Pesan Peringatan ”Muazin” Bangsa
Kini ada pertarungan antara kaum moralis yang selalu mengedepankan nilai, moral, konstitusi, penegakan hukum, dan politik kekuasaan.
”Di tengah situasi kelam, Indonesia adalah kisah sukses. Belasan ribu pulau, suku bangsa dan bahasa, tapi kita masih tetap bersatu. Tapi sebagai bangsa, kita harus waspada. Oligarki dan korupsi bisa membusukkan negeri ini.”
- Prof Emeritus Franz Magnis-Suseno SJ
Pastor Jesuit kelahiran Nurnberg, Jerman, 26 Mei 1936, menyampaikan pesan penutup dalam GagasRI kelima di Menara Kompas, Senin, 23 Oktober 2024 malam. Penulis sejumlah buku, antara lain Etika Dasar, Etika Jawa, dan Etika Politik, itu memberikan gambaran soal tantangan Indonesia dan tantangan global. Ia menyampaikan pikirannya tentang Etika Indonesia dalam Tantangan.
Dimoderatori pemikir kebinekaan lulusan Harvard University, Amerika Serikat, Sukidi Mulyadi, acara ini menampilkan panelis Budhy Munawar Rachman (Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy) dan Saras Dewi (pengajar filsafat, Universitas Indonesia). Acara GagasRI pada Senin malam itu terasa relevan dan kontekstual pada situasi politik kontemporer.
Suasana kebangsaan terasa masygul. Saat membuka acara, saya menyebutnya tintrim. Tintrim ungkapan dalam bahasa Jawa penuh nuansa. Tintrim seperti kumpulan perasaan jengkel, marah, tak habis pikir, ada harapan, ada kekecewaan, ada optimisme. Namun, lebih banyak pesimisme. Wait and see.
Panggung politik Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Rumah Ketua KPK Firli Bahuri digeledah penyidik Polda Metro Jaya. Ia dituduh memeras Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang juga diduga memeras atau menerima gratifikasi dari pihak lain. Syahrul ditahan KPK. Pemeras diperas.
Sementara di Mahkamah Konstitusi (MK) hampir semua hakim konstitusi dilaporkan telah melanggar etik. Mereka akan ”diadili” dalam persidangan etika oleh Majelis Kehormatan MK. Yang paling parah memang keterlibatan Ketua MK Anwar Usman saat mengadili norma yang bakal menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka.
Anwar adalah adik ipar Presiden Joko Widodo. Ia seharusnya mundur saat mengadili perkara yang terkait dengan keponakannya. Namun, Anwar membantah telah melanggar etik. Sementara bagi Sukidi Mulyadi di acara Satu Meja The Forum Kompas TV mengatakan, ”Ini bukan sekadar konflik kepentingan, tapi harus dibaca sebagai satu stempel pada kekuasaan yang pongah,” ujarnya, Rabu malam.
Panggung depan politik memang sungguh memprihatinkan. Ada sinyal kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilawan dalam gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998 sudah berada di depan mata. Melalui instrumen demokrasi konstitusional, sejenis autocratic legalism atau akal-akalan demokrasi, kehendak politik bisa dilakukan.
Praktik penegakan hukum pada era Orde Baru, yakni rule of law, seperti mengarah kembali menjadi rule by law. Elite politik seperti ”tersandera” dan jadi ”tahanan luar” yang membuatnya kehilangan kedaulatan.
Kini, ada pertarungan antara kaum moralis yang selalu mengedepankan nilai, moral, konstitusi, penegakan hukum, dan politik kekuasaan. Perjuangan politik moral dengan politik kekuasaan seakan tidak bertemu. Kaum moralis menjaga kekuasaan bekerja berdasarkan konstitusi, berdasarkan hukum, berdasarkan kepatutan, kepantasan, dan etika keindonesiaan.
Sementara politik kekuasaan berdasarkan pada hasrat berkuasa selama-lamanya. Kekuasaan untuk kekuasaan. Dan segala cara akan dipakai untuk mempertahankan kekuasaan sepanjang dia bisa, sebagaimana pernah didalilkan Machiavelli, filsuf dari abad ke-15.
Dalam sejarah bangsa ini, Soeharto pernah berkuasa selama 32 tahun sebelum gelombang reformasi menumbangkan kekuasaannya. Di pengujung kekuasaannya, Soeharto mengangkat putrinya, Siti Hardijanti Rukmana, sebagai Menteri Sosial. Didahului krisis moneter dan krisis sosial, ditanggapi dengan penculikan sejumlah aktivis, Orde Baru pun tumbang.
Orde Reformasi melahirkan amendemen konstitusi yang membatasi kekuasaan Presiden selama dua periode karena diyakini kekuasaan itu cenderung korup. Lalu dilahirkan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Baca juga: Terima Kasih, Mahkamah
Dua puluh lima tahun reformasi ternyata malah menumbuhsuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Romo Magnis menyebut, dalam 20 tahun terakhir terdapat 13 menteri korupsi, 429 kepala daerah, 344 anggota DPR dan DPRD, serta 349 pejabat masuk penjara karena korupsi. Di era pemerintahan Presiden Jokowi saja terdapat enam menteri dari berbagai partai politik ditangkap KPK.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang begitu masif tak boleh diteruskan karena korupsi itu memiskinkan bangsa ini, memperlebar kesenjangan sosial, dan merampas hak orang miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan, layanan pendidikan dan internet gratis.
Menko Polhukam Mahfud MD pernah menyebut hukum telah menjadi industri. Uang telah menjadi panglima. Hukum tergantung dari kekuatan kapital. Di darat, di laut, dan di udara ada korupsi.
Romo Magnis menyebut bangsa ini mempunyai tantangan global, seperti krisis demokrasi, neoliberalisme, dan kelaparan, ekstremisme ideologi dan agama, kehancuran lingkungan hidup, ada artificial intelligence dan algoritma kematian. Sementara di lingkup nasional, bangsa ini sedang dihadapkan pada pembusukan demokrasi. Hal ini pernah ditulis dalam buku How Democracies Die. Ancaman keterbelahan politik di akar rumput. Selanjutnya, kata Romo Magnis, jangan-jangan bangsa ini pecah secara vertikal. Artinya bangsa ini hanya milik orang atas, orang yang berkelimpahan.
Saya merenungkan pesan ”muazin” Romo Franz Magnis-Suseno yang berusia 87 tahun soal keterpecahan bangsa secara vertikal. Saya pun teringat pesan almarhum Pak Jakob Oetama, pendiri Kompas, yang sering disampaikan adalah ati-ati nek mrucut.
Di tengah gemerlap, deklarasi capres-cawapres, dukung-mendukung politik, saya membaca dengan masygul berita utama harian Kompas, ”Kelaparan di Papua Berulang”. Dilaporkan 23 orang tewas. Terasa ironi memang perjalanan negeri ini. Ada juga berita, anak anggota DPR menganiaya rekannya sampai mati. Polisi menembak ajudannya. Polisi jualan narkotika. Pimpinan KPK dituduh memeras pemeras. Mengapa sejarah bangsa menjadi demikian, padahal Revolusi Mental telah hampir sembilan tahun dijalankan?
Hujan dan petir mengguyur Tokyo, sebuah kota dengan disiplin tinggi. Saya meresapi pesan ”muazin” bangsa yang sudah tua, ”Jangan biarkan bangsa ini terus dikuasasi oligarki dan korupsi.” Masalahnya dari mana kita hendak memulainya saat trust publik melemah?
Bagi saya, harapan terdekatnya ada pada Majelis Kehormatan MK agar bisa bertaji untuk menyelesaikan polemik tak kunjung henti. Bisakah? Kita tunggu saja kiprah Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams. Bisakah mereka memberikan harapan pada publik atau malah melegitimasi semuanya? Biarlah sejarah mencatatnya.