Peta Jalan Industri Perasuransian
Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Perasuransian Indonesia 2023-2027 ditopang empat pilar prinsip pengembangan dan penguatan.
Otoritas Jasa Keuangan telah meluncurkan Peta Jalan atau Peta Pengembangan dan Penguatan Industri Perasuransian Periode 2023-2027.
Peluncuran peta jalan Restoring Confidence Though Industrial Reform Stronger Together pada 23 Oktober 2023 itu dilakukan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, didampingi Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono, pejabat OJK, dan para ketua asosiasi perasuransian.
Adanya peta jalan ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi OJK, asosiasi, serta industri perasuransian dalam menyusun strategi pengembangan dan penguatan hingga lima tahun ke depan. Peluncuran peta jalan ini juga salah satu langkah OJK melakukan reformasi untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perasuransian nasional.
Selanjutnya akan dibentuk gugus tugas yang beranggotakan OJK, asosiasi, dan industri asuransi untuk melaksanakan peta jalan ini.
Semangat dari peta jalan ini adalah untuk mengembangkan industri jasa keuangan yang sehat, efisien, berintegritas, serta memperkuat perlindungan konsumen dan masyarakat, dalam rangka pendalaman pasar, peningkatan inklusi, dan stabilitas sektor keuangan. Hal ini sudah dituangkan dalam Destination Statement OJK Tahun 2022-2027.
Peluncuran peta jalan ini juga salah satu langkah OJK melakukan reformasi untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perasuransian nasional.
Tantangan perasuransian
Penyusunan peta jalan ini melibatkan Bank Dunia dan masukan dari pelaku industri, yakni dari survei yang diikuti 135 eksekutif perasuransian.
Peta jalan ini akan menjawab berbagai isu strategis dan tantangan yang ada pada sektor perasuransian di Indonesia.
Tantangan atau isu utama perasuransian itu antara lain terkait struktur pasar. Sekitar 69,2 persen perusahaan asuransi dan 62,5 persen perusahaan asuransi kerugian menguasai 20 persen total pendapatan premi asuransi. Pertumbuhan asuransi konvensional relatif stagnan selama lima tahun terakhir, yakni 1,89 persen per tahun, dengan penetrasi dan densitas yang rendah.
Dilihat dari tingkat kesehatan dan permodalan, masih terdapat perusahaan asuransi dengan rasio pencapaian (RBC) dan rasio kecukupan investasi (RKI) di bawah ketentuan. Sebagian besar perusahaan masih mempunyai modal di bawah ketentuan baru yang akan diberlakukan ke depan.
Dari jangkauan layanan, sekitar 80 persen pendapatan premi asuransi berasal dari Jawa. Perusahaan juga masih berfokus pada pengembangan di Jawa pada lima tahun ke depan.
Penempatan investasi perusahaan asuransi masih di bawah benchmark rate. Dari struktur kepemilikan, sebagian besar perusahaan asuransi (59 persen) masih tergabung dalam grup usaha sehingga diperlukan penguatan pengawasan yang terintegrasi.
Terkait penerapan governance risk management and compliance (GRC), terjadi peningkatan secara signifikan aduan terkait asuransi dalam lima tahun terakhir. Dari sisi SDM, SDM perusahaan asuransi yang mempunyai sertifikasi profesi di bidang perasuransian, termasuk aktuaris, masih kurang.
Juga masih marak masalah dalam ranah pemasar asuransi, termasuk misseling. Ekosistem sinergi perusahaan asuransi dengan pihak lain juga perlu didorong. Demikian pula penggunaan teknologi informasi dan inovasi digital pada perusahaan perasuransian, termasuk dalam pemasaran, operasionalisasi, dan keamanan siber.
Dari perspektif industri, berdasarkan data OJK, tingkat penetrasi asuransi di Indonesia pada tahun 2022 masih cukup rendah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lain, yakni pada level 2,27 persen.
Sejalan dengan hal itu, tingkat densitas asuransi juga masih berada di level yang belum optimal, pada akhir 2022 baru mencapai Rp 1.923.380 per penduduk. Target yang dicanangkan dalam periode akhir peta jalan ini, yakni pada 2027, sudah mencapai 3,2 persen dengan tingkat densitas Rp 2.400.000 per penduduk.
Dari perspektif konsumen, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK, literasi dan inklusi pada sektor asuransi masih di bawah level lembaga jasa keuangan yang lain. Di samping itu, terdapat kesenjangan antara tingkat literasi pada sektor perasuransian pada 2022 yang berada pada level 31,7 persen dengan tingkat inklusi yang 16,6 persen.
Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa masih ada faktor tertentu yang menurunkan minat masyarakat untuk berasuransi walaupun sebagian dari masyarakat tersebut memahami manfaat produk asuransi untuk mengelola risiko individu dan risiko bisnis.
Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Perasuransian Indonesia 2023-2027 ditopang empat pilar prinsip pengembangan dan penguatan.
Empat pilar
Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Perasuransian Indonesia 2023-2027 ditopang empat pilar prinsip pengembangan dan penguatan. Keempat pilar itu adalah pilar penguatan ketahanan dan daya saing industri perasuransian; pilar pengembangan elemen dalam ekosistem industri perasuransian; pilar akselerasi transformasi digital industri perasuransian; dan pilar penguatan pengaturan, pengawasan, dan perizinan.
Keempat pilar tersebut akan dijalankan dalam tiga fase berbeda dalam kurun waktu 2023 hingga 2027. Diawali dengan fase penguatan fondasi, dilanjutkan dengan fase konsolidasi dan menciptakan momentum, serta diakhiri dengan fase penyelarasan dan pertumbuhan.
Beberapa catatan bisa dikemukakan terkait peta jalan ini.
Pertama, peta jalan merupakan tindak lanjut dan membumikan tekad melakukan reformasi perasuransian seperti yang pernah dicanangkan Presiden saat membuka Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan awal 2020 yang ditindaklanjuti oleh OJK.
Terdapat empat fokus dari reformasi industri keuangan non-bank (IKNB) yang akan dijalankan OJK pada saat itu.
Fokus pertama, reformasi pengaturan dan pengawasan, terdiri dari reformasi pada aspek kehati-hatian melalui penilaian aktiva dan peningkatan modal minimum secara bertahap, dan kemudian dalam hal tata kelola dan manajemen risiko. OJK akan mendorong penguatan pengawasan berbasis risiko. Fokus kedua, reformasi institusional yang mencakup entry policy, penetapan status pengawasan, dan exit policy.
Ilustrasi
Fokus ketiga, reformasi infrastruktur. Reformasi akan dilakukan dalam sistem informasi dan pelaporan kepada OJK, keterbukaan informasi kepada publik, serta analisis industri.
Fokus keempat, penyiapan RUU Lembaga Penjamin Polis. OJK akan menyiapkan kerangka hukum pendirian lembaga ini. OJK berharap perusahaan asuransi dapat memahami arah dari transformasi tersebut sehingga dapat mempersiapkan diri menuju transformasi yang nantinya akan dilakukan.
Kedua, SNLIK yang menunjukkan tingkat literasi asuransi yang selalu lebih tinggi dari tingkat inklusi asuransi dikonfirmasi oleh temuan survei AC Nielsen bekerja sama dengan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) tahun 2019.
Dari survei terhadap 1.000 responden di kalangan milenial, hanya 7 persen yang memiliki asuransi. Padahal, 73 persen responden mengaku sudah menyadari pentingnya asuransi, sementara 27 persen sisanya belum mau memiliki asuransi karena merasa belum membutuhkannya.
Meski literasi terkait asuransi cenderung meningkat dari tahun ke tahun, masih banyak masyarakat yang enggan mengikutsertakan diri dalam polis, termasuk generasi milenial.
Menurut survei tersebut, tingkat kesadaran anak muda terhadap produk bank mencapai 83 persen dan produk asuransi 72 persen.
Terdapat berbagai hal yang melatarbelakangi rendahnya penetrasi di kalangan milenial.
Kurangnya pemahaman untuk membeli premi juga menjadi faktor lain yang menyebabkan generasi milenial malas memiliki asuransi. Mereka tak tahu kiat-kiat pemilihan asuransi yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan bagaimana menjangkau hal tersebut.
Meski literasi terkait asuransi cenderung meningkat dari tahun ke tahun, masih banyak masyarakat yang enggan mengikutsertakan diri dalam polis, termasuk generasi milenial.
Tingkat literasi yang tinggi karena masyarakat belajar dari pengalaman berasuransi yang tidak selalu memuaskan. Sementara inklusi asuransi yang rendah menunjukkan willingness to buy yang rendah, bukan karena daya beli yang rendah.
Oleh karena itu, slogan baru perasuransian menjadi ”Pahami dan Miliki Asuransi” yang diluncurkan bersamaan dengan peta jalan tersebut menjadi sangat tepat dan relevan.
Ketiga, peta jalan ini belum memberi arah yang lebih konkret terkait restorative justice yang menjadi semangat UU Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Dalam kasus Kresna Life, OJK telah menggunakan UU P2PSK yang mengedepankan perlindungan konsumen dengan pendekatan restorative justice dibandingkan pemidanaan sebagai ultimum remedium yang menjadi dasar UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian. Ini patut diapresiasi.
Keempat, peta jalan ini belum memberikan solusi konkret terhadap berbagai kasus gagal bayar yang menjadi episentrum hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap asuransi beberapa tahun terakhir.
Asosiasi Perusahaan Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (Apparindo), kontributor peta jalan yang menjadi bagian dari program strategis fase 3, yakni penguatan fungsi asosiasi perasuransian, belum tampak memberikan advokasi pada pilar perlindungan konsumen.
Kelima, peta jalan ini belum memberikan solusi dan exit policy terhadap rencana kenaikan modal setor asuransi menjadi Rp 1 triliun pada 2028. Misalnya, insentif pajak untuk mendorong merger dan akuisisi, seperti sudah dimulai dengan akuisisi sejumlah perusahaan asuransi oleh investor asing beberapa tahun terakhir.
Keenam, peta jalan ini belum memberikan masukan terhadap lembaga penjamin polis yang menjadi amanat UU P2SK yang akan dilaksanakan pada tahun 2028. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertugas menyelesaikan permasalahan perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya oleh OJK.
Kewenangan OJK untuk mengajukan gugatan kepada pihak yang dianggap merugikan konsumen asuransi sebaiknya juga dialihkan ke LPS
Ketujuh, peta jalan ini belum memberikan arah ke depan tentang bentuk usaha bersama (mutual) satu-satunya sebagai kenyataan sejarah yang tidak bisa diabaikan.
Dengan berbagai catatan di atas, kita menyambut baik peta jalan ini sebagai langkah nyata untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang hilang dalam beberapa tahun terakhir. Kita tunggu pelaksanaannya secara konsisten.
Baca juga : Dorong Pertumbuhan Asuransi melalui Potensi Bonus Demografi
Irvan RahardjoPengamat Asuransi