Sebagai variabel kontrol terhadap permintaan listrik, PLTN akan tetap sebagai opsi terakhir dan ”gincu” politik energi nasional.
Oleh
HARIYADI
·4 menit baca
Menguatkan pesan ”direktif” hasil diskusi Dewan Energi Nasional (DEN) dalam rangka penyiapan kajian tapak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) untuk Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) dan Rancangan Peraturan Presiden Percepatan Pembangunan Infrastruktur Penyediaan Tenaga Listrik Berbasis Energi Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut agenda-setting pembangunan PLTN mulai mengerucut di 2030 (Kompas.com, 15/10/2023). DEN memproyeksikan kontribusi PLTN pada bauran pembangkitan mencapai 0,25 gigawatt (GW) hingga 45 GW, masing-masing untuk skenario rendah dan tinggi pada 2032 dan 2060. Kesan segera ditindaklanjuti lebih kental tampaknya.
Menarik meski narasi ini sedikit ”mengecoh” karena untuk mengejar pembangunan yang menyisakan enam tahun ke depan harus ”dipaksakan” secara politik. Jika sebaliknya, dengan asumsi waktu pembangunan PLTN secara best-practice membutuhkan waktu 10-15 tahun, artinya pada 2033 atau 2038 kita baru bisa melihat PLTN beroperasi di Indonesia. Ini berarti setara dengan dua kali masa jabatan presiden. Ini belum diperhitungkan dengan tahapan mitigasi resistensi publik dan pilihan teknologi.
Menggarisbawahi skenario target emisi nol bersih (NZE), peran PLTN dalam bauran pembangkitan rendah karbon menjadi sesuatu yang semestinya tanpa reserve. Dalam skenario NZE 2060, permintaan listrik diproyeksikan mencapai 1.922 terawatt hour (TWh). Dengan kapasitas pembangkitan total 708 GW pada tahun itu, 96 persen permintaan listrik akan ditopang pembangkitan terbarukan yang secara berturut-turut berbasis tenaga surya (421 GW), angin (94 GW), air (72 GW), biogas (60 GW), PLTN (31 GW), dan panas bumi (22 GW) (KESDM, 2022).
Kontribusi surya dan angin mencapai 72,7 persen. Di sinilah nilai strategis kedua jenis pembangkitan tidak terbantahkan, setidaknya di atas kertas. Meski demikian, tantangannya juga tidak mudah. Kebutuhan lahan menjadi konsen pertama. Dengan kapasitas 145 MW, PLTS Cirata berdiri di atas lahan seluas 225 hektar (IEA, 2022). Dengan perhitungan kasar, jika polanya land-based, luasan lahan yang dibutuhkan mencapai 1,6 hektar per megawatt (MW). Dapat diperkirakan luasnya lahan yang dibutuhkan untuk membangun PLTS skenario NZE di atas. Ini belum diperhitungkan dengan capacity factor pembangkitan, yang untuk ukuran PLTS mencapai 18-20 persen (IEA, 2020).
Hal lain, isu besarnya potensi limbah yang menyertainya. Pada 2050, limbah panel surya diperkirakan mencapai 10 juta ton per tahun secara global. Selain itu, sekitar 14.000 bilah turbin angin, setara dengan 50.000 ton, akan dipensiunkan pada 2023. Pada 2030, limbah baterai diperkirakan mencapai 2 juta ton per tahun akibat dari meningkatnya permintaan kendaraan listrik (USAID, 2022). Karena itu, penerapan strategi ekonomi sirkuler secara eksperimental menjadi opsi terbaik dalam kasus ini. Tidak berhenti di sini. Sifat intermitensi pembangkitan itu juga sering menjadi mimpi buruk operator.
Semua argumen tersebut menopang PLTN sebagai opsi viable meski tantangan non-teknis juga sama kuatnya. Fase mitigasi resistensi publik menjadi hal penting yang harus dikelola dari sekarang. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di tengah isu rapuhnya ketahanan energi dan tingginya harga minyak, sejarah mencatat komitmen politik pembangunan PLTN mencapai puncaknya (Amir, 2010). Didorong oleh sukses lobi IAEA, Mohamed El-Baradei pada saat kunjungannya ke Jakarta pada 1999 terhadap tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur, mitigasi penolakan publik terhadap rencana pembangunan PLTN akhirnya dapat dikelola disertai janji dukungan keuangan dan teknis.
Sukses lobi ini semakin memperkuat kemauan politik pemerintah untuk menjadikan PLTN sebagai satu prioritas pembangkitan (Suleiman, 2013; Amir, 2010). Hasilnya, meski pada 2008 tender pembangunan PLTN berkapasitas 400 MW telah dilaksanakan secara bertahap sampai 2025, akhirnya kandas. Temuan menarik ternyata di balik pembatalan tersebut adalah misi pengamanan dukungan konstituen dalam kontestasi pilpres periode kedua (Amir, 2010).
Semua argumen tersebut menopang PLTN sebagai opsi viable meski tantangan nonteknis juga sama kuatnya.
Nah, supaya tidak bernasib seperti lakon drama ”Menunggu Godot” Samuel Beckett, sisa tujuh tahun ke depan tentu saja menjadi fase kritikal untuk memastikan agenda ini dapat dieksekusi. Tidak mudah memang, konteks oversupply pasokan listrik dan distribusi listrik yang berpusat di Jawa dan Bali, pendanaan, pilihan teknologi, konteks resistensi sosial, dan agenda strategis yang sifatnya statutoris, misalnya Ibu Kota Nusantara (IKN), adalah beberapa isu yang bakal menyedot energi para pengambil keputusan.
Terlepas dari itu, target politik energi rendah karbon menunju NZE 2060 tetap menyisakan ruang optimisme. Dalam konteks ini, menyimak pelajaran empiris program PLTN bagi sejumlah negara aspiran sejak 1950-an dapat menjadi referensi menarik.
Dikawal serius
Studi Yasmin dkk menunjukkan, pada kurun waktu 1946-2020, dari 82 negara yang berambisi membangun PLTN, hanya 32 negara yang berhasil mewujudkannya. Sisanya, 50 negara aspiran PLTN, hanya Bangladesh, Mesir, dan Turki yang telah menapaki tahapan konstruksi. Selebihnya, termasuk Indonesia, masih dalam proses agenda setting. Bahkan, Austria, Kuba, Filipina, Korea Utara, dan Polandia akhirnya menghentikan atau tidak memanfaatkan meski tahapan konstruksi telah berjalan.
Data ini tentu menjadi reminder penting bagi Indonesia untuk menghindari berulangnya pembatalan proyek PLTN pada 2008. Beberapa temuan menarik studi ini dapat dijadikan rujukan. Pertama, kenaikan target bauran pembangkitan terbarukan tidak menghentikan program PLTN, tetapi lebih sebagai alternatif jika pada akhirnya program itu akhirnya dibatalkan atau tidak menjadi prioritas. Temuan ini merefleksikan kebutuhan untuk memastikan target pembangkitan terbarukan terpenuhi dan visionernya peran PLTN dalam bauran pembangkitan skenario NZE.
Kenaikan target bauran pembangkitan terbarukan tidak menghentikan program PLTN, tetapi lebih sebagai alternatif jika pada akhirnya program itu akhirnya dibatalkan atau tidak menjadi prioritas.
Temuan lain, variabel tingginya permintaan listrik dan dukungan internasional menjadi faktor suksesnya negara aspiran membangun PLTN. Meski demikian, kritik terhadap temuan ini tentu saja tidak berarti ketika pertumbuhan permintaan listrik lesu, PLTN seolah-olah tidak diperlukan dengan posisinya sebagai penopang bauran pembangkitan rendah emisi dan menopang, kalau tidak dapat disebut menggantikan, pembangkitan lain, khususnya bersumber fosil.
Dengan demikian, secara kausal deterministik, konstektualisasi peran PLTN dalam bauran pembangkitan rendah karbon ditemukan. Pandangan ini sejalan dengan temuan lain yang tidak menemukan faktor ekonomi sebagai faktor sukses program PLTN. Lagi-lagi ditempatkan dalam skenario pertumbuhan ekonomi sebagai variabel kontrol terhadap permintaan listrik, PLTN akan tetap sebagai opsi terakhir dan ”gincu” politik energi nasional.
Sukses pembangunan PLTN tentu saja akan mengerek muatan nasionalisme ekonomi yang lebih ideologis. Sukses Bangladesh dalam program PLTN, maaf, sebagai aktor pariah dalam konstelasi ekonomi dan politik global, tentu menjadi sumber daya tawar politik. Nah, pelajaran pentingnya bagi Indonesia: perlu keluar dari bayang-bayang politik pembangkitan PLTN megalomanis. Pertanyaannya kemudian, apa saja yang perlu mendapat pengawalan politik.
Merujuk studi Dwijayanto (2023), pilihan teknologi. Parameter fokus mobilisasi PLTN dapat dipetakan apakah untuk ketahanan pembangkitan di Jawa-Bali, penguatan akses listrik di luar Jawa-Bali, atau pemberian akses yang lebih adil di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Semua penekanan tersebut mengimplikasikan skala daya yang dibutuhkan meski secara umum sekali keputusan dilakukan di luar Jawa-Bali, alasan nasionalisme ekonomi dan keadilan akses listrik akan mengalahkan isu keekonomian. Dilematis, tetapi memiliki kredit secara politis untuk elektrifikasi wilayah 3T.
Tentu saja dengan pilihan ini, tujuan pencapaian penurunan emisi menjadi semakin kabur karena daya kecil tentu akan identik dengan terbatasnya peran mitigasi PLTN meski pembangunannya bisa dikejar dalam rentang waktu 5-7 tahun. Sedikit meraba arah politik PLTN rezim pasca-Jokowi meski biasanya responsnya normatif, mungkin bisa dikuliti dalam debat capres 2024 ini.
Hariyadi, Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku Sirkuler Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)