Kita hendaknya bersikap skeptis terhadap banjir informasi soal Hamas, Palestina, dan Israel di media massa dan media sosial.
Oleh
EUNIKE SRI TYAS SUCI
·5 menit baca
Hari Minggu, 24 September 2023, kelompok kami melakukan ziarah rohani ke kota tua Jerusalem. Hari masih pagi dan sepi, kami melewati lorong-lorong kota tua dengan tenang. Pemandu kami, Jeries Farah, seorang Israel yang fasih berbahasa Indonesia, mengatakan bahwa kami harus cepat menyelesaikan program hari itu mengingat sore nanti sudah memasuki penanggalan baru yang merupakan hari libur terbesar Israel, Yom Kippur.
Seluruh transportasi publik akan berhenti beroperasi mulai pukul 15.00 dan selama hari raya Yom Kippur, Jerusalem akan locked down, seluruh akses masuk kota akan ditutup. Kami pun segera menyusuri jalan salib Via Delorosa dan beruntung bisa memasuki area Masjid Al-Aqsa yang mulai dijaga ketat oleh tentara Israel di gerbang masuk dan keluar.
Tentara-tentara muda yang gagah dan ramah. Saat keluar area tersebut, Jeries bahkan bercanda tentang salah seorang tentara, seorang perempuan muda berwajah elok. Katanya, ”Inilah Gal Gadot masa depan!” Perempuan muda itu hanya tersenyum-senyum tak paham bahasa Indonesia. Gal Gadot adalah artis Israel pemeran Wonder Woman.
Bagi peziarah mancanegara, Israel merupakan tempat yang menyenangkan. Saat kami di Tiberias, sebuah kejutan terjadi kala kami naik perahu di Danau Tiberias (Danau Galilea). Bendera Indonesia dikerek naik bersamaan dengan dilantunkannya lagu ”Indonesia Raya”. Buru-buru kami berdiri tegak menghadap Sang Saka yang berkibar sejajar dengan bendera Israel. Kami pun menyanyikan ”Indonesia Raya” dengan khidmat. Pada kesempatan itu, Jeries berharap semoga hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia segera terjalin menyusul keberhasilan Abraham Accord.
Namun, semua impian itu tiba-tiba buyar. Seminggu setelah kami tiba ke Tanah Air terjadilah serangan Operasi Badai Al-Aqsa oleh Hamas yang disusul respons Israel dengan mendeklarasikan perang bernama Operasi Pedang Besi.
Sejak saat itu banjir informasi tentang konflik Israel dan Hamas, yang juga sering dianggap sebagai konflik Israel dan Palestina, menguasai media massa dan media sosial. Setiap orang merasa ingin menyampaikan pendapatnya sesuai dengan pemahaman dan kepentingan masing-masing, baik yang pro-Israel, pro-Palestina, pro-Hamas, maupun yang netral atau pro-kemanusiaan.
Guyuran informasi tersebut bisa membingungkan masyarakat yang umumnya cari cara mudah dengan membaca media sosial yang mereka terima. Maka perlu memahami lebih jauh tentang bagaimana media massa dan media sosial menyampaikan suatu pesan atau informasi baik langsung maupun tidak langsung, serta bagaimana pengaruhnya kepada individu.
Pendekatan psikologi sosial
Dalam psikologi sosial, ada beberapa konsep yang bisa digunakan untuk memahami bagaimana guyuran informasi dari media massa ataupun media sosial memengaruhi persepsi dan sikap individu.
Pertama, framing atau pembentukan opini ke arah yang diinginkan oleh individu sang penulis atau media massa. Media massa bisa menggunakan frame untuk pro-Israel, pro-Palestina, atau netral sesuai dengan misi media tersebut.
Framing sangat penting karena akan memengaruhi bagaimana orang melihat dan mempersepsikan konflik Israel dan Hamas saat ini. Kesalahan atau kesengajaan penulisan kata Palestina ketimbang Hamas bisa memberi frame bahwa konflik Israel-Hamas sama artinya dengan konflik Israel-Palestina.
Apa yang penulis paparkan di awal tulisan ini tentang kunjungan ke Israel adalah juga contoh framing yang penulis lakukan untuk mengajak pembaca melihat situasi Israel sebelum Operasi Badai Al-Aqsa terjadi.
Kedua, agenda setting atau penyajian agenda. Media massa mempunyai kekuasaan dalam menentukan isu-isu yang menjadi perhatian publik sesuai dengan agenda dari media tersebut. Di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dicermati: 1) Pemerintah Indonesia telah menetapkan sikap untuk mendukung Palestina, 2) mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, 3) banyak yang melihat bahwa konflik Israel-Hamas adalah konflik agama.
Dengan demikian, media massa akan membuat pertimbangan-pertimbangan yang tidak mudah dalam menyajikan beritanya agar disukai pembacanya agar ratingnya tetap tinggi. Apabila konflik Israel-Hamas dimaknai sebagai konflik agama, tentu media berbasis agama tertentu akan menerbitkan tulisan-tulisan yang sesuai dengan agenda media tersebut.
Framing sangat penting karena akan memengaruhi bagaimana orang melihat dan mempersepsikan konflik Israel dan Hamas saat ini.
Ketiga, priming effect atau efek yang ditimbulkan oleh pemberitaan tertentu sehingga menimbulkan suatu sikap tanpa disadari oleh para pembacanya. Misalnya pemberitaan tentang betapa parahnya kondisi penduduk sipil Gaza akibat serangan balasan Israel atau akibat perintah harus mengungsi ke Gaza bagian selatan. Pemberitaan yang bertubi-tubi tentang hal tersebut dapat memberi kesan betapa tidak manusiawinya Israel.
Sebaliknya, di negara-negara pro-Israel, pemberitaan bertubi-tubi tentang bagaimana Hamas membunuh penduduk sipil di wilayah Israel pada serangan 7 Oktober 2023, serta bagaimana Hamas memperlakukan para sandera sebagai tameng. Pemberitaan tersebut akan menimbulkan kesan betapa kejamnya militan Hamas.
Keempat, confirmation bias. Individu pada umumnya telah mempunyai sikap tertentu dan berusaha untuk mempertahankan pendapatnya dengan mencari informasi yang selaras dengan pandangannya. Maka terjadilah bias dalam proses melakukan konfirmasi karena individu memilih informasi tertentu. Seorang yang pro-Palestina tentu akan mencari informasi tentang pemberitaan yang menguatkan atau mengonfirmasi pendapatnya bahwa tindakan militan Hamas bisa dibenarkan ketimbang informasi yang bertentangan.
Apa yang bisa dilakukan
Dengan adanya framing, priming, agenda setting, dan confirmation bias dalam pemberitaan di media massa dan media sosial, lalu apa yang bisa dilakukan agar kita tidak menjadi bingung? Pertama, bersikap skeptis terhadap banjir informasi yang dibaca dan selalu mengingat bahwa informasi yang disampaikan tidak selalu benar. Komentar-komentar di media sosial sebaiknya tidak buru-buru di-share sebelum mendapat konfirmasi dari sumber lain yang tepercaya.
Kedua, diversifikasi informasi, artinya bersedia membaca informasi dari kedua belah pihak dengan berbagai perspektif. Hal ini akan menurunkan risiko terjadinya confirmation-bias. Tidak ada salahnya untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda-beda agar kita memahami masalah dengan lebih komprehensif.
Ketiga, keterbukaan pada perubahan. Jika kita merasa bahwa selama ini kita sangat terpengaruh oleh informasi yang bias akibat framing, priming, agenda setting, maupun confirmation bias, tidak perlu ragu untuk membuka diri pada informasi yang lebih obyektif dan bukti-bukti yang lebih kuat dan masuk akal.
Secara umum, mari bersikap kritis dan analitis dalam merespons badai informasi tentang konflik Israel dan Hamas agar tidak terjebak pada pemikiran sempit tanpa memahami permasalahan Timur Tengah yang sungguh kompleks.
Eunike Sri Tyas Suci, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya