panggung depan. Peran itu bisa jadi berlawanan dengan karakter asli dirinya, bukan citra diri sesungguhnya.
Dalam panggung asli drama, tak masalah para pemainnya menampilkan diri bukan sebagai aslinya. Tujuan utama pertunjukan drama memang menghibur penonton. Dalam mencapai tujuan itu, sah-sah saja dibuat rekayasa.
Ilustrasi
Namun, dalam kehidupan politik, tentu peran para aktor politik bukan untuk menghibur masyarakat.
Sang politisi, para pemimpin partai politik, dan sosok yang sedang ikut berkontestasi politik hendaknya menampilkan permainan politik yang jujur dan santun. Permainan politik yang lebih mengedepankan pencitraan demi tampil memukau di front stage bukanlah cara berpolitik yang baik.
Panggung politik bukan layaknya panggung sandiwara yang bisa saja mengusung tema fantasi dan rekaan (fiksi) semata. Dunia politik idealnya mengedepankan fakta yang jujur.
Politik bukan ajang pembohongan dengan menyulap citra. Kalau ternyata fakta sang politisi sosok yang buruk, maka harus diakui dengan legawa. Sang politisi bermasalah harus berkaca diri, bukan buruk muka lantas cermin yang dibelah. Sehebat apa pun keburukan itu ditutupi, kelak akan terbongkar pula.
Masyarakat melodrama
Garin Nugroho (2019) dalam buku Negara Melodrama mengartikan melodrama sebagai upaya mengelola emosi pemirsa untuk membuatnya betah berlama-lama melihat produk hiburan.
Ciri-ciri melodrama antara lain melihat tokoh serba hitam putih. Ini memunculkan kultus mengidolakan seseorang dan begitu membenci karakter yang berkebalikan dari si idola.
Melodrama memang dibangun dengan rumus hitam putih: selalu ada yang dianggap baik (protagonis) dan jahat (antagonis), tokoh miskin dan kaya, bumbu adegan berkelahi, serta tokoh berparas cantik dan tampan.
Permainan politik yang lebih mengedepankan pencitraan demi tampil memukau di front stage bukanlah cara berpolitik yang baik.
Situasi ini semakin seru dengan kehadiran medsos yang mampu memunculkan masyarakat penggemar. Inilah rumus melodrama yang menjadikan sebuah film dijamin bakal laris manis.
Rumus melodrama film itu ternyata berlaku juga di panggung politik. Siapa pun politisi yang mampu meramu bumbu melodrama dapat merebut simpati rakyat. Laku melodrama politik setidaknya bisa kita lihat dari perilaku para politisi dan respons masyarakat. Kehidupan politik beserta respons masyarakat tak ubahnya bagai hubungan penonton dengan tontonan drama.
Melodrama politik sering memalingkan perhatian dari isu-isu politik penting dan substansial. Fokus pada dramatisasi dan emosi dapat menyebabkan pemilih dan masyarakat umum terlalu terpaku pada peristiwa-peristiwa spektakuler dan melupakan masalah-masalah yang sebenarnya memerlukan perhatian.
Praktik melodrama politik dapat mendorong pemimpin politik untuk lebih memikirkan citra mereka di media daripada mengembangkan ide dan gagasan yang baik bagi masyarakat.
Tak jarang melodrama politik memicu konflik berlebihan dan polarisasi. Retorika dramatis dan emosi dalam melodrama politik bisa memperkuat pembelahan dan ketegangan di masyarakat.
Melodrama politik juga dapat menciptakan ketidakstabilan politik karena sering kali berkaitan dengan konflik dan kontroversi yang berkepanjangan.
Fenomena drama politik memunculkan pemilih yang lebih mengedepankan prinsip melodrama yang menganggap sosok pilihannya sebagai yang terbaik dan yang lain adalah yang paling buruk.
Sebaliknya, tak banyak pemilih menggunakan cara berpikir rasional dan kritis. Akibatnya, mereka hanya memilih politisi populer, bukan pemimpin yang punya visi-misi realistis prorakyat.
Untuk itu, masyarakat harus berdaya dan melek politik. Semua warga negara tak boleh acuh tak acuh pada politik (apolitik). Warga negara harus cerdas dalam menyaksikan sepak terjang para politisi yang sedang berlaga dalam era politik yang layaknya panggung drama saat ini.
Tanpa kepedulian masyarakat, dunia politik akan semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi yang ideal. Kalau sudah begini, tentu masyarakat juga yang dirugikan.
Baca juga : Pentingnya Kritik dan Godaan Demagogi
Sugeng Winarno Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang