Sejak awal pendirian Republik, Hatta tak memberikan ruang terhadap kemungkinan munculnya kekuasaan absolut pada negara.
Oleh
SUKIDI
·3 menit baca
Hari-hari ini, Republik berada dalam kegentingan. Keutamaan publik (public virtue), yang menjadi spirit utama Republik, telah diabaikan demi kepentingan pribadi. Spirit Republik menjadi pudar dan bahkan hilang dalam kuasa manusia yang berjiwa kerdil. ”Suatu masa yang besar telah dilahirkan oleh abad,” kata pendiri dan Proklamator Republik Mohammad Hatta (1902-1980), dalam Demokrasi Kita (1960), saat merujuk pujangga Jerman, Johann CF von Schiller (1759-1805), ”tetapi masa besar itu menemui manusia kerdil.” Apa yang menjadi kekhawatiran Hatta di masa silam terbukti benar pada hari-hari ini ketika Republik modern justru dikendalikan oleh manusia yang berjiwa kerdil.
Ketika mengelola kekuasaan, sekalipun dalam negara Republik yang demokratis, manusia kerdil tidak menjadi seorang pemimpin demokrat. Ia menjadi apa yang diistilahkan Daniel Chirot (1994) sebagai tiran modern (modern tyrant). Ia bertindak melawan impian para pendiri Republik.
Simaklah, wahai pemimpin kerdil, tentang impian pendiri dan Proklamator Republik Indonesia Soekarno. Bahwa negara Indonesia merdeka didirikan berbasis pada prinsip kesetaraan untuk semua. Impian Republik ini termaktub secara jelas dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945: ”Kita hendak mendirikan suatu negara, semua untuk semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.”
Tragisnya, penyelenggaraan negara saat ini menarik Republik ke titik nadir. Perilaku pemimpin kerdil membunuh spirit Republik dan berkhianat pada warisan mulia pendirinya. Ia mengubah Republik untuk semua menjadi Republik untuk kepentingan satu orang, satu golongan, dan satu keluarga. Republik yang telah diselewengkan melalui pertunjukan kekuasaan yang absolut sama sekali bukanlah Republik yang diimpikan pendirinya. Kekuasaan yang absolut menggunakan instrumen hukum sebagai lisensi untuk merawat dan mempertahankan kekuasaan yang melayani kepentingan satu orang dan satu keluarga.
Padahal, sejak awal pendirian Republik, Hatta tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap kemungkinan munculnya kekuasaan yang absolut pada negara. Negara kekuasaan pun ditolak secara tegas. Hatta memilih negara republik yang berdasar atas hukum, sesuai dengan penjelasan UUD 1945 yang asli: ”Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).”
Dengan pemerintahan Republik berdasar atas konstitusi, Hatta menyadari bahaya kekuasaan yang bisa mengubah karakter manusia. Inilah kerisauan Hajriyanto Y Thohari (2021): ”Hatta memahami psikologi manusia yang berkuasa. Kekuasaan itu terbukti bisa mengubah sikap dan karakter manusia. Seorang yang antikolusi dan antinepotisme, begitu memegang kekuasaan, berubah menjadi kolutif dan nepotis.”
Kekhawatiran Hatta terbukti benar pada penyelenggaraan Republik saat ini yang hadir tanpa keutamaan publik karena Republik diselewengkan sekadar untuk melayani nepotisme kekuasaan. Melalui pendekatan kekuasaan yang absolut dan tanpa oposisi yang kritis, hukum dan hakim hanya diperalat untuk melayani kepentingan satu orang dan satu keluarga. Inilah skandal keadilan terbesar dalam sejarah Republik Indonesia modern. Konstitusi dirobek-robek untuk melayani nepotisme kekuasaan yang pongah. Republik yang dipakai untuk mengutamakan kepentingan kekuasaan satu orang dan satu keluarga bukan lagi pantas disebut sebagai Republik yang diwariskan pendirinya.
Republik hari-hari ini berjalan tanpa keutamaan publik. Padahal, sesuai amanah Soekarno, Republik harus ditegakkan melalui pembangunan karakter bangsa. Kejayaan bangsa Indonesia tidak saja bergantung pada pembangunan institusi-institusi modern secara maju, tetapi juga terkait langsung dengan pembangunan nilai, moral, dan karakter bangsa. Para pendiri Republik ini menyadari betul bahwa kejayaan Republik Indonesia ditentukan pada perilaku etis dan moral.
Tragisnya, Republik ini justru berjalan tanpa keutamaan publik karena penyelenggara negara tidak memiliki karakter bangsa yang mulia sehingga mereka terjatuh ke dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada di peringkat ke-112 dari 180 negara pada 2022. Korupsi yang merajalela terjadi di tengah mayoritas warga rentan hidup miskin dan 25 juta lebih hidup dalam kemiskinan. Republik yang semakin korup pasti semakin miskin karena sesuai petuah bijak Budiman Tanuredjo (2023), korupsi telah memiskinkan bangsa ini.
Kondisi Republik tanpa keutamaan publik ini mengingatkan pada panggilan Jakob Oetama (2003), dalam usaha menemukan kembali Indonesia, perlu kesadaran bersama untuk memberikan jiwa, semangat, dan energi baru kepada Republik dengan spirit keutamaan publik.