Teknologi itu menggiring banyak orang dari penyair sampai bukan penyair hilang akal ambil bagian naik gerbong kekuasaan.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Bagaimanakah orang yang diberkati umur panjang melihat jalannya kekuasaan dari waktu ke waktu? Tahun demi tahun berlalu, penguasa datang dan pergi, kemenangan dan kekalahan silih berganti, dinasti terbangun dan runtuh, benang merah yang menyambungnya cuma satu: kekecewaan.
Seorang penyair, diberkati (atau dikutuk) hidup sampai usia di atas 200 tahun, menulis kitab mengenai kota yang kemudian menjadi negeri namanya Bisnaga dari proses penjadian sampai musnah. Penyair ini, wanita bernama Pampa Kampana, adalah perantara dewa yang mendirikan negeri tersebut. Bisa dibayangkan, tentu kekecewaannya melebihi orang-orang lain—yang bahkan mungkin banyak yang tak peduli.
Oleh kekuatan dewa melalui dirinya, dari biji tumbuhan yang ditebar di tanah tercipta negeri lengkap dengan infrastruktur beserta rakyatnya—termasuk anjing yang melata di jalanan. Semua makhluk di situ dari rakyat sampai tentara dan birokrat istana yang muncul mendadak dari tanah (atau jatuh dari langit?) tak tahu apa yang harus diperbuat sebab ada satu yang belum ada: penguasa.
Maka, lagi-lagi dibantu mukjizat langit, Pampa Kampana menunjuk dua penggembala, kakak beradik bernama Hukka dan Bukka untuk jadi raja. Mengingat yang dibutuhkan cuma satu, di antara kakak-adik ini siapa lebih pantas jadi raja?
Menurut sang kakak, Hukka, soal kecerdasan bisa diperdebatkan. Yang tak bisa diperdebatkan, mestinya dirinya yang jadi raja sebab ia yang tua.
Bukka menyatakan tentulah dirinya sebab ia lebih pintar dari kakaknya. Menurut sang kakak, Hukka, soal kecerdasan bisa diperdebatkan. Yang tak bisa diperdebatkan, mestinya dirinya yang jadi raja sebab ia yang tua.
”Tapi saya lebih disukai orang. Lagi pula sebagai yang lebih muda saya lebih dinamis,” Bukka berargumen.
Sang kakak bersikukuh, dirinya tetaplah lebih tua dan lebih berhak. Si adik menyerah. ”Tidak apa,” begitu katanya. ”Aku raja kedua nanti setelah kamu tiada. Sementara ini cukup berikan kesempatan bagiku untuk yang pertama memilih kamar terbaik beserta gundiknya sekalian.”
Begitulah hal-hal mengenai penyelenggaraan kekuasaan, yang kelanjutannya ternyata tidaklah sesederhana urusan kamar tidur dan gundik. Ketika kekuasaan berjalan di situ ada para pejabat tinggi, sistem kepercayaan, kepentingan pribadi di balik omong besar kepentingan negeri, belum lagi ketika raja menikah, punya anak, menantu, ipar, dan lain-lain yang menjadikan kekuasaan tidak selugu dibayangkan banyak orang.
Intrik, persaingan, konflik timbul tenggelam, sampai suatu saat Pampa Kampana sebagai pencipta negeri menjadi pesakitan di depan raja dan dibutakan matanya sebelum kemudian dibuang.
Salman Rushdie menganggit dongeng yang di sana-sini mengingatkan pada epos Ramayana dan Mahabharata itu melalui novel terbarunya, Victory City (Penguin Randoum House, 2023). Pada akhirnya, demikian Pampa Kampana pada hari tuanya yang hanya bisa melihat dengan mata hati karena matanya telah buta, yang ada hanya kata.
”…/Saya hidup dan telah menyaksikan bangkit dan runtuhnya suatu kerajaan/Bagaimana mereka diingat kini, para raja dan para ratu?/Mereka ada sekarang hanya lewat kata-kata/...”
Persoalannya sekarang zaman kata-kata (words), kitab, buku, telah berlalu. Tak diperlukan penyair seperti Pampa yang diceritakan bahwa kejernihan tulisannya justru dicapai ketika ia tak bisa lagi melihat dunia. Penguasa sekarang tak butuh kalangan cerdik pandai—hanya butuh penggembira—untuk merepresentasikan diri yang bukan dirinya melalui teknologi masa kini.
Teknologi itu pula yang menggiring banyak orang, dari penyair sampai yang bukan penyair hilang akal ambil bagian naik gerbong kekuasaan: semacam gerbong sejarah yang lebih gampang untuk ikut naik daripada tidak.
Memang selalu ada saja yang tertinggal, seperti tokoh bernama Aureliano Buendia dalam novel terkenal One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez. Zaman pergerakan ia ikut angkat senjata, zaman normal dirinya dianggap tak lebih dari bandit.
Karena apa?
Berbeda dari temannya yang mengaku berjuang demi partai, Aureliano Buendia menyadari bahwa dia berjuang bukan karena hal-hal lain kecuali untuk ”kehormatan” (pride).
Itulah sebabnya dia tertinggal di peron. Sementara teman-teman yang lain kemudian hidup enak, dapat tanda jasa, ia dijebloskan ke penjara.
Apakah dia menyesal, kecewa, prihatin?
Penulis sekaliber Garcia Marquez tidak akan menggambarkan tokohnya sebanal itu.
Dalam percakapan dengan pejuang yang mengaku berjuang demi partai tadi Aureliano Buendia tersenyum: ”Sebenarnya lebih baik kita tidak pernah tahu berjuang untuk apa daripada seperti kamu berjuang untuk sesuatu yang tidak ada artinya.”