Budaya malu belum tersemai dengan baik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita sebagai bagian dari pertanggungjawaban etika dan moral.
Oleh
BUDI SARTONO SOETIARDJO
·1 menit baca
Seorang mantan hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan, shame culture atau budaya malu di lingkungan korps sejawatnya telah hilang. Dia mengatakan hal itu setelah keluarnya putusan Majelis Kehormatan MK, Selasa (7/11/2023), yang memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK.
Budaya malu di beberapa negara Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan dengan peradaban yang relatif modern, tumbuh alami di masyarakatnya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan etika ketika gagal menunaikan suatu misi atau tugas profesional. Budaya malu sudah menjadi semacam habit masyarakat, yang menyatu dalam kehidupan pekerjaan dan profesi.
Ada tradisi harakiri di masyarakat Jepang beberapa waktu silam. Suatu tindakan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri karena merasa telah gagal menuntaskan suatu tugas atau misi. Harakiri adalah manifestasi dari shame culture yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang saat itu.
Jika di Jepang dan Korea Selatan ada tradisi mundur atau mengundurkan diri bagi seorang pejabat publik manakala merasa gagal dalam menjalankan tugas, misi, atau profesi, di Indonesia tampaknya tak ada rumus itu.
Bagaimana dengan di negeri kita? Budaya malu belum tersemai dengan baik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita sebagai bagian dari pertanggungjawaban etika dan moral. Barangkali, budaya malu bagi sebagian masyarakat dianggap toxic, racun yang harus dijauhi, dan tak boleh merasuki tubuh kita.
Jika di Jepang dan Korea Selatan ada tradisi mundur atau mengundurkan diri bagi seorang pejabat publik manakala merasa gagal dalam menjalankan tugas, misi, atau profesi, di Indonesia tampaknya tak ada rumus itu. Ribuan pejabat publik yang menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi tak satu pun yang mengidap ”penyakit” budaya malu. Mereka harus ”diundurkan” secara paksa lantaran perbuatan tercelanya. Kasus mantan Ketua MK yang diberhentikan baru-baru ini, tetapi ngotot ingin tetap menduduki jabatannya, juga menjadi potret minimnya tanggung jawab moral dan etika seorang pejabat publik.
Budaya malu, barangkali, bukan budaya bangsa kita. Sebab, sepanjang sejarah peradaban birokrasi di negeri ini, sangat jarang dijumpai pejabat-pejabat yang berjiwa kesatria, mengundurkan diri dari jabatannya ketika gagal menjalankan tugas, misi, ataupun profesinya.