Energi Nuklir di Indonesia: Ya atau Tidak?
Tantangan negara berkembang untuk membangun PLTN adalah terkait kurangnya SDM yang kompeten, kecuali di China dan India.
Isu transisi energi dan ketahanan energi merupakan dua isu yang mengemuka saat ini di sektor energi, terlebih ketika Rusia menginvasi Ukraina. Perdebatan tentang pentingnya energi nuklir mencuat seiring kebutuhan energi yang bersih dan juga berkapasitas besar. Kecuali para pejuang lingkungan di negara tersebut, Amerika Serikat merupakan salah satu negara pronuklir dan menggunakan energi ini untuk mencapai tujuannya yaitu net zero carbon economy pada tahun 2050.
Perancis yang tadinya mulai meninggalkan nuklir kini membangun kembali reaktor nuklir. Jepang yang mempunyai pengalaman buruk bencana pembangkit tenaga listrik Fukushima Daiichi tetap bergantung pada energi nuklir. Sedangkan Jerman pada tahun 2021 menyatakan akan menutup bertahap tiga reaktor nuklirnya sampai akhir 2022.
Diskusi nuklir merupakan topik yang cukup hangat. Di dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang diterbitkan tahun 2014 disebutkan bahwa nuklir merupakan pilihan terakhir dalam penyediaan energi nasional. Namun seiring makin gencarnya akselerasi transisi energi menuju net zero emission, nuklir dipertimbangkan menjadi salah satu energi prioritas bukan lagi sebagai pilihan terakhir.
Pihak yang pronuklir menyatakan, sudah saatnya KEN direvisi dan nuklir dimasukkan sebagai energi bersih yang memperkuat sistem penyediaan energi nasional. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dapat menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari batubara yang akan ditutup.
Pihak yang kontra menyatakan, energi nuklir tidak diperlukan karena Indonesia memiliki banyak pilihan energi yang lebih aman dengan biaya yang lebih rendah daripada biaya energi nuklir. Para ahli memperkirakan bahwa Indonesia paling cepat dapat membangun PLTN pada tahun 2035 jika saat ini pemerintah memutuskan pembangunan PLTN.
Terlepas dari pro dan kontra pemanfaatan nuklir di Indonesia, saat ini Indonesia sudah mempunyai dua lembaga penting dalam pengembangan nuklir. Yang pertama adalah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yang lahir melalui amanat UU Tenaga Nuklir Tahun 1997. BAPETEN diberikan mandat untuk melaksanakan kewajiban Pemerintah dalam mengawasi penggunaan tenaga nuklir.
Baca juga: Energi Nuklir Masih Jadi Perdebatan
Yang kedua adalah, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang saat ini di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013, tugas pokok BATAN adalah melaksanakan tugas Pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Membangun Reaktor Nuklir
Keputusan membangun reaktor nuklir dan memanfaatkan energinya bukan keputusan yang salah, namun belum tentu keputusan tepat. Bukan keputusan yang salah dalam artian pemanfaatan energi nuklir ini sudah terbukti sebagai langkah strategis dari negara-negara adikuasa dalam memperkuat sistem persenjataannya sekaligus penyediaan energinya. Saat ini, paradigma nuklir sebagai senjata telah bergeser sebagai penyediaan energi yang dibutuhkan oleh negara-negara berkembang.
Di Asia, terdapat beberapa negara yang telah mempunyai PLTN, di antaranya: Cina, Korea Selatan, Jepang dan India. Berdasarkan data World Nuclear Association, pada tahun 2019, kapasitas operasional PLTN Cina sekitar 348 TWh, sedangkan PLTN Jepang sebesar 63,8 TWh.
Namun di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, reaktor nuklir yang dibangun masih terbatas untuk penelitian dan pengembangan. Indonesia sendiri dikaruniai sumber daya alam bahan bakar nuklir yang cukup. Berdasarkan pernyataan BRIN (2022), Indonesia memiliki potensi sekitar 90 ribu ton Uranium dan 140 ribu ton Thorium.
Baca juga: Jerman Akhiri Era Tenaga Nuklir
Selanjutnya, pembangunan reaktor nuklir belum tentu sebagai keputusan yang tepat jika faktor-faktor yang mendukung keberhasilannya tidak terpenuhi. Banyak faktor yang harus dipenuhi oleh Indonesia jika ingin membangun reaktor nuklir, dan tentunya hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Keputusan untuk membangun PLTN sangat memerlukan kehendak politik dan komitmen kuat pemerintah.
Membangun dan mengelola PLTN merupakan program jangka panjang yang tentunya memerlukan komitmen kebijakan jangka panjang. Badan Tenaga Atom memberikan standar persyaratan bagi negara yang akan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), sebagai berikut: (1) terlaksananya komitmen nasional tentang keselamatan, keamanan, dan pengamanan, serta peluncuran program PLTN secara nasional melalui pernyataan politik Presiden tentang program pembangunan PLTN, (2) pendirian dan tata kelola Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO), dan (3) ditetapkannya Strategi Nasional tentang Pengembangan PLTN.
Kebijakan Pemerintah untuk memanfaatkan energi nuklir harus didukung juga oleh kebijakan-kebijakan lainnya, di antaranya kebijakan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Salah satu tantangan membangun PLTN adalah bagaimana menyiapkan SDM yang berkapasitas tinggi dalam membangun dan mengelola PLTN. Umur PLTN bisa mencapai lebih dari 80 tahun. Oleh karena itu, perencanaan SDM harus bersifat jangka panjang dan sejalan dengan strategi nasional pengembangan nuklir.
Perencanaan SDM yang bersifat ad hoc tidaklah cukup untuk mengelola PLTN di suatu negara, kecuali jika ingin bergantung kepada negara lain. SDM yang berkapasitas tinggi dalam sisi teknis dan manajerial memerlukan biaya yang besar, apalagi jika mengandalkan tenaga kerja asing.
Penelitian Alam dkk. (2019) menunjukkan bahwa beberapa negara berkembang yang telah membangun PLTN saat ini kekurangan SDM yang berkompeten, kecuali di China dan India. Keseriusan dalam membangun SDM yang berkompeten dan sejalan dengan program PLTN sangatlah kritikal!
Hal kritis lainnya adalah faktor keamanan. Kecelakaan nuklir di Fukushima, Chernobyl dan Mayak merupakan kecelakaan yang sangat membekas pada masyarakat dunia. Pada tragedi Chernobyl di tahun 1986, diperkirakan 100 orang meninggal secara langsung akibat ledakan. Lalu sekitar 4000 orang lainnya meninggal karena paparan radiasi, seperti kanker. Membangun suatu sistem keamanan tingkat tinggi merupakan pekerjaan rumah tersendiri. Faktor keamanan ini juga dipertanyakan terkait pembuangan sampah nuklir yang dapat mencemari lingkungan dengan radiasinya.
Di Indonesia sendiri, akhir-akhir ini sudah beberapa kali terjadi kecelakaan di fasilitas penyediaan energi, contohnya di Plumpang dan Dumai. Ironisnya fasilitas kilang tersebut sudah dikelola dalam waktu lama, dengan sistem keamanan yang tentunya sudah teruji.
Dalam hal ini, setidaknya masyarakat akan mempertanyakan tingkat keamanan PLTN yang merupakan hal baru. Akankan Indonesia mampu mencegah musibah terjadi?
Jawaban terhadap faktor keamanan sangat berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap nuklir. Penerimaan masyarakat merupakan faktor penting lainnya untuk kesuksesan PLTN. Jangankan nuklir, pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) seringkali ditolak oleh masyarakat. Sebagian masyarakat bahkan percaya bahwa PLTP dianggap sebagai kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan, dan menghilangkan sumber air. Oleh karena itu, sangat penting bagi Pemerintah untuk memperhatikan hal terkait penerimaan masyarakat jika PLTN diputuskan untuk dibangun.
Penelitian menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat dipengaruhi setidaknya empat hal, yaitu: (1) risiko yang bersifat persepsi (perceived risks) yaitu persepsi individu terhadap suatu konsekuensi negatif yang akan diterimanya dari suatu kejadian atau tingkah laku tertentu; (2) keuntungan yang bersifat persepsi (perceived benefits) yaitu persepsi individu terhadap konsekuensi yang positif yang akan diterimanya dari suatu kejadian atau tingkah laku tertentu.
Kemudian, (3) pengetahuan masyarakat tentang energi nuklir; dan (4) pelibatan masyarakat (public engagement) yaitu proses untuk melibatkan masyarakat dalam membangun pilihan-pilihan kebijakan. Keempat faktor tersebut satu sama lain dapat saling mempengaruhi.
Penelitian Wang dkk. (2019) di Cina menunjukkan bahwa risiko karena persepsi masyarakat di relatif China tinggi. Namun mereka optimis terhadap nuklir sebagai energi bersih dan meningkatkan ketahanan energi, sehingga mereka tetap menerima teknologi ini.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat yang mempunyai pengetahuan yang cukup baik tentang nuklir meyakini bahwa teknologi nuklir sangat bermanfaat. Hal itu berarti pengetahuan masyarakat tentang energi nuklir dapat meningkatkan keuntungan yang bersifat persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap nuklir.
Fitria Astuti Firman adalah seorang Analis Kebijakan Ahli Madya yang bertugas di Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Koordinator Pokja Fasilitasi Pengawasan Pelaksanaan Kebijakan Energi. Penulis juga merupakan anggota dari Indonesia Strategic Management Society (ISMS). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat Penulis bekerja.