Spirit Kebinekaan dan Suksesi Kepemimpinan
Spirit kebinekaan dalam pemilu sangat membutuhkan peran media konvensional karena merujuk pada panduan moral yang jelas.
Kita patut bersyukur bahwa Indonesia adalah satu dari sedikit negara multikultur yang masih bertahan di muka bumi ini. Multikulturalisme yang telah didomestifikasi pendiri bangsa dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, telah menjadi ciri otentik bangsa Indonesia, yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Adakah entitas nasional lain di muka bumi ini, yang memiliki lebih dari 719 bahasa daerah dan terbentuk oleh persekutuan 714 suku bangsa?
Dunia internasional bahkan berdecak kagum, dengan keragaman dan kompleksitas etnis, budaya, dan religiusitasnya, Indonesia masih bertahan hingga kini ketika banyak bangsa-bangsa multikultur lain telah terpecah-pecah dan tak berhasil mempertahankan kesatuan nasionalnya. ”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Itulah tekad yang telah didengungkan para pendiri bangsa, pejuang kemerdekaan, yang terasa masih relevan hingga kini.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Namun, menjaga spirit kebinekaan itu tentu bukan perkara yang mudah. Kita telah teruji mampu melampaui berbagai cobaan yang merongrong kesatuan nasional. Namun, potensi perpecahan itu setidaknya polarisasi sosial mesti senantiasa ditempatkan sebagai potensialitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Baca juga: Pluralisme dan Multikulturalisme
Perpecahan dan polarisasi itu masih menjadi ”bahaya laten” yang bisa setiap saat menyeruak ke permukaan. Ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, ketimpangan antar wilayah, dampak-dampak sistemik korupsi bisa menjadi sumbu ledak disintegrasi bangsa. Hal yang tak kalah membahayakan, perbedaan pandangan atau pilihan politik, yang tidak berhasil dimoderasi atau disikapi dengan dewasa, dapat menyulut bara kebencian, bahkan permusuhan antarsesama warga bangsa.
Tarikan politik elektoral
Menjelang Pemilu 2024, menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan kembali betapa pentingnya mempertahankan spirit Bhinneka Tunggal Ika atau multikulturalisme dalam konteks spesifik Indonesia. Kita tentu berharap siapa pun yang terpilih nanti menjadi pemimpin nasional lima tahun ke depan akan menjadikan menjaga spirit kebinekaan sebagai paradigma yang mendasari semua langkah dan kebijakan.
Bhinneka Tunggal Ika di sini tidak hanya dimaknai sebagai keragaman budaya, etnis, dan nilai-nilai lokal. Berbeda tetapi sama juga mesti berdimensi keadilan sosial, kesejahteraan bersama, dan penegakan hak asasi manusia. Terintegrasi dalam kesatuan nasional bukan hanya bermakna kita telah menjadi bangsa yang sama, dengan lagu kebangsaan dan bendera nasional yang sama.
Hal yang tak kalah penting bahwa setiap sudut negeri ini mesti tersentuh oleh laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang bersifat inklusif. Bahwa pengelolaan sumber daya alam di daerah harus dikembalikan terutama sekali untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan dan ketertinggalan di daerah tersebut. Bahwa pembangunan dan pengembangan ekonomi mesti dilakukan pada batas-batas yang tidak mengganggu keseimbangan alam, keanekaragaman hayati dan tradisi-tradisi setempat. Prinsip berbeda-beda tetapi mesti diletakkan dalam konteks upaya mewujudkan pembangunan warga bangsa yang seutuhnya. Proses suksesi kepemimpinan nasional mestinya bertolak dari titik ini.
Namun yang tidak kalah mendesak untuk saat ini adalah memastikan bahwa politik elektoral mesti dijalankan dengan kesadaran yang kuat tentang pentingnya menjaga spirit toleransi dalam kebinekaan. Senantiasa dibutuhkan kesadaran bahwa bangsa ini bisa setiap saat berada pada tepi jurang perpecahan jika politik elektoral dijalankan tanpa kehati-hatian dalam bersentuhan dengan hal yang paling sensitif bagi negara multikultur mana pun, yakni perbedaan identitas.
Hasrat untuk memenangi pemilu dan meraih kekuasaan semestinya dijalankan dengan komitmen yang kuat tentang pentingnya meminimalisasi bentuk-bentuk politisasi identitas. Meskipun bisa jadi benar, identitas kultural-keagamaan tidak pernah bisa dilepaskan sama sekali dari upaya untuk meraih simpati dan dukungan politik kelompok-kelompok dalam masyarakat. Namun, hal ini mutlak harus dijalankan dalam batas-batas yang tidak memecah-belah dan menyebarkan permusuhan dalam masyarakat. ”Ngono yo ngono, ning ojo ngono”, demikian falsafah Jawa mengajarkan tentang pentingnya menjaga batas-batas kewajaran.
Hasrat untuk memenangi pemilu dan meraih kekuasaan semestinya dijalankan dengan komitmen yang kuat tentang pentingnya meminimalisasi bentuk-bentuk politisasi identitas.
Spirit Bhinneka Tunggal Ika juga penting sebagai fondasi untuk mengatasi perbedaan pilihan politik pada tingkat masyarakat. Perbedaan pilihan politik semestinya tidak membuat kita berhenti bertegur sapa, bekerja sama, apalagi menunjukkan sikap bermusuhan dengan orang lain, dengan kerabat, tetangga atau kolega kita. Terlebih jika perbedaan pilihan politik itu bersinggungan dengan perbedaan pandangan keagamaan atau latar-belakang etnis.
Mengapa demikian? Dalam masyarakat yang multikultur, mustahil kita menghindari persentuhan dengan orang-orang yang berbeda identitas dengan kita. Di luar urusan pemilu, ada begitu banyak hal yang bisa, perlu, atau bahkan harus kita lakukan bersama-sama dengan orang-orang lain yang berbeda etnis, agama, dan pilihan politik dengan kita. Orang-orang itu bisa jadi adalah rekan kerja, rekanan bisnis, atasan atau sesama jemaah pengajian dengan kita. Sungguh tidak menguntungkan jika karena pilihan politik yang berbeda, kita harus bersitegang atau bermusuhan dengan orang-orang yang kita butuhkan tenaga, jasa dan kerja samanya dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup kita sendiri.
Menjaga ruang media
Dalam kaitan menjaga spirit kebinekaan ini, ruang media, baik media baru maupun lama, menjadi faktor yang menentukan. Ruang media adalah arena utama proses komunikasi politik. Pembentukan opini publik dan penggalangan dukungan masyarakat kurang lebih berlokus di sana.
Maka perlu ditekankan bahwa ketika suasana politik telah menghangat dan dinamis, media massa semestinya hadir menjaga keadaban publik dan memelihara akal sehat masyarakat. Media massa bukan hanya mesti berperan sebagai sumber informasi dan perdebatan, melainkan juga harus mampu menjadi sumber pemahaman yang memadai tentang dinamika yang terjadi.
Media massa mesti membantu masyarakat dalam membangun sikap rasional, berjarak, dan kritis terhadap pilihan-pilihan dan tawaran-tawaran politik yang tersedia di ruang publik. Hal yang tidak kalah penting dalam hal ini, media juga mesti senantiasa menekankan pentingnya sikap saling menghormati antar kelompok yang berbeda identitas sekaligus pilihan politik.
Baca juga: Dominasi Media Sosial dan Proyeksi Pemilu 2024
Dalam masyarakat yang masih memendam ”bahaya laten” perpecahan berlatar belakang perbedaan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) seperti di Indonesia, media harus menjadi faktor pereda potensi konflik (conflict diminisher). Media mesti mempertimbangkan dampak-dampak pemberitaannya terhadap potensi polarisasi dalam masyarakat. Ini tentu bukan perkara yang mudah karena di sisi lain, media juga mesti memberitakan fakta secara apa adanya.
Jika ada potensi konflik dalam masyarakat, media perlu melayani hak publik atas informasi tentang potensi konflik tersebut. Media massa harus memberitakannya berdasarkan standar Kode Etik Jurnalistik. Namun, jika media terlalu bersemangat dalam memberitakan realitas konflik, media tanpa sadar juga bisa terjerumus dalam posisi sebagai pendorong terjadinya konflik (conflict intensifier).
Dalam konteks ini, dibutuhkan kesadaran awak redaksi dan sumber berita untuk senantiasa berhati-hati jika berbicara atau memberitakan hal-hal yang terkait SARA, khususnya dalam hubungannya dengan politik elektoral. Spirit kebinekaan harus menjadi paradigma pemberitaan.
Menjaga keadaban publik sekaligus spirit kebinekaan semakin penting karena pada sisi lain, media sosial berkembang sebagai episentrum baru arus informasi dan perdebatan publik yang berjalan tanpa desain “etika ruang publik” yang kokoh. Yang privat dan yang publik bercampur-baur sedemikian rupa di sana. Kebaikan sekaligus keburukan, kepantasan sekaligus ketidakpantasan, keadaban sekaligus kekurangberadaban diberi tempat tanpa proses kurasi dan moderasi sebagaimana mestinya. Semuanya dipertontonkan di sana tanpa sandaran etika berkomunikasi di ruang publik.
Kita dihadapkan pada situasi yang nihilistik di mana warga digital tidak sepenuhnya menyadari bahwa ruang media sosial sesungguhnya juga merupakan ruang publik yang mesti dijalankan dengan prinsip-prinsip tenggang rasa dan saling menghormati (respectfulness). Yang terjadi kemudian, media sosial menghadirkan potensi deliberasi yang belum pernah ada sebelumnya, sekaligus secara faktual melahirkan peragaan ujaran kebencian, semangat permusuhan antarkelompok, dan polarisasi dalam masyarakat.
Belajar dari pengalaman berbagai negara, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu, media sosial sulit diharapkan dapat menjadi ruang publik yang bercorak multikulturalistik. Algoritma kurasi yang dioperasikan platform media sosial menghadirkan dilema (algorithm dilemma) di sini.
Belajar dari pengalaman berbagai negara, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu, media sosial sulit diharapkan dapat menjadi ruang publik yang bercorak multikulturalistik.
Di satu sisi, algoritma menyelamatkan pengguna internet dari rimba raya jagat digital yang tak beraturan dan sangat kompleks dengan menyajikan struktur informasi yang lebih tertata dan terkelompokkan. Namun, di sisi lain, proses kurasi algoritmis juga menjerumuskan pengguna internet dalam semesti informasi yang terbatas dan tertutup, serta pada sisi lain kelompok percakapan yang eksklusif, bahkan fanatik.
Khususnya pada momentum pemilu, kelompok percakapan politik media sosial bergerak ke titik yang lebih ekstrem. Orang-orang yang terlibat di dalamnya cenderung meneguhkan keyakinan sendiri dan mengabaikan pentingnya dialog antar kelompok. Bahkan ketika perjumpaan antarkelompok akhirnya terjadi, hal ini tidak membuat anggota kelompok berhenti bersikap fanatik terhadap pendapat yang telanjur diyakininya.
Perjumpaan dengan orang lain dengan pendapat yang berbeda tidak membuat mereka semakin terbuka terhadap keberagaman pandangan. Alih-alih mereka menggunakan perjumpaan itu untuk menyudutkan bahkan menghujat orang lain tersebut. Ini fenomena global yang mewarnai pemilu Amerika Serikat, Brasil, Inggris (referendum Brexit), Spanyol, Filipina, India, Malaysia, juga Indonesia.
Baca juga: Belajar dari Dunia Menghadapi Disinformasi Pemilu 2024
Dalam keadaan yang seperti ini, cukup jelas bahwa spirit kebinekaan dalam momentum pemilu masih sangat membutuhkan peran media massa konvensional. Tak bermaksud menyatakan bahwa media massa konvensional selalu lebih baik dari pada media sosial, tetapi fakta menunjukkan media massa konvensional merujuk pada panduan moral yang jelas, yakni Kode Etik Jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik mensyaratkan verifikasi dan uji kebenaran informasi sebelum informasi itu disajikan di ruang publik. Kode Etik Jurnalistik juga menuntut komitmen media massa untuk senantiasa bersikap proporsional dan berhati-hati dalam bersentuhan dengan isu-isu SARA. Spirit kebinekaan, sekali lagi, semestinya menjadi paradigma pemberitaan media massa ketika suasana politik yang semakin menghangat.
Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI