Aksi genosida baru atas Palestina harus segera dihentikan sebelum terlambat. Sebab, rakyat Palestina bukanlah ”subhumans”!
Oleh
POLTAK PARTOGI NAINGGOLAN
·3 menit baca
Dunia sedang menyaksikan bagian demi bagian dari episode baru konflik Israel-Palestina, yang diantisipasi dengan cemas oleh mereka yang peduli dengan tragedi kemanusiaan. Bagian yang mengenaskan dapat disaksikan secara real time dari media elektronik. Hamas telah memicu perang baru dengan serangan dadakan ke penduduk sipil Israel dan pendatang mancanegara yang sedang menyaksikan festival musik di dekat perbatasan Gaza. Pemerintah Netanyahu, yang belum memperoleh kepercayaan pasca-aksi demonstrasi berbulan-bulan warga Israel penentangnya, tidak siap dengan respons cepat, selain segera mengumumkan status negara dalam kondisi perang pada 7 Oktober 2023.
Sulit dipercaya, betapa Israel tidak berdaya mengantisipasi serangan mendadak sayap militer Hamas, terutama Brigade Qassam. Padahal, mereka hanya bagian kecil dari penduduk Palestina yang hampir kehilangan daya untuk melakukan perlawanan atas penindasan militer Israel di wilayahnya sendiri. Ke mana Mossad, intelijen negara yang disebut-sebut sebagai terbaik di dunia itu? Mengapa tentara di perbatasan tidak bereaksi dan mampu mencegah infiltrasi Hamas sehingga dalam seketika ratusan korban di pihak Israel berjatuhan?
Tanpa sadar, sebenarnya kita sedang menyaksikan gelar perang generasi keempat. Perang tidak dimulai dengan invasi militer nasional, tetapi sekelompok kecil sayap militer organisasi perlawanan. Hampir 200 warga sipil lintas negara serta lintas umur, kaum nonkombatan diserang tanpa peringatan dan dijadikan sandera di lokasi-lokasi yang tidak terdeteksi. Sebanyak 260 orang tewas ditembak di tempat saat menghadiri festival musik.
Serangan bersenjata Hamas ke penduduk sipil Israel di perbatasan Gaza didukung serangan misil jarak menengah ke kota-kota Israel. Permukiman Yahudi menjadi sasaran empuk Hamas, yang diperoleh dari aksi perampasan milik warga Palestina. Tidak ada yang perlu dijustifikasi dengan aksi Hamas, yang sebelumnya tidak dituduh sebagai kelompok teroris karena menjalankan agenda politik damai dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Hamas seperti kehilangan orientasinya, seperti juga warga Palestina yang kehilangan harapan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara besar dalam membantu mewujudkan impian mereka selama tujuh dasawarsa lebih. Israel telah menjadi negara merdeka dan maju. Di wilayah permukiman yang mereka rampas, warga Israel menikmati kemakmuran dan perlindungan. Sementara warga Palestina yang terusir menyatu tinggal di kawasan padat Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Pemandangan begitu kontras dan mengenaskan, apalagi setelah militer Israel bertindak represif dan membatasi aktivitas warga. Netanyahu belum cukup mengurung penduduk Palestina dengan tembok tinggi, membuat mereka menjadi stres atau harus menjadi martir Hamas.
Hamas telah dijadikan musuh bersama sebagai kelompok teroris, sedangkan status Israel sebagai perampas tanah warga Palestina diabaikan.
Pasca-Abraham Accord, yang berlanjut dengan pengakuan atas Israel dan pembukaan hubungan diplomatik, Palestina secara formal telah ditinggalkan tetangga sekaligus saudara Arab-nya. Politik ekstrem kanan Israel mengukuhkan zionisme yang kini didukung Amerika Serikat dan dunia Arab.
Solidaritas agama telah sirna. Kecuali dari kaum Syiah Iran dan Hezbollah Lebanon, tidak ada lagi teman Palestina untuk menentang zionisme Israel yang meniadakan Palestina. Propaganda dan kekuatan lobi internasional Israel mendukung sukses zionisme sehingga dunia meninggalkan Palestina. Hamas telah dijadikan musuh bersama sebagai kelompok teroris, sedangkan status Israel sebagai perampas tanah warga Palestina diabaikan.
Bukan ”subhumans”
Sulit dipercaya, dalam beberapa tahun Palestina telah terlupakan. Dunia senyap saat Israel memblokade Gaza tanpa listrik dan air, yang melanggar hukum humaniter internasional. Juga, saat Netanyahu mau menggelar serangan darat, dengan ultimatum 24 jam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan, mustahil mengevakuasi 2,4 juta warga sipil dalam waktu singkat, dengan memaksa orang sakit keluar dari Gaza Hospital.
Serangan bom 6.000 kali lebih dan 4.000 target ke Gaza dianggap tidak cukup. Warga Palestina dihadapkan pada pilihan maut, bersama Hamas yang berperang membebaskan mereka dari okupasi Israel, atau keluar Gaza tanpa perlindungan?
Memasuki hari ke-24, korban warga sipil Palestina lebih dari 8.000 orang tewas dan 21.000 orang mengalami luka-luka dianggap belum cukup. Pengeboman rumah sakit yang sungguh terjadi dan menewaskan seketika hampir 500 warga Palestina mengungkap kemarahan Netanyahu. Sementara korban di pihak Israel di angka 1.400-an tewas. Sungguh sebuah gelar perang yang tidak adil (unjust war), yang dimulai Hamas, tetapi dibalas kelewat batas oleh Israel!
PBB tidak berdaya. Puluhan resolusi, yang menghukum Israel dan melindungi Palestina sejak 1967, tidak diimplementasikan. Resolusi 242 tahun 1967 yang menjamin kemerdekaan Palestina tidak pernah dibicarakan lagi. Juga, resolusi PBB yang memerintahkan penghentian perluasan permukiman Yahudi di wilayah Palestina diabaikan.
Hal yang lebih buruk, Resolusi Dewan HAM PBB yang menyatakan operasi darat militer Israel ke Gaza 2014 sebagai genosida dianggap tidak pernah ada. Kini, ancaman genosida berlangsung lagi di lokasi yang sama. Israel yang menjadi korban holocaust pada 1945, tanpa malu, kini menjadi pelakunya. Hanya tekanan masyarakat dunia yang meluas yang bisa menghentikan ground offensive Israel yang membabi buta.
Palestina adalah center of gravity stabilitas politik dan keamanan dunia. Eskalasi dan dampak limpahan konflik akan sangat berbahaya. ”Al-Aqsa Flood Operation” Hamas yang direspons ”Iron Sword Operation” Israel akan meningkatkan proxy war negara besar, terutama Rusia, yang beraliansi dengan Iran, penyumbang misil dan drone ke Hamas. Implikasinya akan hebat, menjadikan Gaza sebagai pemicu perang global, bukan Ukraina dan Laut China Selatan. Gaza akan menjadi ajang penggunaan misil dahsyat Israel, Iran, AS, dan juga Rusia.
Di dalam negeri, Netanyahu sebenarnya sudah habis. Dapat diperkirakan, kabinet darurat Netanyahu hanya sementara kompaknya. Jika episode krisis ini berakhir, warga Israel akan segera menuntut reformasi politik drastis, yang mengeliminasi pemerintahan sayap kanan zionis. Aksi genosida baru atas Palestina harus segera dihentikan, sebelum terlambat, karena rakyat Palestina bukanlah subhumans!