Kebakaran di kawasan konservasi terjadi sejak puluhan tahun lalu. Keberulangannya memprihatinkan, seperti tak terhindarkan.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
Kebakaran hutan dan lahan belum lewat. Kali ini, api menghanguskan dan meninggalkan jejaknya di kawasan konservasi yang seharusnya terlindung.
Hingga 11 September saja, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, kawasan konservasi gunung di tiga provinsi besar di Pulau Jawa terbakar. Itu di antaranya melanda area Pegunungan Arjuno (Jawa Timur), Bromo (Jatim), Penanggungan (Jatim), Sumbing (Jawa Tengah), Merbabu (Jateng), Lawu (Jateng-Jatim), Ciremai (Jawa Barat), dan Gede Pangrango (Jabar).
Data dua hari lalu, luas lahan terbakar di Gunung Arjuno saja 4.796 hektar. Sementara, 2.000 ha hutan di Gunung Lawu yang ada di wilayah Jateng dan Jatim juga hangus. Namun, bukannya berhenti total, area konservasi di Gunung Kawi menyusul terbakar. (Kompas, 9 November 2023) Karhutla di pegunungan juga terjadi di luar Jawa, salah satunya di Gunung Abang, Karangasem, Bali, seluas 1.048 ha, juga kawasan lindung lain di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.
Keprihatinan dari sejumlah lereng gunung itu menambah beban yang harus ditanggung lingkungan, masyarakat, dan pemerintah seiring karhutla yang masih melanda sejumlah lahan gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Apalagi, kasus berulang itu terbukti disebabkan ulah manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Tidak dimungkiri, faktor cuaca yang berada di luar kekuatan manusia punya andil atas kemunculan api. Namun, andil manusia sangat besar, mulai dari hal ”sepele” seperti membuang puntung rokok, lupa memadamkan api, teledor, hingga pembukaan lahan dengan membakar.
Apa pun penyebabnya, dampak kebakaran memprihatinkan. Tidak hanya soal ongkos pemulihan yang tidak murah dan pemulihan lintas generasi, tetapi juga kerusakan keanekaragaman hayati tak ternilai dan berisiko tak bisa pulih.
Tanpa karhutla itu pun, biodiversitas di wilayah itu—juga di dunia—terus berkurang, di antaranya karena praktik pembangunan rakus lahan alias tak berkelanjutan. Persoalannya, kenapa kebakaran masih terjadi dan terus terjadi. Adakah upaya mitigasi?
Bertahun-tahun kebakaran berulang, juga di kawasan konservasi. Kita memuat kebakaran Gunung Merbabu tahun 1976, juga setelahnya. Jauh sebelum teknologi prediksi akurat.
Kini, ketika teknologi sudah canggih, karhutla di kawasan konservasi tetap terjadi. Bahkan, ketika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan kewaspadaan terkait dampak kekeringan ekstrem.
Manusia, lagi-lagi manusia, di sanalah persoalannya. Memang, ada faktor kelalaian. Namun, kelalaian berulang tidak boleh dipelihara. Itu pula yang disoroti para pejuang lingkungan dan kehutanan. (Kompas.id, 8 November 2023)
Soal lubang kewaspadaan dan lemahnya pengawasan inilah yang kita soroti, tentu juga mengenai komitmen menjaga keanekaragaman hayati yang sangat berharga. Kawasan konservasi dilindungi undang-undang, begitu pula perilaku manusia yang dibatasi koridor hukum. Selayaknya kita mampu mencegah kehancuran ekologi lebih parah lagi.