Tindakan penipuan melalui fasilitas digital memang tidak bisa lagi ditangani dengan cara-cara lama. Pencegahan dan penanganan memerlukan langkah terobosan.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Teknologi tidak hanya memberi kemudahan, tetapi juga menyisakan masalah. Berbagai jenis penipuan bermunculan mengikuti kemajuan teknologi. Nasabah korban penipuan daring dapat meminta ganti rugi kepada bank dan operator telekomunikasi. Hak nasabah itu diusulkan Monetary Authority of Singapore (MAS) dan Infocomm Media Development Authority (IMDA). Usulan itu tercantum dalam rancangan Kerangka Kerja Pembagian Tanggung Jawab (SRF).
Naskah rancangan SRF diungkap IMDA dan MAS pada Rabu (25/10/2023). Singapura mengikuti jejak Inggris yang telah lebih dulu membuat aturan sejenis. SRF mulai digagas setelah 800 nasabah OCBC Singapura tertipu. Kerugian totalnya mencapai 13,7 juta dollar Singapura.
Untuk tahap awal, SRF akan fokus pada penipuan dan manipulasi untuk mencuri data konsumen. Pada Januari-Juni 2023, Singapura mencatat 3.000 kasus dengan metode yang juga dikenal sebagai phising itu. Singapura juga mencatat lebih dari 19.000 kasus penipuan daring dengan beragam modus dan teknik pada semester I-2023.
Sebuah kemajuan ketika otoritas juga meminta tanggung jawab pihak bank dan operator telekomunikasi terkait dengan upaya penipuan yang makin canggih saat teknologi digital makin banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Bank harus membayar ganti rugi ke nasabah ketika mereka membiarkan transaksi yang kemudian terbukti merupakan tindak penipuan. Demikian pula operator telekomunikasi yang tidak bisa mencegah peredaran layanan pesan yang berisi penipuan bakal ikut membayar ganti rugi.
Tindakan penipuan melalui fasilitas digital memang tidak bisa lagi ditangani dengan cara-cara lama. Pencegahan dan penanganan memerlukan langkah terobosan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan tetap tinggi. Tanpa teroboson tidak sedikit orang akan mengakali kemajuan teknologi untuk berbagai tindak kejahatan. Mereka akan terus mengikuti berbagai perkembangan teknologi yang juga memudahkan mereka untuk beraksi.
Meski demikian, rencana otoritas Singapura tetap meminta tanggung jawab masyarakat. Mereka yang tidak berhati-hati tetap harus menanggung akibat ketika bank dan operator telekomunikasi telah memberi peringan tetapi mereka tetap melayani permintaan para penipu. Apalagi masyarakat yang memang sengaja bermain-main dengan sejumlah aplikasi yang berpotensi mengeruk uang mereka, maka mereka tetap harus menanggung risiko yang ada.
Literasi keuangan selalu menjadi kunci menangani masalah seperti ini. Tawaran dan janji untuk mendapatkan keuntungan sesaat dan tanpa disertai pengetahuan mendalam tentang risikonya harus diwaspadai sebagai bentuk penipuan. Otoritas sepertinya perlu kembali mengingatkan dan memperbarui kampanye literasi agar masyarakat makin terlindungi dari berbagai bentuk penipuan.