Bahasa Indonesia beruntung memiliki aneka bahasa daerah Nusantara sebagai sumber kosakata (baru). Umpama, bahasa Indonesia telah menyerap welas asih dari bahasa Jawa dan Sunda. Welas asih berarti ’sikap belas kasih atau cinta kasih’. Kata ini dapat menerjemahkan kata maitri (bahasa Sanskerta) atau metta (Pali) yang berarti ’sikap baik hati’ seperti kepada sahabat (laman oxfordreference).
Welas asih dan wedi asih dalam bahasa Jawa adalah contoh dari ”kata rangkap” atau tembung saroja. Sebuah tembung saroja terdiri atas dua kata yang (hampir) sama maknanya dan digunakan bersamaan untuk menegaskan makna.
Beberapa tembung saroja Jawa telah diserap bahasa Indonesia. Umpama, tumpang tindih, tata krama, dan tambal sulam. Masih ada banyak tembung saroja yang belum diserap bahasa Indonesia, misal babak bundhas (terluka parah), kukuh bakuh (amat kuat), dan tandang grayang (giat bekerja).
Bahasa Indonesia setakat ini juga belum menyerap wedi asih dari bahasa Jawa. Padahal, wedi asih sangat praktis digunakan untuk menyebut ’rasa takut sekaligus kasih kepada pribadi yang patut dihormati’.
Wedi asih tercatat dalam susatra Jawa kuno. Umpama, istilah ini tersua dalam Kidung Rumeksa ing Wengi anggitan Sunan Kalijaga (Achmad Sidiq, 2008). Dalam kidung pengajaran agama Islam dengan pendekatan budaya Jawa ini, wedi asih menggambarkan rasa hormat sekaligus rasa kasih.
Dalam Serat Sri Nata dari Babad Tanah Jawi, wedi asih tersua pada bait 12 pupuh 7 (tembang Kinanthi) untuk melukiskan Jaka Tingkir. Sedaya pan wedi asih. Artinya, ’semua orang takut kepadanya sekaligus mencintainya’.
Bahasa Indonesia setakat ini juga belum menyerap wedi asih dari bahasa Jawa. Padahal, wedi asih sangat praktis digunakan untuk menyebut ’rasa takut sekaligus kasih kepada pribadi yang patut dihormati’.
Istilah wedi asih juga digunakan oleh penerjemah Alkitab untuk menerjemahkan kata kerja yare’ (Ibrani) dan phobeo (Yunani) ke dalam bahasa Jawa. Dua kata kerja ini dalam konteks relasi dengan Tuhan dapat berarti ’merasa takut sekaligus mengasihi’.
Umpama, yare’ et-yhwh diterjemahkan Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (1974) menjadi ’takutlah akan Tuhan’. Sementara Alkitab bahasa Jawa edisi formal 1981 menerjemahkan frasa yang sama menjadi wedi lan asiha marang Sang Yahweh.
Pada hemat penulis, alih-alih takutlah akan Tuhan, terjemahan yang lebih tepat adalah wedi asihlah kepada Tuhan. Wedi asih secara padat merangkum sikap ideal manusia di hadapan Tuhan yang, menurut Rudolf Otto (1917: 12-35), menggetarkan (tremendum) sekaligus memesona (fascinosum).
Selain kepada Tuhan, sikap wedi asih juga diterapkan kepada orang tua, guru, pemuka agama, dan tokoh masyarakat. Sikap wedi asih serasi berpadu dengan welas asih. Simak dua contoh penggunaan berikut ini: (1) Bangsa Indonesia wedi asih kepada Tuhan yang welas asih; (2) Siswa-siswi welas asih kepada kaum papa dan wedi asih kepada guru. Puitis dan indah, bukan?
Mari kita populerkan istilah wedi asih dalam percakapan sehari-hari. Harapan kita, Kamus Besar Bahasa Indonesia kelak menjadikannya salah satu lema baru.
Bobby Steven MSF, Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta