Masalah makin rumit ketika investor juga meminta agar perusahaan teknologi, bahkan yang sudah melakukan penawaran saham ke publik, untuk segera untung.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Saat Rosie Nguyen mengundurkan diri dari usaha rintisannya (start up), Fanhouse, pada bulan Juli, dia merasa seperti kehilangan seorang anak. Rosie belum siap untuk pergi, tetapi dia juga belum setuju dengan tujuan perusahaan tersebut. Aksi korporasi ini diambil investor agar perusahaan tersebut menjadi untung. Guncangan ekonomi menyebabkan investor menekan para pendiri dengan kalimat ”bisnis ini harus untung”. Pendiri usaha rintisan di Indonesia juga merasakannya.
Fanhouse adalah platform berlangganan bagi pembuat konten untuk melakukan monetisasi, berbagi konten eksklusif di balik layar, dan terhubung dengan penggemar utama mereka. Kisah Rosie ini muncul dalam TechCrunch+, awal pekan ini. Ketika dewan direksi Fanhouse, yang terdiri dari salah satu pendiri dan seorang investor, memutuskan untuk menjual perusahaan tersebut dan beralih ke kecerdasan buatan, Rosie tahu dia harus mengundurkan diri. Dia memulai perusahaannya untuk membantu para pembuat konten, bukan mengikuti tren industri untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.
”Itu benar-benar proses yang sangat menyakitkan,” kata Rosie kepada TechCrunch+ tentang meninggalkan start up yang menghubungkan pembuat konten dengan penggemarnya.
”Fanhouse masih bayi bagi saya, sebuah perusahaan yang benar-benar saya pedulikan dan dirintis berdasarkan kebutuhan saya sendiri. Saya menggunakannya sendiri untuk menafkahi keluarga saya. Saya tidak memiliki perusahaan lagi yang berarti kehilangan bukan hanya pendapatan dan pekerjaan saya, tetapi juga bagian dari identitas pencipta saya,” katanya.
Keluarnya para pendiri, atau bubarnya tim pendiri, bukanlah hal yang jarang terjadi di dunia usaha rintisan. Banyak perpisahan yang tidak hanya menimbulkan rasa sakit, seperti ketika seorang pendiri memutuskan ingin membangun sesuatu yang lain atau mengambil pekerjaan lain. Namun, terkadang hal tersebut bisa jadi berantakan, melibatkan pengacara dan membuat orang merasa terbakar. Keributan pun muncul dan bisa berkepanjangan.
Kasus-kasus seperti ini mulai bermunculan di Indonesia. Potensi berkembang menjadi masalah besar juga ada. Seorang pendiri usaha rintisan bercerita, sejak investor menekankan agar mereka memiliki arah bisnis yang jelas dan segera untung, maka semua menjadi buyar. Nilai-nilai para pendiri tergerus oleh keinginan investor yang ingin agar segera untung. Segala cara pun dilakukan agar duit investor tidak musnah.
Masalah ini muncul sejak tahun 2019 ketika kasus WeWork mulai ke permukaan. Platform properti WeWork yang batal melakukan penawaran saham perdana karena diketahui bisnisnya ”kosong”. Valuasi yang sangat besar bahkan hingga 47 miliar dollar AS tidak mencerminkan bisnis yang dijalankan. Akibatnya calon pembeli saham di penawaran perdana batal membeli saham WeWork. Valuasi usaha rintisan ini langsung jatuh. Investor langsung meninggalkan strategi bakar uang dan mengerek valuasi serta meminta agar usaha rintisan memastikan masa depan bisnisnya.
Perkembangan selanjutnya makin tidak membaik. Pandemi dan ancaman kelesuan ekonomi mengakibatkan investor makin ketat mengalirkan uangnya. Mereka beralih ke investasi yang lebih aman. Hanya sedikit lembaga pendanaan yang mau membiayai usaha rintisan. Kalau toh ada, mereka sangat ketat menyalurkan dana. Mereka juga mengawasi penggunaan dana di usaha rintisan. Di sinilah masalah mulai muncul. Investor banyak campur tangan ke dalam usaha rintisan sehingga membuat para pendiri kikuk dan bingung, antara menjalankan bisnis dan setiap saat mengikuti keinginan investor.
Para pendiri usaha rintisan merasa tidak nyaman. Setiap hari, mereka merasa dipelototi oleh investor. Akibat yang paling parah, nilai-nilai yang dikembangkan para pendiri menjadi kabur, bahkan hilang. Mereka tidak bisa lagi tumbuh eksponensial. Dari hari ke hari, mereka hanya mencari pelanggan dan kemudian mendapat untung dari setiap pelanggan. Mereka tidak bisa lagi memberi insentif besar untuk menarik pelanggan baru. Cara ini sudah lama ditinggalkan. Usaha rintisan menjadi usaha biasa. Tidak mengherankan bila muncul banyak pemutusan hubungan kerja karena mereka harus mengurangi ongkos demi membuat laporan keuangan dengan status untung.
Masalah makin rumit ketika investor juga meminta agar perusahaan teknologi, bahkan yang sudah melakukan penawaran saham ke publik, untuk segera untung. Mereka tidak peduli cara yang ditempuh. Pokoknya harus segera untung. Akibatnya para pendiri mulai kehilangan orientasi. Mereka benar-benar hanya berpikiran membuat untung perusahaan. Akibatnya kasus mirip Fanhouse terjadi. Para pendiri seperti kehilangan bayi kesayangan. Mereka terlunta-lunta di depan investor. Kondisi perusahaan tak juga membaik karena ”mesin” di dalamnya telah menjadi semacam tukang yang tidak memiliki nilai-nilai yang diperjuangkan.
Kondisi politik di Indonesia makin menambah runyam. Situasi yang dialami usaha rintisan dan juga perusahaan teknologi sangat mendorong mereka untuk berkelindan dengan kepentingan politik tertentu. Asumsi yang paling mudah dipakai adalah, usaha rintisan atau perusahaan teknologi memiliki data dan algoritma. Kasus di banyak negara memperlihatkan kepentingan politik tertentu masuk ke dalam perusahaan teknologi dengan memanfaatkan baik sumber daya manusia maupun data untuk kepentingan calon tertentu.
Cara mudah dan singkat itu sangat boleh jadi diambil para pengelola usaha rintisan dan perusahaan teknologi karena dorongan investor. Baik langsung maupun tidak langsung investor berpotensi menjerumuskan mereka ke dalam permainan politik di dalam negeri. Di mata mereka, yang penting cepat untung. Uang yang ditanam harus selamat dan segera bisa memberi imbal hasil yang memadai. Para pendiri yang tidak sedikit memiliki cita-cita mulia hanya bisa menjadi penonton. Mereka terpaksa hanya bisa gigit jari.