Memikirkan Nasib Palestina
Serangan Hamas ke Israel punya kaitan dengan pendudukan Israel di Tepi Barat. Hamas menyebut kekerasan oleh Israel di Tepi Barat sebagai alasan serangan mereka. Apa solusi realistis yang bisa ditawarkan Indonesia ?
Kementerian Luar Negeri RI menekankan pentingnya penyelesaian akar konflik Palestina- Israel dan perlunya para pihak menahan diri untuk mencegah korban jiwa lebih besar.
Pertanyaannya, apa solusi realistis yang bisa ditawarkan Indonesia untuk menyelesaikan masalah pendudukan itu? Serangan Hamas ke Israel jelas punya kaitan dengan pendudukan Israel di Tepi Barat. Hamas menyebut kekerasan oleh Israel di Tepi Barat sebagai alasan serangan mereka.
Namun, serangan itu bukanlah tindakan reaksioner semata karena dilakukan dengan terencana dan membutuhkan koordinasi internal yang baik. Dengan demikian, serangan tersebut harus diletakkan dalam konteks untuk memperoleh tujuan politik yang lebih luas.
Setidaknya ada empat hal yang melatarbelakangi serangan itu. Pertama, serangan dilakukan untuk menunjukkan bahwa Hamas masih signifikan dan tetap jadi kekuatan bersenjata utama di Palestina. Penggunaan senjata nonrakitan dalam serangan itu juga memperlihatkan adanya dukungan eksternal yang kuat terhadap Hamas.
Bukan hal mudah untuk menembus blokade Israel untuk mengalirkan senjata ke Gaza. Upaya semacam itu butuh kinerja intelijen yang baik. Hamas juga mempertimbangkan efek bumerang dari langkah retaliasi Israel dengan mulai berbicara mengenai perlunya intervensi internasional dalam penyelesaian Palestina. Namun, apakah langkah itu sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan, terutama korban jiwa dan kerusakan di Gaza akibat retaliasi Israel, masih perlu penilaian lebih lanjut.
Serangan Hamas ke Israel jelas punya kaitan dengan pendudukan Israel di Tepi Barat. Hamas menyebut kekerasan oleh Israel di Tepi Barat sebagai alasan serangan mereka.
Kedua, serangan itu merefleksikan suara mayoritas publik Palestina. Survei PSR memperlihatkan adanya peningkatan preferensi publik pada penggunaan kekerasan guna menyelesaikan konflik dengan Israel. Dalam survei September 2022, hanya 41 persen responden mendukung, dan di survei September 2023 ada 53 persen.
Peningkatan tertajam terjadi di Tepi Barat, di mana dukungan pada opsi bersenjata naik dari 35 ke 54 persen.
Pernyataan Khaled Qodami, juru bicara Hamas, maupun Mohammed Deif, komandan sayap militer Hamas, mengindikasikan rasa percaya diri Hamas dengan opsi kekerasan. Ini tentu meningkatkan dukungan publik Palestina pada Hamas.
Ketiga, serangan itu mengindikasikan kekalahan berbagai mekanisme menuju kemerdekaan yang selama ini dijalankan Palestina, terutama Proses Oslo. Survei PSR memperlihatkan tidak hanya dukungan publik Palestina pada Proses Oslo yang semakin meredup, publik juga merasa kehidupan mereka saat ini jadi lebih sulit jika dibandingkan sebelum Proses Oslo.
Ini terefleksikan dalam laporan Bank Dunia dan IMF pada paruh ketiga 2023 yang menyebut berbagai pembatasan oleh Israel telah membuat warga Palestina kehilangan pekerjaan dan pada akhirnya memberikan tekanan pada situasi perekonomian Palestina. Palestina juga memiliki masalah dalam aliran pendanaan pajak dari Israel karena Israel sering menahan aliran dana tersebut untuk menekan Palestina.
Di sisi lain, upaya lewat diplomasi multilateral, terutama PBB, juga selalu gagal di Dewan Keamanan akibat veto AS.
Keempat, serangan itu menyiratkan pesan kepada masyarakat internasional bahwa isu Palestina perlu diperhatikan mengingat belakangan kian ditinggalkan di berbagai pembicaraan diplomatik. Penandatanganan Abraham Accords dan diskusi panjang Arab Saudi dengan Israel dan AS yang mengarah ke normalisasi hubungan diplomatik negara-negara Arab dengan Israel seakan melupakan nasib kemerdekaan Palestina.
Otoritas Palestina bahkan menolak bantuan penanganan Covid-19 dari Uni Emirat Arab (UEA), padahal itu sangat dibutuhkan publik Palestina, karena UEA menandatangani Abraham Accords. Langkah normalisasi yang dijajaki Arab Saudi dinilai merupakan pengkhianatan terhadap Palestina.
Apalagi Arab Saudi-lah yang mengusulkan Inisiatif Perdamaian Arab yang menegaskan tiga poin penolakan terhadap Israel (no peace, no recognition, no negotiation) sebelum Israel mundur dari Palestina.
Dua tujuan politik
Dengan demikian, langkah Hamas pada dasarnya menyasar dua tujuan politik. Pertama, serangan itu menyiratkan pesan bahwa Hamas merupakan kelompok yang dapat diandalkan oleh publik Palestina untuk melawan Israel. Tentu ini harus dilihat dalam konteks persaingan intra-Palestina.
Kedua, serangan itu juga jadi pengingat bahwa isu Palestina masih perlu untuk diselesaikan. Namun, di sisi lain, langkah itu juga membuka kemungkinan terburuk dalam hubungan Palestina-Israel. Israel yang dikuasai koalisi sayap kanan-religius akan dengan mudah menggunakan serangan itu sebagai casus belli. Ini memunculkan kekhawatiran akan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah yang besar dan kian menekan posisi otoritas Palestina dalam menghadapi Israel.
Langkah normalisasi yang dijajaki Arab Saudi dinilai merupakan pengkhianatan terhadap Palestina.
Apa yang dapat dilakukan Indonesia? Pertama, konsistensi Indonesia ketika bicara kemerdekaan Palestina atau pendudukan Israel tak perlu disangsikan. Dukungan nyata melalui berbagai program pelatihan juga dilakukan. Hanya saja, itu sepertinya tak mengarah pada penyelesaian masalah karena kendala internal di Palestina. Kita belum melihat organ-organ di pemerintahan Palestina berjalan baik dan masalah korupsi masih melanda.
Demikian juga, belum ada cetak biru pembangunan sosial-ekonomi Palestina. Satu hal yang pasti, Indonesia tak bisa menjembatani dialog Palestina dengan Israel karena ketiadaan kontak efektif dengan Israel.
Dengan demikian, secara realistis, ruang gerak Indonesia hanya ada di level internal Palestina. Indonesia dapat menjembatani dialog antara Hamas dan Fatah. Selama ini, upaya semacam ini cenderung dihindari karena bisa dipandang sebagai intervensi dalam politik domestik Palestina. Tampaknya Indonesia perlu bersikap lebih jelas dalam urusan intra-Palestina ini. Upaya mediasi intra- Palestina sendiri sudah dilakukan banyak negara, terutama Mesir. Indonesia dapat berkolaborasi dengan negara-negara yang memiliki posisi yang sama terhadap Palestina.
Kedua, untuk menemukan terobosan, apalagi dengan kompleksitas masalah Palestina yang tinggi, Indonesia perlu memberi perhatian lebih mendalam. Pembentukan tim atau utusan khusus bagi penyelesaian Palestina bisa dilakukan. Keseriusan semacam ini perlu agar Indonesia bisa jadi pemain kunci. Sudah saatnya kita memikirkan kembali Palestina, dengan lebih serius dan realistis.
Baca juga : Perang Hamas-Israel Ancam Pasokan Minyak, Harga Minyak Terus Merangkak
Broto WardoyoDosen di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia