Masyarakat terabaikan dalam membentuk kecerdasan yang dibarengi pembinaan berkesinambungan dalam akhlak serta tata nilai.
Oleh
HADISUDJONO SASTROSATOMO
·1 menit baca
Sebagai pembaca awam harian Kompas, saya memperoleh pemahaman banyak hal. Setidaknya ada tiga penulis kolom Opini yang membantu memberikan pencerahan, tidak saja dalam bidang hukum, tetapi lebih luas lagi menyangkut akhlak serta tata nilai.
Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Sulistyowati Irianto adalah guru bangsa generasi muda yang dengan runtut serta mudah dipahami memaparkan das sollen di dalam suatu bangsa, yang memiliki tidak saja kecerdasan, tetapi juga kesantunan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam profesinya.
Pembaca saya ajak menelusuri tiga artikel di harian ini dari setiap penulis di atas. Dimulai dengan tulisan Bivitri: Selubung Robohnya Demokrasi (21/8/2021) seakan-akan menjadi peringatan bahwa polah serta cara berpikir pelaku politik serta birokrat di negeri tercinta ini membawa karut-marut fungsi hakiki sisi yudikatif, legislatif, serta eksekutif yang seyogianya dijalankan secara taat asas dan menjunjung etika didasari moral luhur.
Puncak dari retaknya prinsip menegakkan kebenaran hakiki ditunjukkan oleh Mahkamah Konstitusi. Zainal Arifin Mochtar menulis artikel: Patah Palu Hakim di Hadapan Politik (17/10/2023) dan Sulistyowati Irianto menulis Ambang Keruntuhan Garda Hukum Terdepan (18/10/2023).
Mereka mencerminkan adanya kekhawatiran dan memiliki sense of emergency tentang masa depan demokrasi yang dewasa, sehat, berlandaskan kejujuran serta integritas.
Masyarakat luas juga tergerak dengan munculnya para cendekiawan menyampaikan Maklumat Keprihatinan terhadap putusan MK satu jam setelah putusan itu dibacakan. Ada tokoh, seperti mantan komisioner KPK, Erry Riana Hardjapamekas, ada Usman Hamid, Faisal Basri, Henny Supolo, dan masih banyak lagi. Mereka mencerminkan adanya kekhawatiran dan memiliki sense of emergency tentang masa depan demokrasi yang dewasa, sehat, berlandaskan kejujuran serta integritas.
Masyarakat terabaikan di dalam membentuk suatu kecerdasan yang dibarengi dengan pembinaan berkesinambungan dalam akhlak serta tata nilai. Terbuai oleh ajakan untuk mengagungkan hal-hal yang bersifat fisik semata, padahal di dalamnya keropos.
Sekali lagi mengingatkan saya pada peringatan Buya Sjafii Maarif: Rancak dilabuah- Mentereng di luar remuk di dalam. Keprihatinan ditutup oleh Zaenal dalam paragraf penutup tulisannya mencuplik ucapan Prof Saldi Isra: Quo Vadis Mahkamah Konstitusi?
Menurut saya lebih dari itu, Quo Vadis Republik Indonesia?
Hadisudjono Sastrosatomo, Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS–STM-PPM Menteng Raya, Jakarta