Pada sebagian besar karyanya, Kundera menyampaikan problematik memori—yang paling banyak dikutip orang: perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan memori melawan lupa.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Ketika hari sangat panas, Senin, 23 Oktober 2023, sahabat saya, Bustomi, berpulang. Saya menulis obituari di blog pribadi untuk mengenang persahabatan kami—melupakan suasana politik hari itu yang tak kalah panasnya.
Mencatat apa yang terjadi sehari-hari makin rutin saya lakukan mengingat kecenderungan umum, di mana kian hari ingatan manusia kian pendek. Pada hari itu, putra penguasa tertinggi negeri didapuk jadi calon wakil presiden.
Saya mencatat bagaimana kegundahan dan kekecewaan merebak. Bukan hanya dari mereka yang selama ini menjaga independensi dengan mengambil jarak terhadap kekuasaan, melainkan juga oleh para pemuja dan penghambanya. Mereka menyatakan prihatin, kecewa, dan lain-lain ungkapan melankolis.
Sejenak ingat buku Herbeth Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, yang bisa disimpulkan secara ringkas menggambarkan pertarungan politik tahun 1950-an, di mana kekeruhan suasana demokrasi kala itu kemudian diambil alih oleh satu orang yang dianggap tepercaya, seorang solidarity maker, Soekarno. Lahirlah ”demokrasi terpimpin”, dan dari situ menurut Feith demokrasi konstitusional merosot.
Keadaannya tak jauh beda dengan saat ini. Orang percaya bahwa penyelenggaraan kekuasaan bisa berlangsung baik semata-mata karena niat baik seseorang. Sejumlah orang yang kini merasa teperdaya waktu itu berujar, kita harus memilih orang baik. Jadilah yang kita hadapi hari-hari ini: sendi-sendi kehidupan bernegara rontok.
Dalam catatan saya—mungkin bakal lebih tebal dari Nagara Kretagama—empat hari kemudian saya diundang menjadi salah satu pembicara pada Festival Kata di Bentara Budaya Jakarta. Dengan topik artificial intelligence (disingkat AI) kepada saya ditanyakan bagaimana dunia penciptaan sastra harus berhadapan dengan AI.
AI disebut bisa menjawab pertanyaan apa saja, bisa bikin puisi, prosa, dan lain-lain.
Apa ada rasa khawatir, bagaimana menghadapinya, dan apa yang harus disiapkan.
Meski saya tidak tahu persis sampai sejauh apa supremasi teknologi ini nanti, apakah Nobel Sastra akan jatuh ke AI, bukan ke manusia, saya katakan tidak ada rasa khawatir, tidak merasa berkompetisi karena bagi saya menulis (cerpen, novel, dan lain-lain) adalah krida untuk menemukan kemanusiaan yang hilang.
Biar tampak kredibel dalam forum yang dilihat orang banyak—jarang saya memperoleh kesempatan seperti itu—saya mengutip Edmund Husserl dalam suatu ceramahnya di Ceko seperti ditulis oleh Milan Kundera.
Husserl melihat krisis Eropa pada masa 1930-an, di mana sains dan teknologi mereduksi dunia menjadi semata-mata hal teknis matematis. Begitu pun manusia, keberadaannya disederhanakan oleh teknologi, hilang keutuhannya. Filsuf yang lain yang tak lain muridnya, Martin Heidegger, menyebut manusia sebagai the forgetting of being—makhluk yang terlupakan.
Menulis adalah tradisi. Saya mengikuti tradisi itu, biarlah seandainya ada yang menganggap sok-sokan memilih masuk ke gerbong yang ditumpangi penulis besar, Milan Kundera. Pada sebagian besar karyanya, Kundera menyampaikan problematik memori—yang paling banyak dikutip orang: perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan memori melawan lupa.
Dengan demikian, saya katakan AI mau berkembang seperti apa, bisa menciptakan karya sastra siap cetak secepat membikin martabak, bukanlah masalah bagi saya. Saya menulis untuk mencari diri saya sendiri, akan terus menulis, selain dengan alat bantu teknologi baru, juga dengan cara lama pena dan kertas.
Gerak motorik jari-jari dan anggota tubuh lainnya perlu dipelihara karena selain memori pada bagian neo-cortex otak, pada diri manusia juga melekat memori tubuh. Otak, tubuh, spirit atau daya: dengan mengolah ketiganya kalau beruntung orang akan menemukan kesadaran.
Masih dalam catatan harian saya, tanggal 2 November saya nonton Budi Pekerti (sutradara Wregas Bhanuteja) pada kesempatan pertama penayangan film tersebut di bioskop. Gagasan tentang implikasi media sosial terhadap kehidupan masyarakat ditampilkan sangat bagus dengan eksekusi teknis menarik oleh film ini.
Ada nilai hidup hendak disampaikan melalui tokoh utama (dimainkan dengan brilian oleh Sha Ine Febriyanti) yang berkukuh pada kejujuran di tengah hiruk pikuk media sosial, di mana kebohongan telah menjadi industri.
Sebuah pesan yang relevan bahwa yang kita lihat di media sosial sebenarnya hanyalah fiksi. Termasuk fiksi orang baik yang kini bikin muak dan geram banyak orang.
Hari-hari tampaknya bakal tambah panas meski hujan mulai turun.*